|
HARGA kedelai yang
melambung, yang berdampak kepada menjeritnya para pengusaha tempe dan tahu di
sejumlah daerah, adalah buah dari manajemen buruk bidang pertanian pemerintah
kita. Saya kian heran dengan tanggapan pemerintah.
Menteri Pertanian Suswono pernah mengatakan, pertama, Indonesia mengandalkan impor dari Amerika Serikat dan Brasil. Kebutuhan kedelai dalam negeri 2,2 juta ton hingga 2,5 juta ton per tahun, sedangkan petani dalam negeri hanya mampu memproduksi 700.000-800.000 ton per tahun. Ketika posisi rupiah melemah terhadap dolar seperti sekarang ini, harga barang impor, termasuk kedelai, melambung.
Kedua (masih alasan Pak Menteri), lahan pertanian menyusut dari sekitar 1,5 juta hektare menjadi sekitar 700 ribu hektare. Untuk menyiasati hal itu, Pak Menteri menyatakan sudah berkoordinasi dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan Kementerian Kehutanan agar dibantu untuk memperluas lahan bagi penanaman kedelai.
Pak Menteri yang terhormat, kita semua tahu, selama bertahun-tahun Indonesia memang mengimpor kedelai yang terus meningkat setiap tahun. Pak Menteri pasti sudah tahu itu sebelum menjadi menteri pertanian.
Padahal, sebagai rakyat, kami sangat berharap, ada progres dari kebijakan dan kinerja Pak Menteri supaya tingkat ketergantungan terhadap impor kedelai berkurang setiap tahun. Kita semua tahu bahwa mengimpor kedelai adalah jalan pintas untuk memasok kekurangan kedelai dalam negeri. Tapi, apakah pemerintah bisanya hanya melakukan jalan pintas?
Gara-gara banyak impor, harga kedelai dalam negeri menjadi jatuh. Sebab, kedelai impor dijual lebih murah dengan kualitas yang lebih bagus ketimbang kedelai dalam negeri. Harga kedelai impor bisa lebih murah karena, berdasar kesepakatan dengan IMF, pada 1998-2003, pemerintah membebaskan bea masuk kedelai (nol persen). Meski pada 2004 tarif ditingkatkan menjadi 10 persen, tetap saja itu masih tergolong rendah.
Kebijakan itu jelas merugikan petani kita. Sebab, bagi petani kedelai, menanam kedelai sama halnya dengan menanam masalah. Patut dipertanyakan ikhtiar konkret menurunkan volume impor kedelai yang menjadi tugas pemerintah, terutama Pak Menteri Pertanian.
Pak Menteri yang terhormat, mencari alasan bukan hal yang sulit. Tapi, krisis kedelai akan terjadi terus dan bisa jadi bakal bertambah ruwet. Padahal, rakyat kita (termasuk saya) sudah telanjur menjadikan tempe, tahu, dan juga kecap (semua itu perlu kedelai) sebagai makanan yang mengakar.
Soal alasan lahan yang terus menyusut, memang ada benarnya. Pada 1999, total lahan kedelai adalah 1.151.079 hektare (menghasilkan 1.382.848 ton). Pada 2000), lahannya menyusut menjadi 824.484 hektare (menghasilkan 1.017.634 ton). Pada 2004), areal kedelai menyusut drastis menjadi 560.125 hektare, dengan hasil produksi hanya 723.483 ton (BPS 2004). Mentan menyebut diperlukan setengah juta hektare lahan tambahan untuk swasembada kedelai.
Tetapi, menurut saya, persoalan yang mendasar itu bukan hanya menyusutnya lahan sehingga perlu diperluas. Tapi, hal mendasar adalah mengapa petani menjadi malas atau tidak bergairah menanam kedelai?
Regulasi pemerintah tidak mampu melindungi petani kedelai yang ditindas impor. Di bagian lain, menanam jagung menjadi lebih menarik ketimbang menanam kedelai. Selain biaya perawatan lebih murah, harga jagung di pasaran lebih mahal daripada kedelai.
Kita pernah mencapai swasembada kedelai. Kala itu, harga kedelai bisa mencapai 1,5 kali harga beras. Apakah kita bisa mencapai kejayaan kedelai seperti kala itu? Jawabnya: Bisa asal serius, serius, dan serius... kerja, kerja, dan kerja, perencanaan yang baik, pelaksanaan yang baik, dan yang paling penting adalah tidak ada korupsi dan kongkalikong.
Brasil adalah contoh negara yang berhasil membuat manajemen yang baik untuk produk andalannya, kedelai. Tahun ini kali pertama Brasil menyalip Amerika Serikat sebagai produsen kedelai terbesar di dunia. Lahan di sana meluas. Tahun ini lahan kedelai di Brasil sekitar 27 juta hektare, naik 9 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di sana ada regulasi bahwa padang rumput untuk ternak yang tidak lagi digunakan atau selama puluhan tahun tidak terurus bisa dimanfaatkan kembali untuk ditanami kedelai.
Untuk menjamin produktivitas tanah yang lama tidak terurus itu, pemerintah Brasil menggunakan teknologi GPS atau autopilot. Terpantaulah bagian mana tanah yang memerlukan lebih banyak pupuk. Biaya pun bisa dihemat karena pupuk tepat sasaran.
Apakah Indonesia bisa? Menurut saya, bukan soal bisa atau tidak bisa. Tapi, apakah pemerintah kita mau atau tidak mau meniru kesuksesan itu. Tidak usah muluk-muluk dulu. Untuk saat ini, kembalikan era seperti dulu, pada 1992, ketika Indonesia mampu berswasembada kedelai. Selain keseriusan, dibutuhkan penanganan yang komprehensif untuk mencapai itu.
Saya gemas yang bercampur aduk dengan prihatin menyaksikan harga kedelai di pasaran yang terus membubung. Tempe di piring saya pun kini lebih kurus. ●
Menteri Pertanian Suswono pernah mengatakan, pertama, Indonesia mengandalkan impor dari Amerika Serikat dan Brasil. Kebutuhan kedelai dalam negeri 2,2 juta ton hingga 2,5 juta ton per tahun, sedangkan petani dalam negeri hanya mampu memproduksi 700.000-800.000 ton per tahun. Ketika posisi rupiah melemah terhadap dolar seperti sekarang ini, harga barang impor, termasuk kedelai, melambung.
Kedua (masih alasan Pak Menteri), lahan pertanian menyusut dari sekitar 1,5 juta hektare menjadi sekitar 700 ribu hektare. Untuk menyiasati hal itu, Pak Menteri menyatakan sudah berkoordinasi dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan Kementerian Kehutanan agar dibantu untuk memperluas lahan bagi penanaman kedelai.
Pak Menteri yang terhormat, kita semua tahu, selama bertahun-tahun Indonesia memang mengimpor kedelai yang terus meningkat setiap tahun. Pak Menteri pasti sudah tahu itu sebelum menjadi menteri pertanian.
Padahal, sebagai rakyat, kami sangat berharap, ada progres dari kebijakan dan kinerja Pak Menteri supaya tingkat ketergantungan terhadap impor kedelai berkurang setiap tahun. Kita semua tahu bahwa mengimpor kedelai adalah jalan pintas untuk memasok kekurangan kedelai dalam negeri. Tapi, apakah pemerintah bisanya hanya melakukan jalan pintas?
Gara-gara banyak impor, harga kedelai dalam negeri menjadi jatuh. Sebab, kedelai impor dijual lebih murah dengan kualitas yang lebih bagus ketimbang kedelai dalam negeri. Harga kedelai impor bisa lebih murah karena, berdasar kesepakatan dengan IMF, pada 1998-2003, pemerintah membebaskan bea masuk kedelai (nol persen). Meski pada 2004 tarif ditingkatkan menjadi 10 persen, tetap saja itu masih tergolong rendah.
Kebijakan itu jelas merugikan petani kita. Sebab, bagi petani kedelai, menanam kedelai sama halnya dengan menanam masalah. Patut dipertanyakan ikhtiar konkret menurunkan volume impor kedelai yang menjadi tugas pemerintah, terutama Pak Menteri Pertanian.
Pak Menteri yang terhormat, mencari alasan bukan hal yang sulit. Tapi, krisis kedelai akan terjadi terus dan bisa jadi bakal bertambah ruwet. Padahal, rakyat kita (termasuk saya) sudah telanjur menjadikan tempe, tahu, dan juga kecap (semua itu perlu kedelai) sebagai makanan yang mengakar.
Soal alasan lahan yang terus menyusut, memang ada benarnya. Pada 1999, total lahan kedelai adalah 1.151.079 hektare (menghasilkan 1.382.848 ton). Pada 2000), lahannya menyusut menjadi 824.484 hektare (menghasilkan 1.017.634 ton). Pada 2004), areal kedelai menyusut drastis menjadi 560.125 hektare, dengan hasil produksi hanya 723.483 ton (BPS 2004). Mentan menyebut diperlukan setengah juta hektare lahan tambahan untuk swasembada kedelai.
Tetapi, menurut saya, persoalan yang mendasar itu bukan hanya menyusutnya lahan sehingga perlu diperluas. Tapi, hal mendasar adalah mengapa petani menjadi malas atau tidak bergairah menanam kedelai?
Regulasi pemerintah tidak mampu melindungi petani kedelai yang ditindas impor. Di bagian lain, menanam jagung menjadi lebih menarik ketimbang menanam kedelai. Selain biaya perawatan lebih murah, harga jagung di pasaran lebih mahal daripada kedelai.
Kita pernah mencapai swasembada kedelai. Kala itu, harga kedelai bisa mencapai 1,5 kali harga beras. Apakah kita bisa mencapai kejayaan kedelai seperti kala itu? Jawabnya: Bisa asal serius, serius, dan serius... kerja, kerja, dan kerja, perencanaan yang baik, pelaksanaan yang baik, dan yang paling penting adalah tidak ada korupsi dan kongkalikong.
Brasil adalah contoh negara yang berhasil membuat manajemen yang baik untuk produk andalannya, kedelai. Tahun ini kali pertama Brasil menyalip Amerika Serikat sebagai produsen kedelai terbesar di dunia. Lahan di sana meluas. Tahun ini lahan kedelai di Brasil sekitar 27 juta hektare, naik 9 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di sana ada regulasi bahwa padang rumput untuk ternak yang tidak lagi digunakan atau selama puluhan tahun tidak terurus bisa dimanfaatkan kembali untuk ditanami kedelai.
Untuk menjamin produktivitas tanah yang lama tidak terurus itu, pemerintah Brasil menggunakan teknologi GPS atau autopilot. Terpantaulah bagian mana tanah yang memerlukan lebih banyak pupuk. Biaya pun bisa dihemat karena pupuk tepat sasaran.
Apakah Indonesia bisa? Menurut saya, bukan soal bisa atau tidak bisa. Tapi, apakah pemerintah kita mau atau tidak mau meniru kesuksesan itu. Tidak usah muluk-muluk dulu. Untuk saat ini, kembalikan era seperti dulu, pada 1992, ketika Indonesia mampu berswasembada kedelai. Selain keseriusan, dibutuhkan penanganan yang komprehensif untuk mencapai itu.
Saya gemas yang bercampur aduk dengan prihatin menyaksikan harga kedelai di pasaran yang terus membubung. Tempe di piring saya pun kini lebih kurus. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar