|
Sesuai sejarah demokrasi
parlementariat, maka momentum pemilihan memang menjadi sarana menentukan para
pengambil keputusan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai aspirasi
masyarakat. Politik modern mengisyaratkan keterbukaan, termasuk mendorong kader
menjadi kelompok elit dengan berbekal kapasitas kerja politiknya di tingkat
basis massa.
Kalaulah politik dinasti dan dinasti politik diakomodasi dalam skema politik lokal, maupun nasional, maka catatan yang harus menjadi perhatian dari pihak politikus adalah membentuk prestasi para penerusnya dari tingkat terbawah.
Indonesia merupakan negara demokrasi konstitusional yakni negara yang mengedepankan proses berdemokrasi tapi juga berlandaskan ketentuan-ketentuan hukum (konstitusi), ditandai dengan adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Namun, alih-alih perjalanan demokrasi dan khususnya reformasi, dunia politik kita hanya menghasilkan pragmatisme dan “biaya politik mahal”. Inilah harta karun atau telur emas yang keluar dari buah kepayahan melawan rezim otoriter masa itu?
Dalam pandangan subyektif penulis, konteks kekinian, sesungguhnya Indonesia tidaklah demokratis melainkan bergeser ke oligarkis. Di mana pusat-pusat kekuasaan dikuasai oleh sekelompok orang. Di dalam politik oligarkis agenda-agenda politik ditentukan dan diperjualbelikan melalui transaksi-transaksi politik dengan uang maupun jabatan sehingga kita melihat orang-orang yang menduduki jabatan publik itu-itu saja dan parahnya lagi keberadaan mereka tidak mendatangkan perubahan yang signifikan terhadap keamanan dan kesejahteraan rakyat.
Demokrasi yang mengedepankan partisipasi publik dengan slogan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat sesungguhnya berjalan di tempat atau malah bisa dikatakan berjalan buruk. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia cuma kulitnya saja sedangkan subtansi dari berdemokrasi belum tercapai.
Dapat dilihat pada produk legislasi DPR yang seharusnya melindungi masyarakat bawah (kaum proletar) melalui produk hukumnya malah banyak mengabaikan hak-hak mereka sehingga produk hukum yang dihasilkan bersifat ortodoks. Padahal DPR merupakan representasi semua rakyat Indonesia bukan representasi masyarakat kelas atas (kaum borjuis).
Produk hukum yang responsif harus memenuhi unsur sosiologis, filosofis dan yuridis karena sebuah undang-undang bisa dilaksanakan bila memenuhi tiga aspek, yaitu aspek filosofis, yuridis, sosiologis dan kebanyakan para legislator kita hanya mengedepankan aspek yuridis dan mengabaikan aspek filosofis dan sosiologis, sehingga banyak eksistensi hukum negara yang terkesan percuma atau tidak ditaati oleh masyarakat. Misalnya UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang tidak berlaku efektif di provinsi Bali karena pada dasarnya Indonesia masyarakatnya mejemuk namun seringkali pembentuk undang-undang melakukan penyederhanaan permasalahan dan melakukan penyeragaman padahal negara Indonesia terdiri di atas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya.
Kalaulah politik dinasti dan dinasti politik diakomodasi dalam skema politik lokal, maupun nasional, maka catatan yang harus menjadi perhatian dari pihak politikus adalah membentuk prestasi para penerusnya dari tingkat terbawah.
Indonesia merupakan negara demokrasi konstitusional yakni negara yang mengedepankan proses berdemokrasi tapi juga berlandaskan ketentuan-ketentuan hukum (konstitusi), ditandai dengan adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Namun, alih-alih perjalanan demokrasi dan khususnya reformasi, dunia politik kita hanya menghasilkan pragmatisme dan “biaya politik mahal”. Inilah harta karun atau telur emas yang keluar dari buah kepayahan melawan rezim otoriter masa itu?
Dalam pandangan subyektif penulis, konteks kekinian, sesungguhnya Indonesia tidaklah demokratis melainkan bergeser ke oligarkis. Di mana pusat-pusat kekuasaan dikuasai oleh sekelompok orang. Di dalam politik oligarkis agenda-agenda politik ditentukan dan diperjualbelikan melalui transaksi-transaksi politik dengan uang maupun jabatan sehingga kita melihat orang-orang yang menduduki jabatan publik itu-itu saja dan parahnya lagi keberadaan mereka tidak mendatangkan perubahan yang signifikan terhadap keamanan dan kesejahteraan rakyat.
Demokrasi yang mengedepankan partisipasi publik dengan slogan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat sesungguhnya berjalan di tempat atau malah bisa dikatakan berjalan buruk. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia cuma kulitnya saja sedangkan subtansi dari berdemokrasi belum tercapai.
Dapat dilihat pada produk legislasi DPR yang seharusnya melindungi masyarakat bawah (kaum proletar) melalui produk hukumnya malah banyak mengabaikan hak-hak mereka sehingga produk hukum yang dihasilkan bersifat ortodoks. Padahal DPR merupakan representasi semua rakyat Indonesia bukan representasi masyarakat kelas atas (kaum borjuis).
Produk hukum yang responsif harus memenuhi unsur sosiologis, filosofis dan yuridis karena sebuah undang-undang bisa dilaksanakan bila memenuhi tiga aspek, yaitu aspek filosofis, yuridis, sosiologis dan kebanyakan para legislator kita hanya mengedepankan aspek yuridis dan mengabaikan aspek filosofis dan sosiologis, sehingga banyak eksistensi hukum negara yang terkesan percuma atau tidak ditaati oleh masyarakat. Misalnya UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang tidak berlaku efektif di provinsi Bali karena pada dasarnya Indonesia masyarakatnya mejemuk namun seringkali pembentuk undang-undang melakukan penyederhanaan permasalahan dan melakukan penyeragaman padahal negara Indonesia terdiri di atas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya.
Politik nasional
harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara, yakni: (a) melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (b) memajukan kesejahteraan umum,
(c) mencerdaskan kehidupan bangsa, (d) melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, namun yang terjadi
adalah pengkhianatan terhadap tujuan negara untuk kepentingan golongan
tertentu.
Bahkan MK selama kurun waktu 9 tahun terakhir telah membatalkan 322 pengajuan Undang-Undang dari total 46 yang diajukan di tingkat MPR dan DPR sebagai produk perundang-undangan. Selama berdirinya MK, ada 460 UU yang di-judicial review, MK mengabulkan 138 UU atau sekitar 27 persen dari jumlah total penganjuan Undang undang, ini menandakan buruknya proses legislasi DPR dalam membuat peraturan perundang-undangan.
Beda lagi pada pelaksanaan pemilihan umum yang penuh kecurangan serta para elit politik yang cenderung mementingkan kepentingan masing-masing daripada kepetingan umum dengan selalu mangatasnamakan rakyat untuk mendapatkan melegitimasi pendapatnya. Money politic pun menjadi sesuatu yang lumrah di samping karena penegakan hukumnya yang lemah tapi juga karena sebagian besar penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan sehingga stimulus berupa uang sangatlah berharga bagi mereka. Adapun para ahli berpendapat kalau Indonesia ingin melaksanakan demokrasi subtansial maka masyarakatnya harus sejahtera semua.
Semakin seseorang merasa nyaman dengan jabatan atau kekuasaan yang diembannya maka dia akan cenderung mempertahankan kekuasaan tersebut sehingga berakibat pusat-pusat kekuasan hanya berputar di kalangan mereka dan secara alamiah akan menutup peluang kaum muda yang memiliki visi dan misi untuk berkiprah, seolah partai politik merupakan satu-satunya sumber kepemimpinan.
Para kepala daerah begitu selesai masa jabatannya, mendorong (kuasa gono-gini) istri, saudara dan anaknya untuk menggantikannya sebagai kepala daerah atau malah mencalonkan diri lagi untuk jabatan yang berbeda demi melanggengkan kekuasaannya (politik dinasty). Mantan Walikota Surabaya Bambang DH misalnya yang habis masa jabatannya selama 2 periode masa jabatan (10 tahun) malah mencalonkan lagi tapi untuk cabatan Wakil Walikota Surabaya dan banyak lagi sebenarnya kasus kuasa gono-gini, padahal seyogyanya dalam berpolitik diperlukan kebijaksanaan karena modal dasar dalam berpolitik adalah etika. Namun etika dan moral seolah menghilang dalam diri para pemimpin bangsa ini. Dan hal terjadi di mana, dari hampir banyak kabupaten di Nusantara, silahkan kita cek di berita ataupun Google, soal mewariskan kekuasaan yang telah didapatinya.
Dan kita melihat begitu banyak kasus korupsi yang menggerogoti iklim berdemokrasi bangsa ini. Lihat saja di semua level kekuasaan baik itu legislatif, yudikatif, dan eksekutif ramai-ramai berkorupsi tanpa melihat akibat buruk dari kejahatan korupsi. Oleh karena itu perlu perubahan yang signifikan dalam kehidupan berdemokrasi bangsa ini, harus ada pengawasan yang efektif serta penanaman moral sejak dini kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Menuju sistem demokrasi yang ideal tentu butuh proses yang tidak sebentar tapi jangan sampai dalam perjalanannya ada yang dikorbarkan dan optimisme akan Indonesia yang lebih baik harus tetap ditanamkan, walaupun kenyataannya saat ini banyak terjadi kegaduhan politik, dimulai dari kasus-kasus korupsi….. ●
Bahkan MK selama kurun waktu 9 tahun terakhir telah membatalkan 322 pengajuan Undang-Undang dari total 46 yang diajukan di tingkat MPR dan DPR sebagai produk perundang-undangan. Selama berdirinya MK, ada 460 UU yang di-judicial review, MK mengabulkan 138 UU atau sekitar 27 persen dari jumlah total penganjuan Undang undang, ini menandakan buruknya proses legislasi DPR dalam membuat peraturan perundang-undangan.
Beda lagi pada pelaksanaan pemilihan umum yang penuh kecurangan serta para elit politik yang cenderung mementingkan kepentingan masing-masing daripada kepetingan umum dengan selalu mangatasnamakan rakyat untuk mendapatkan melegitimasi pendapatnya. Money politic pun menjadi sesuatu yang lumrah di samping karena penegakan hukumnya yang lemah tapi juga karena sebagian besar penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan sehingga stimulus berupa uang sangatlah berharga bagi mereka. Adapun para ahli berpendapat kalau Indonesia ingin melaksanakan demokrasi subtansial maka masyarakatnya harus sejahtera semua.
Semakin seseorang merasa nyaman dengan jabatan atau kekuasaan yang diembannya maka dia akan cenderung mempertahankan kekuasaan tersebut sehingga berakibat pusat-pusat kekuasan hanya berputar di kalangan mereka dan secara alamiah akan menutup peluang kaum muda yang memiliki visi dan misi untuk berkiprah, seolah partai politik merupakan satu-satunya sumber kepemimpinan.
Para kepala daerah begitu selesai masa jabatannya, mendorong (kuasa gono-gini) istri, saudara dan anaknya untuk menggantikannya sebagai kepala daerah atau malah mencalonkan diri lagi untuk jabatan yang berbeda demi melanggengkan kekuasaannya (politik dinasty). Mantan Walikota Surabaya Bambang DH misalnya yang habis masa jabatannya selama 2 periode masa jabatan (10 tahun) malah mencalonkan lagi tapi untuk cabatan Wakil Walikota Surabaya dan banyak lagi sebenarnya kasus kuasa gono-gini, padahal seyogyanya dalam berpolitik diperlukan kebijaksanaan karena modal dasar dalam berpolitik adalah etika. Namun etika dan moral seolah menghilang dalam diri para pemimpin bangsa ini. Dan hal terjadi di mana, dari hampir banyak kabupaten di Nusantara, silahkan kita cek di berita ataupun Google, soal mewariskan kekuasaan yang telah didapatinya.
Dan kita melihat begitu banyak kasus korupsi yang menggerogoti iklim berdemokrasi bangsa ini. Lihat saja di semua level kekuasaan baik itu legislatif, yudikatif, dan eksekutif ramai-ramai berkorupsi tanpa melihat akibat buruk dari kejahatan korupsi. Oleh karena itu perlu perubahan yang signifikan dalam kehidupan berdemokrasi bangsa ini, harus ada pengawasan yang efektif serta penanaman moral sejak dini kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Menuju sistem demokrasi yang ideal tentu butuh proses yang tidak sebentar tapi jangan sampai dalam perjalanannya ada yang dikorbarkan dan optimisme akan Indonesia yang lebih baik harus tetap ditanamkan, walaupun kenyataannya saat ini banyak terjadi kegaduhan politik, dimulai dari kasus-kasus korupsi….. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar