|
Tarik ulur soal upah
kembali menghangat akhir-akhir ini. Timbul wacana penentuan upah minimum
kota/kabupaten/provinsi yang akan dikekang kenaikannya hanya 20 persen.
Dalam pertemuan
pembahasan upah buruh antara pemerintah (diwakili Menteri Koordinator
Perekonomian Hatta Rajasa) dan pengusaha (diwakili Ketua Umum Asosiasi
Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi) pada Jumat (19/7), muncul dua opsi:
kenaikan 20 persen atau kenaikan seturut nilai inflasi yang ditambahkan sekian
persen. Sofjan cenderung ke pilihan kedua.
Pemerintah bersama
Apindo juga tengah mengkaji agar kenaikan upah minimum dibuat dalam bentuk
kebijakan khusus. Nantinya, akan ada rumusan atau formula baru yang menjadi
referensi penentuan upah. Menteri Perindustrian MS Hidayat menyebutkan,
kebijakan khusus itu kira-kira inflation rate plus certain
percent yang bisa didiskusikan di forum tripartit.
Selama ini, mekanisme
penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) diawali survei kebutuhan hidup
layak (KHL). Hasil survei KHL lalu dibawa ke rapat pleno dewan pengupahan
kabupaten/kota dan diteruskan ke provinsi untuk kemudian diajukan kepada
gubernur supaya ditetapkan. Komponen KHL bersandar pada 60 jenis kebutuhan
sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2012 (sebelumnya hanya 45
jenis).
Hasil penambahan 15
komponen baru langsung terasa saat penentuan UMK/P 2013. Berkat desakan buruh
melalui demonstrasi yang tak kenal lelah, UMP DKI Jakarta diteken Gubernur Joko
Widodo sebesar Rp 2,2 juta atau naik 44 persen. Keputusan Jokowi menimbulkan
efek kejut bagi daerah sekitarnya. Buruh di Bekasi, Bogor, Karawang, Cilegon,
dan Tangerang ikut menikmati upah Rp 2 jutaan. Bahkan Kota/Kabupaten Tangerang
nilai UMK-nya melebihi DKI Jakarta, yakni Rp 2,203 juta.
Kenaikan UMP cukup besar
diperoleh buruh di Kalimantan Timur (naik 49 persen), Gorontalo (40,3),
Kepulauan Riau (34,5), Maluku (30,8), dan Bengkulu (29 persen).
Provinsi-provinsi lain cenderung moderat dalam menentukan UMP 2013 (naik dalam
rentang 10-25 persen). Bahkan delapan provinsi mengerek UMP-nya di bawah 10
persen, yakni Jawa Tengah (8,5 persen), Jawa Barat dan Sulawesi Tenggara (9
persen), Papua (7,9 persen), Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur (9,2
persen), Yogyakarta (6,1 persen), serta kenaikan terendah di Sulawesi Barat
(3,4 persen). Secara nasional upah buruh naik 18,32 persen dibandingkan dengan
pada 2012.
Kekhawatiran pemerintah
dan Apindo (akan potensi melonjaknya kembali upah buruh pada 2014), dengan
demikian, cenderung bias Jakarta. Secara umum, kenaikan upah buruh tahun 2013
tidak sespektakuler yang dibayangkan (masih di bawah 20 persen). Bahkan banyak
kota dan kabupaten di Jawa yang merupakan sentra-sentra industri masih ber-UMK di
bawah Rp 1 juta. Di masa sekarang ini, upah tak sampai sejuta sebulan sangat
sulit dikategorikan layak.
Catatan lain, masih
sangat banyak perusahaan yang menangguhkan upah baru tanpa kejelasan waktu
berakhirnya. Lebih banyak lagi perusahaan yang membayar buruhnya di bawah UMK
dan tetap berbisnis tanpa sanksi memadai. Sementara itu, puluhan juta pekerja
yang dinyatakan informal (buruh UKM, buruh-tani, pekerja rumah tangga) berada
di luar jangkauan penerapan UMK.
Keberadaan sistem kerja
kontrak dan alih daya memperparah keadaan. Mereka bekerja tanpa kepastian,
rawan pemutusan kontrak, kesulitan bergabung dalam serikat buruh, mengalami
diskriminasi, dan siap-siap merelakan hasil kerja sebulan dipotong oleh agen
alih daya. Upah memadai dan status kerja terlihat sebagai kemewahan tersendiri
bagi buruh-buruh ini.
Tak muluk-muluk
Lalu, seberapa besar
kenaikan upah yang patut dan pantas diterima buruh pada 2014? Jika Apindo dan
pemerintah mematok maksimal hanya 20 persen (bisa jauh di bawahnya karena
bersandar pada inflasi belaka), sejumlah serikat buruh menuntut upah naik
hingga 50 persen. Angka yang njomplang ini menunjukkan betapa lebar
jarak kepentingan keduanya.
Munculnya angka 50
persen (setara dengan Rp 3,7 juta) sebenarnya tak mengherankan meski terlihat
muluk-muluk setelah kenaikan signifikan UMK dari 2012 ke 2013. Penyebabnya
adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akhir Juni lalu. Menurut
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal, kenaikan harga BBM
menggerus daya beli buruh hingga 30 persen. Ditambah inflasi yang diperkirakan
mencapai dua digit, kenaikan upah riil di tahun 2013 sebenarnya kurang dari 10
persen.
Dengan catatan tebal,
perhitungan ini hanya berlaku bagi UMK/P DKI Jakarta dan sekitarnya.
Kenaikan harga BBM menciptakan
efek domino yang sangat parah. Seluruh harga komoditas terkerek naik, mulai
dari kebutuhan dapur hingga sewa rumah. Kebijakan pemerintah ini membatalkan
keuntungan kenaikan upah yang bisa dianggarkan untuk menabung, rekreasi atau
belanja. Upah tetap habis akibat harus mengompensasi kenaikan harga kebutuhan
pokok.
Mengutip penelitian
Akatiga (2009), rata-rata pengeluaran riil buruh selalu melebihi upah riil dan
UMK. Upah total mengover 74,3 persen pengeluaran riil buruh, sedangkan UMK
lebih rendah lagi atau hanya senilai 62,4 persen rata-rata pengeluaran buruh
per bulan. Akibatnyam buruh harus ketat berhemat dan hidup dalam lingkaran
utang. Politik upah murah yang dianut pemerintah selama ini, dengan demikian,
melestarikan dan memperpanjang rantai kemiskinan kaum buruh/pekerja.
Pada dasarnya, buruh
juga memiliki banyak mimpi sebagaimana manusia bermartabat lainnya, tapi selama
ini terganjal oleh kebijakan upah murah. Sungguh absurd membayangkan orang
bekerja sepanjang hidupnya, tapi upah yang diperoleh tiap bulan raib seketika
itu juga. Buruh tetap menjadi tunawisma (tidak mampu membeli rumah sendiri),
dipaksa mengabaikan kebutuhan rekreasional berkualitas, dan tak kuasa
menyiapkan dana bagi anak keturunan mencapai pendidikan setinggi-tingginya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar