|
Dalam tradisi
intelektual Islam dikenal istilah qaul
qadim dan qaul jadid. Istilah itu
lekat dengan salah satu mazahib
al-’Arba’ah (inspirator empat mazhab), Imam Syafi’i.
Qaul qadim adalah periode
intelektual Imam Syafi’i saat ia bermukim di Mesir. Sementara qaul jadid periode
intelektual saat ia bermukim di Irak. Sepintas tak tampak perbedaan berarti di
antara kedua periode. Bisa dimaklumi barang kali karena jarak kepindahan dari
Irak tahun 195 H, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, baru kemudian
menetap di Mesir tahun 199 H, sampai ia wafat tahun 204 H, tak lebih dari
sepuluh tahun.
Apa pelajaran
yang dapat dipetik dari transformasi intelektual Imam Syafi’i? Adalah betapa
urgen terkait penyegaran (tajdid)
pemikiran dan pemahaman Islam. Bahwa penyegaran pemikiran dan pemahaman dalam
Islam adalah niscaya. Dari situ kita dapat memaknai atau mengolaborasikan tiga
esensi penyegaran antara masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Fitrah hidup
itu dinamis. Fatwa atau produk pemikiran apa pun selalu berurusan langsung dengan
letak geografis, latar belakang keilmuan, waktu, usia, dan lain sebagainya.
Bangsa
Indonesia begitu beruntung punya guru bangsa sekelas Nurcholish Madjid (Cak
Nur). Indonesia sendiri negeri Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa yang dianugerahi
kekayaan alam dan budaya melimpah. Terdiri dari belasan ribu pulau dari Sabang
sampai Merauke. Dihuni masyarakat dengan ragam adat, suku, bahasa, agama, dan
lain-lain. Meski berbeda dan beragam, kita mesti bersyukur karena memiliki
perekat ampuh, selain Bhinneka Tunggal Ika; yakni Pancasila, UUD 1945, dan
NKRI.
Kenyataan
itulah yang dipahami Cak Nur ketika berbicara Islam untuk Indonesia. Maka,
untuk Islam dan Indonesia (Islam Indonesia), Cak Nur menulis buku Islam,
Kemodernan dan Keindonesiaan. Di sana Cak Nur mencita-citakan sekaligus
menggagas sebuah pencerahan untuk agama dan bangsa yang selaras dengan
kemodernan. Karena, menurut Cak Nur, modernisasi itu rasionalisasi, bukan
westernisasi. Modernisasi yang mencerminkan sebuah masyarakat yang terbuka,
demokratis, dan partisipatif. Islam yang diamalkan Cak Nur Islam substantif,
Islam nonsimbol, nir-kekerasan dan intoleransi. Lebih daripada itu, Cak Nur
juga telah memberikan teladan kepada kita, regenerasi bangsa, untuk
mendakwahkan Islam yang ramah, bukan Islam marah. Islam yang merangkul, bukan
Islam yang gemar memukul. Islam yang siap memberikan pertolongan, bukan Islam
pentungan. Islam yang bertradisi Indonesia, bukan Islam Arab Saudi atau
Barat-Eropa.
Cak Nur-lah
gerbong Islam yang menyegarkan. Maka, tak berlebihan jika apa yang dilakukan
Cak Nur adalah spirit dari intelektualisme Imam Syafi’i. Di mana Islam mesti
selalu up to date dengan
dinamika zaman, shalih likulli
zamanin wa makanin. Islam yang menuntun tetapi tetap santun. Islam yang
memegang prinsip amar makruf dengan cara makruf dan nahi mungkar
tetap dengan cara makruf. Islam yang
tidak arogan dan mau menang sendiri. Islam yang tidak memutlakkan pandangan.
Atas hal ini, Imam Syafi’i juga mengatakan, pendapat
saya benar mungkin salah, pendapat yang lain salah mungkin benar.
Ada banyak
sekali pandangan Cak Nur yang menohok nurani, salah satunya saat ia mengatakan,
satu hal yang biasanya dianggap dengan sendirinya benar adalah bahwa mutu lebih
penting daripada jumlah. Namun, justru umat Islam Indonesia sekarang ini melakukan
yang sebaliknya; lebih mementingkan jumlah daripada mutu. Ia menyampaikan
pandangan ini tahun 1970, ironisnya pernyataan ini semakin akurat, betapa benar
umat Islam Indonesia semakin nyata menjadi buih di lautan, yang jauh dari
berkualitas.
Apa yang
dinyatakan Cak Nur dulu menjadi kenyataan hingga dari ini. Umat Islam di
Indonesia menjadi umat yang hanya peduli kuantitas, tetapi jauh dari kualitas.
Umat Islam yang mudah terprovokasi, menyalahkan, dan konflik. Perbedaan sebagai
rahmat tak lagi menjadi modal untuk membangun harmoni. Ia justru menjadi laknat
untuk mencari kambing hitam sambil menyalahkan banyak pihak yang berbeda. Dan
menjadi bumerang yang mudah menyerang pihak lain yang tidak segolongan.
Ide-ide
segar Cak Nur
Jika dirunut,
sejumlah gagasan segar Cak Nur bermuara pada satu kunci: daya tonjok psikologi
atau dalam bahasanya ”kekuatan maknawi yang ampuh’ (psychological striking force). Demikian tatkala Cak Nur
mengomentari pandangan OW Holmes: kebaikan terakhir yang dikehendaki lebih baik
dicapai melalui perdagangan-perdagangan bebas dalam ide-ide. Bahwa
sebaik-baiknya ujian bagi suatu kebenaran adalah kekalutan pikiran untuk
membuat dirinya dapat diterima dalam kompetisi pasar, dan bahwa kebenaran
adalah satu-satunya landasan di mana keinginan- keinginan mereka dengan selamat
dapat dilaksanakan.
Cak Nur
berkomentar, katanya, karena tiadanya pikiran-pikiran yang segar kita telah
kehilangan apa yang dikemukakan di muka, yaitu psychological striking force (kekuatan maknawi yang ampuh)
sebab tak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya
kepada tuntutan-tuntutan segera daripada kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh
terus, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Berikut beberapa dari
sekian banyak ide segar yang pernah disampaikan Cak Nur.
Pertama, Islam
yes, partai Islam no! Cak Nur mempertanyakan realitas kuantitas Islam yang
sampai hari ini semakin banyak, apakah atas dasar hati atau hanya sebagai
adaptasi sosial-politik? Dan menegaskan bahwa partai yang selalu ”mendagangkan”
Islam akan memfosil dan kehilangan dinamika. Kedua, liberalisasi Islam. Yakni
mendinamisasikan pemikiran dari nostalgia atau orientasi masa lampau. Pada saat
yang sama, Cak Nur juga menganjurkan untuk melepaskan diri dari nilai-nilai
tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi kepada masa depan.
Ketiga,
sekularisasi. Cak Nur menjelaskan, sekularisasi menjadi mesti akibat daripada
perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan di antara
nilai-nilai yang disangkanya Islamis mana yang transendental dan mana yang
temporal. Malahan, kata Cak Nur, hierarki nilai itu sering dalam keadaan
terbalik, transendental menjadi temporal dan sebaliknya atau menjadi
transendental semuanya, bernilai ukhrawi tanpa kecuali. Keempat, kebebasan
berpikir. Kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, menurut Cak Nur, adalah
yang paling berharga, yang harus dipegang teguh bahwa semua bentuk pikiran dan
ide, betapapun anehnya kedengaran di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk
dinyatakan. Tidak jarang pikiran-pikiran dan ide-ide itu yang umumnya semula
dikira salah dan palsu ternyata kemudian benar. Kelima, idea of progress dan sikap terbuka. Sikap dinamis dan mental
terbuka berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana
saja asal mengandung kebenaran.
Melanjutkan
penyegaran
Akhirnya, juga
masih menurut Cak Nur, agar ide-ide segar itu tetap segar dan ajek, perlu
kelompok pembaru yang bebas. Menurut Thoha Hamim (2000), ciri umum gerakan pembaruan,
antara lain, kembali kepada ajaran Al Quran, sunah, dan tradisi salaf, menolak
praktik-praktik taklid (ittiba’), berpikir rasional yang
menafsir sumber-sumber ajaran Islam secara aktual, dan yang paling menonjol
tentu saja memerangi bid’ah dan khurafat.
Namun, memang
konsekuensinya, sebagaimana pandangan Ahmad Syafii Maarif, setiap pembaru di
mana pun di muka bumi ini hampir pasti dilawan, dicaci maki, dan dimusuhi,
tetapi ajaibnya diam-diam diikuti. Ini juga berlaku atas Nurcholish Madjid yang
telah bekerja keras mengawinkan keislaman dan keindonesiaan. Walhasil, tugas
kita tak lain melanjutkan penyegaran pemikiran dan pemahaman Islam itu sendiri,
terutama terhadap ide-ide segar Cak Nur. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar