|
Konvensi calon presiden Partai Demokrat belum mencapai
puncak, tapi sudah antiklimaks. Yang dikira macan, ternyata hanya kucing.
Meskipun dari awal banyak orang ragu akan kredibilitas
konvensi, saya sempat bergeming, meyakini konvensi akan mampu memenuhi harapan
publik, setidaknya untuk melahirkan calon presiden alternatif dari generasi
baru yang bisa mengimbangi calon-calon presiden yang sudah banyak muncul di
permukaan.
Harapan tersebut sejatinya masuk akal karena, jika konvensi
dijalankan secara asal-asalan, kredibilitas Ketua Umum Partai Demokrat Susilo
Bambang Yudhoyono-lah yang akan menjadi taruhan. Dan kita paham betul, bagi
SBY, citra merupakan segalanya. Artinya, ada pertaruhan besar di balik
penyelenggaraan konvensi.
Tapi harapan itu kini berujung kehampaan. Konvensi yang
kita bayangkan mendapat liputan media yang jauh lebih meriah dibanding liputan
kegiatan-kegiatan partai yang lain ternyata tidak terjadi. Media-media televisi
lebih tertarik memberitakan kecelakaan lalu lintas yang melibatkan putra
musikus Ahmad Dhani ketimbang meliput rangkaian kegiatan konvensi.
Bahkan deklarasi Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI),
yang digagas Anas Urbaningrum, dan para pendukungnya yang notabene
dipersepsikan sebagai kegiatan tandingan penyelenggaraan konvensi, di mata
media dianggap jauh lebih menarik. Apalagi respons negatif dari para pemimpin
Partai Demokrat terhadap para deklarator PPI memicu hiruk-pikuk yang berdampak
konvensi semakin dilupakan publik.
Faktor biaya?
Sebelum deklarasi penyelenggaraan konvensi dilakukan,
seyogianya sudah ada parade iklan di televisi, di koran-koran Ibu Kota-minimal
sepuluh kali tayang-dengan memperkenalkan visi-misi para peserta. Jika hal itu
terjadi, saya yakin, selain ada kemeriahan, publik akan bergairah mengamatinya.
Para akademisi akan ramai membahasnya dari hari ke hari.
Tapi deklarasi justru menjadi antiklimaks. Bukan sekadar
tanpa liputan memadai dari media, alih-alih memeriahkan suasana, tayangan tunda
TVRI malah membawa masalah terkait dengan etika penayangan berita. Sebagai
lembaga penyiaran publik, TVRI dianggap telah menyalahi ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Penyiaran.
Dalam Pasal 36 ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran ditegaskan bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan
tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu saja. Sebagai lembaga
penyiaran yang dioperasikan dengan uang negara (yang diambil dari APBN), TVRI
dianggap melakukan pelanggaran serius karena telah menayangkan kepentingan
partai politik.
Mungkin akan lain ceritanya jika yang menayangkan adalah
lembaga penyiaran (televisi) swasta. Sebab, sudah banyak partai politik
melakukan hal yang sama: menyelenggarakan kegiatan dengan disiarkan-baik
langsung maupun tunda-oleh stasiun televisi swasta.
Inilah yang membuat kita bertanya-tanya, mengapa Komite
Konvensi tak bisa mendekati stasiun televisi swasta? Ada kemungkinan jawabannya
ada dua: karena tidak profesional sehingga tak mampu melakukannya atau lantaran
tidak punya biaya yang cukup untuk membayar slot acara/iklan yang disediakan
stasiun televisi swasta. Jika melihat kompetensi para anggota Komite Konvensi,
kemungkinan besar disebabkan oleh faktor kedua.
Momentum sia-sia
Apa pun alasannya, tanpa liputan yang memadai, bagaimana
mungkin konvensi akan menarik perhatian publik. Bagaimana mungkin para
pesertanya bisa menjadi idola jika segenap rakyat tak mengenal dengan baik
siapa mereka. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, siapa tak kenal maka tak
sayang, siapa tak sayang maka tak cinta?
Semestinya deklarasi diselenggarakan-minimal-di Istora
Senayan, dengan dihadiri tim sukses, relawan, dan para pendukung dari
masing-masing peserta. Jika tiap peserta membawa seribu orang, akan hadir 11
ribu orang. Jumlah itu cukup untuk memeriahkan Istora. Apalagi jika sebagian
dari mereka membawa berbagai atribut, seperti bendera, spanduk, dan pamflet,
yang berisi gambaran visi-misi masing-masing peserta, tentu akan menambah
kemeriahan suasana.
Kemeriahan itu tidak terjadi karena deklarasi hanya
diselenggarakan secara sederhana tanpa liputan memadai dari berbagai media.
Momentum untuk memunculkan calon-calon presiden yang mampu bersaing dengan
calon-calon yang sudah diusung partai-partai lain itu akan hilang begitu saja,
begitu pun upaya meningkatkan kembali popularitas dan elektabilitas Partai
Demokrat, akan menjadi upaya yang sia-sia.
Pertanyaannya, bisakah konvensi diselamatkan dari
kesia-siaan? Mungkin bisa, dengan syarat minimal ada komitmen kuat dari
pimpinan Partai Demokrat, pertama, dengan penyediaan biaya yang cukup untuk
mengiklankan berbagai keunggulan penyelenggaraan konvensi. Biaya seperti ini
tak bisa dibebankan kepada para peserta karena umumnya para peserta sudah
terbebani oleh ongkos sosialisasi dirinya sendiri.
Kedua, fokus pada upaya menyukseskan konvensi, tidak
disibukkan dengan tindakan-tindakan yang tidak perlu, seperti pemecatan anggota
partai yang terlibat dalam deklarasi PPI, atau tindakan-tindakan lain yang
semakin memperburuk citra Partai Demokrat. Yang mesti diingat, semakin buruk
citra Partai Demokrat, kian buruk pula citra penyelenggaraan konvensi di mata
rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar