|
Dentum
perubahan adalah keniscayaan yang tak bisa dihalangi. Berbagai perubahan ide,
wacana, pemikiran dan gagasan, hilir mudik, datang silih berganti.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong perubahan begitu dahsyat terjadi.
Perubahan melintas dengan cepat. Siapa gagap, tak bisa membaca sinyal
perubahan, maka selanjutnya siap-siap terlindas.
Dalam
masyarakat informasi, perubahan besar dimulai sejak ditemukan mesin cetak oleh
Gutenberg pada 1962. Implikasinya, industrialisasi media mengubah tata cara
komunikasi.
Percepatan
perubahan makin dahsyat begitu ditemukan internet. Dunia tak lagi menjadi
seluas yang dibayangkan orang. Peristiwa di pojok dunia yang dulunya tidak
pernah kita ketahui dengan relatif murah dapat kita jangkau.
Dunia
yang Terlipat
Tak
perlu berlayar mengarungi samudra bak Columbus untuk mengetahui perkembangan di
seberang dunia. Cukup hanya surfing di internet, dunia dapat dilintasi
dengan sekali klik Google. Jarak kemudian tak menjadi masalah yang berarti,
aktivitas bisnis pun meningkat. Informasi melimpah ruah, walaupun banyak
sampah.
Dunia
telah menjadi datar tak lagi lonjong, Mc Luhan menyebutnya Global Village, desa
kecil yang akses kejadiannya dapat kita monitor dengan lekas, akurat dan
terjangkau. Nyaris tak ada yang dapat disembunyikan. Semua terhampar secara
gamblang, terbuka dan serba-transparan.
Di
era milenium ini, jarak, ruang dan waktu semakin dilipat dengan mekarnya
jaring-jaring media sosial, seperti Youtube, Facebook, dan Twitter. Kemajuan
ilmu pengetahuan bak pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bak sihir Harry
Potter yang mampu menyulap informasi menjadi sangat cepat terdistribusi. Kabar
tersebar dengan cepat.
Tweet
Daniel Tumiwa yang pertama kali berada di titik nol Hotel JW Marriott Jakarta
menyadarkan kita akan pentingnya fungsi jejaring sosial untuk menyebarkan
informasi dengan cepat dan akurat.
Tak
jarang, media-media sosial berfungsi sebagai sarana untuk menggalang dukungan,
solidaritas, menyuarakan kebenaran, hingga memberikan kabar duka. Selain itu,
jejaring sosial mampu menggerakkan kekuatan serta menyebarkan kebaikan hingga
memantik perubahan serta membingkai revolusi sosial.
Revolusi
Mesir yang diprakarsai Wael Ghonim melalui status dalam akun Facebook-nya yang
bertuliskan “We are all Khaled Said”
telah menjadi sumber inspirasi demonstran.
Ditambah
pula, tiga hesteg yang santer di Twitter #cairo, #25jan, dan #suez,
masyarakat Mesir tergerak menumbangkan rezim otoriter Hosni Mubarak yang telah
berkuasa 30 tahun. Realitas ini menunjukkan bagaimana pengaruh jejaring sosial
mampu membalik keadaan suatu negeri.
Namun,
tak jarang media sosial malah membikin susah dan kemudaratan. Kasus curhat
Prita Mulyasari mengenai RS OMNI yang mengantarkannya berurusan dengan hukum
jelas merupakan kabar yang tidak sedap dari kemajuan yang dibawa ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Bahkan,
kemudaratan dari media sosial bisa dijadikan sarana untuk menjelek-jelekkan
orang lain, memfitnah, menyebarkan berita bohong tanpa pertanggungjawaban.
Akun @TrioMacan2000 merupakan salah satu bintang yang paling ditunggu
tuitnya. Informasinya sering kali membuat merah telinga pejabat.
Media
sosial kini bahkan menjadi perangkat utama yang jadi tren bagi perkembangan
informasi. Informasi melimpah ruah bahkan yang sampah maupun yang emas.
Diperlukan klarifikasi dan validitas terhadap informasi yang tergelar tanpa
batas dan ruang sebelum membuat mata kesimpulan.
Generasi
Turun Tangan
Menyibak
berbagai tantangan perubahan, membutuhkan strategi jitu untuk menaklukkan. Oleh
karena itu, tak cukup hanya perdebatan wacana dan ide kebangkitan bangsa bisa
diperoleh. Kejayaan akan bisa dirasakan secara nyata ketika ide-ide besar yang
berasal dari diskusi, perdebatan dan pergumulan-pergumulan wacana dikonversi
menjadi aksi nyata.
Bangsa
ini, sebagaimana dikatakan Anies Baswedan, membutuhkan generasi yang memiliki
inisiatif. Generasi yang bergelut dalam ide dan melakukannya dalam aksi nyata.
Tidak hanya berdebat dalam ruang diskusi, melainkan mengubahnya menjadi nilai
tindakan.
Ide
dan gagasan akhirnya tidak hanya bersarang di menara gading pengetahuan, tetapi
membumi, menjadi aktivitas yang bermanfaat, inovatif dan memberikan aspek
fungsional bagi masyarakat dan lingkungannya.
Gejala
masa depan yang tampak terlihat, jelas memerlukan tangan terampil, manusia
cerdas berkualitas, berkeahlian dan memiliki integritas. Generasi yang siap
turun tangan. Generasi yang mau berkeringat demi kemajuan.
Hal
ini mengingat peringatan Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam buku Menerawang Indonesia, yang menyebut
tahun 2014 sebagai titik cut off, di mana
peranan generasi abad 20 akan digantikan dengan generasi baru.
Generasi
muda, generasi yang paling menentukan dalam babakan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pasalnya, sekitar 50 juta pemilih dalam pemilu mendatang adalah
anak-anak muda. Para pemilih pemula.
Untuk
itulah, cakrawala pengetahuan, wawasan, imajinasi anak-anak muda harus ditatar
untuk merebut masa depan. Tentunya, masa depan yang jaya bisa berada di
genggaman ketika sumber daya manusia (SDM) bangsa terus ditingkatkan,
dikembangkan, dimaksimalkan terutama generasi produktif yang akan berada di
puncak piramida penduduk. Komponen SDM yang berkualitas akan memegang peranan
sangat menentukan dalam menghadapi persaingan global.
Tanpa
SDM yang mumpuni, bangsa Indonesia hanya akan terkatung-katung dalam kancah
persaingan bebas. Hanya dijadikan penonton dalam pertarungan. Menjadi kuli bagi
kemajuan bangsa-bangsa yang secara kualitas SDM lebih tinggi, lebih ahli dan
kompeten.
Apalagi
mengingat besarnya kuantitas penduduk Indonesia. Tanpa SDM yang memadai,
Indonesia hanya dijadikan pasar bagi barang-barang produksi negara lain.
Persaingan global membutuhkan kualitas manusia unggul, manusia tercerahkan.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar