|
Kondisi politik Mesir kian tidak
menentu. Setelah kudeta militer terhadap Presiden Muhammad Mursi, kini
gelombang demonstrasi pendukung Mursi seakan tak pernah berhenti. Serangkaian
tindakan kekerasan militer Mesir dalam menghadapi gelombang demonstrasi tak
kunjung usai.
Kudeta terhadap
Presiden Mursi sebagai pemimpin sah terpilih secara demokratis melalui pemilu,
bagaimanapun dan dengan alasan apa pun, tak dibenarkan. Meskipun sangat
dipahami, kemarahan pejuang demokrasi di Mesir menentang Mursi yang diakhiri
kudeta militer adalah karena kebijakan Mursi sendiri yang cenderung
fundamentalis dan sarat nepotisme.
Potret kondisi
politik Mesir yang diperbandingkan dengan kondisi Indonesia pada 1997/1998,
sebagaimana ditulis mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto (Kompas, 1/8),
”Membandingkan Mesir dan Indonesia” tentu menjadi menarik. Karena itulah,
artikel ini mencoba merespons tulisan tersebut.
1998 dan peran ABRI
Serupa walau
tak sama, gejolak politik di Mesir pernah terjadi di Indonesia tahun 1998. Di
sejumlah daerah di Indonesia, saat itu juga berlangsung gelombang protes
mahasiswa dan rakyat menuntut Presiden Soeharto mundur. Berbagai aksi itu
mencapai puncaknya, yakni peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti di Jakarta
pada 12 Mei 1998. Peristiwa itu kemudian diikuti dengan meletusnya huru-hara
selama tiga hari di sejumlah kota, khususnya di Ibu Kota.
Dalam
tulisannya, Wiranto yang menjadi Panglima ABRI pada masa pergolakan politik
1998 menolak anggapan ABRI melakukan pembiaran terhadap peristiwa huru-hara Mei
tersebut. Wiranto justru mengklaim keberhasilan ABRI meredam peristiwa itu
dengan mengerahkan pasukan dari sejumlah daerah sehingga bisa meredamnya dalam tempo
tiga hari.
Penolakan
Wiranto bahwa negara melakukan pembiaran pada peristiwa kerusuhan Mei patut
dipertanyakan. Pembiaran sebagai bagian dari crimes by omission tak dilihat dari durasi kerusuhan. Yang
dilihat dari crimes by omission adalah
ketakhadiran negara untuk menangani kondisi keamanan secara proporsional dan
profesional yang berimplikasi munculnya kekerasan dan jatuhnya korban jiwa
warga sipil.
Hasil
penyelidikan tim gabungan pencari fakta (TGPF) menyebutkan, kerusuhan Mei 1998
memiliki pola terencana dan pelaku (provokator) secara fisik tampak terlatih.
Persoalan apakah Panglima ABRI bersalah atau tidak atas dugaan crimes by omission atau crimes by comission tentu hanya
bisa dibuktikan melalui mekanisme pengadilan. Masalahnya, pembentukan pengadilan
HAM untuk kerusuhan Mei itu tidak kunjung terealisasi hingga sekarang.
Peristiwa Mei 1998 masih mengandung misteri yang ditutupi oleh kabut gelap.
Meski berbeda
pada sejumlah kasus, ABRI pada 1998 juga tidak kalah represif daripada militer
Mesir dalam menghadapi gerakan protes mahasiswa dan rakyat. Gelombang-gelombang
protes di sejumlah daerah yang mulai berani melakukan aksi di luar kampus
disikapi secara represif oleh aparat. Bentrokan tak terhindarkan. Banyak
mahasiswa menjadi korban. Patut diingat, pada saat itu juga terjadi penculikan
aktivis prodemokrasi. Kasus ini tak hanya melibatkan satuan elite Angkatan
Darat melalui tim mawar, tetapi juga diduga melibatkan institusi ABRI. Tentu
hal ini telah dibantah oleh pihak ABRI.
Terlepas dari
bantahan yang diberikan, sejumlah aksi represif itu menunjukkan ABRI pada tahun
1998 tidak jauh lebih baik daripada militer Mesir. Keduanya sama-sama menjadi
instrumen dari kekuatan antidemokrasi. Bedanya, tindakan ABRI lebih
menitikberatkan pada kelangsungan rezim otoriter Orde Baru, sedangkan militer
Mesir mengamankan jalannya kudeta dan pemerintahan yang dibentuk.
Di pengujung Orba
Dalam
pergulatan politik Indonesia tahun 1998 memang tidak terjadi kudeta,
sebagaimana yang sekarang di Mesir. Presiden Soeharto akhirnya mundur dari
jabatan, menyerahkan kembali mandatnya ke MPR. Pengunduran itu membuat Wakil
Presiden BJ Habibie langsung diangkat menjadi Presiden RI. Agenda terdekatnya
adalah menyelenggarakan pemilu, yang kemudian terlaksana tahun 1999.
Dilihat dari
sisi proses peralihan (transisi) kekuasaan berlangsung, langkah ABRI patut
diapresiasi. Meski ada peluang politik, ABRI tidak mengambil alih kekuasaan dan
memberi ruang bagi berjalannya mekanisme dan politik yang demokratis.
Namun, sikap
ABRI dan Wiranto yang tidak mau mengambil alih kekuasaan seperti di Mesir tentu
penting dibaca dalam konteks politik lebih luas. Sikap dan langkah mereka juga
tidak bisa dilepaskan dari situasi dan perkembangan politik yang ada. Ada
beberapa faktor yang penting dilihat yang memengaruhi sikap ABRI kala itu.
Pertama,
konteks politik nasional. Setelah peristiwa Trisakti dan huru-hara 13-15 Mei
1998, dinamika politik berubah cepat. Desakan mahasiswa dan rakyat agar
Soeharto mundur menguat. Tokoh-tokoh agama dan masyarakat bergabung dengan
mahasiswa. Jakarta dikepung mahasiswa, DPR diduduki.
Di tingkat
elite juga terjadi pergeseran. Hampir semua elite dan faksi politik di parlemen
berbalik arah mendukung gerakan reformasi. Juga elite di tubuh Golkar. Hal itu
terlihat dari perubahan sikap pimpinan DPR. Anggota kabinet mengundurkan diri
dan tidak lagi bersedia bergabung dalam kabinet reformasi bentukan Soeharto.
Kedua, konflik
di tubuh ABRI. Bukan rahasia lagi, pada 1998 terjadi konflik tajam di tubuh
ABRI. ABRI terbelah dua kutub. Gesekan dan saling intrik terjadi. Pada masa
itu, meski Wiranto merupakan Panglima ABRI, bisa dikatakan tak sepenuhnya bisa
mengontrol dinamika internal di tubuh ABRI. Internal ABRI saat itu tidak solid.
Ketiga,
dukungan internasional. Komunitas internasional cenderung mendukung kekuatan
prodemokrasi dan mendorong berlangsungnya transisi demokrasi. Posisi Soeharto
tidak lagi mendapat dukungan. Kondisi ini berbeda dibandingkan dengan di Mesir,
yaitu kekuatan internasional, meski tidak secara terbuka, mendukung kudeta
militer.
Keempat, krisis
ekonomi yang terjadi pada 1998 juga memberi pengaruh pada perhitungan tidak
terjadinya kudeta militer di Indonesia. Dalam krisis ekonomi itu, tentu tidak
memungkinkan berlangsungnya kudeta mengingat dunia internasional tidak menginginkannya.
Apabila saat itu kudeta dilakukan, negara justru sangat mungkin bangkrut karena
dunia internasional tidak mau memberi bantuan.
Kelima, budaya
militer dan esprit de corps. Sosok Soeharto yang berlatar militer
menjadikan Wiranto tak mungkin melakukan kudeta. Apalagi Wiranto termasuk anak
didik Soeharto sehingga tak mungkin melakukan kudeta terhadap gurunya sendiri.
Kondisi itu bertolak belakang dengan Mursi yang berasal dari sipil.
Dalam konteks
ini, penggunaan mandat Perpres No 16/1998 oleh Panglima ABRI akan penuh risiko
dan biaya politik besar. Apalagi melakukan kudeta terhadap kekuasaan Soeharto.
Situasi dan perkembangan politik sudah tidak menguntungkan bagi ABRI untuk
berseberangan dengan gerakan reformasi. Walaupun demikian, apresiasi tetap
pantas diberikan kepada ABRI secara institusi yang tidak melakukan langkah
melawan kondisi obyektif saat itu sehingga Indonesia tak menjadi seperti Mesir
saat ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar