|
Hasil
hitung cepat beberapa lembaga survei menunjukkan angka golongan putih dalam
Pilkada Jawa Timur yang baru berakhir: 40 persen. Dengan kata lain, tingkat
partisipasi masyarakat Jawa Timur dalam hajatan lima tahunan itu hanya 60
persen.
Kenyataan ini kian menegaskan
kegelisahan tentang rendah-nya minat masyarakat terhadap suksesi kepemimpinan.
Apalagi, Pilkada Jawa Timur tak sendirian dalam mencetak tingginya golongan
putih (golput). Pilkada Jawa Tengah beberapa bulan lalu menghasilkan golput 48
persen. Pilkada Jawa Barat Februari 2013 dimenangi pemilih golput dengan 36
persen. Yang paling fenomenal tentu saja Pilkada Sumatera Utara: golput 60
persen.
Tren rendahnya partisipasi warga
dalam sejumlah pilkada dianggap sebagai alarm tentang rendahnya kualitas
kehidupan politik atau kualitas demokrasi di suatu wilayah. Tanpa langkah
antisipasi yang memadai, tren serupa dikhawatirkan akan mewarnai Pemilu 2014.
Langkah antisipasi tentu harus
didahului pertanyaan, apakah penyebab utama fenomena golput? ”Buruknya sosialisasi tentang tahap dan tata
cara pilkada serta rendahnya perhatian masyarakat terhadap masalah politik”,
inilah jawaban baku yang sering dikemukakan. Namun, benarkah perhatian warga
terhadap politik rendah? Benarkah penyebab golput adalah apatisme masyarakat
terhadap kehidupan politik?
Apatisme politik semestinya
dipahami sebagai ketakpedulian terhadap dunia politik yang terekspresikan dalam
sikap tak acuh terhadap proses-proses politik dan terhadap siapa pun yang
menjadi pemimpin formal. Apatisme ini muncul pada kelompok masyarakat yang
menganggap politik sebagai urusan orang lain, katakanlah urusan partai politik
dan para politisi. Bertolak dari pengertian ini, yang melatari rendahnya
partisipasi masyarakat dalam sejumlah pilkada dewasa ini, sesungguhnya bukan
sebentuk apatisme politik.
Mari menyimak hasil jajak pendapat Kompas sepekan
sebe- lum Pilkada Jawa Timur (Kompas,
30/8/2013). Jajak pendapat ini menunjukkan warga Jawa Timur tidak berminat
mengikuti coblosan karena tak percaya kepada calon (19 persen), tak terdaftar
(12 persen), menganggap pilkada tak bermanfaat (11 persen), belum mengenal
calon (11 persen), kendala waktu dan keperluan lain (24 persen). Warga Jawa Timur
memilih atau terpaksa menjadi golput bukan karena apatis terhadap politik,
melainkan karena alasan teknis dan alasan politis-rasional.
Kategori pemilih apatis jelas tak
dapat diberikan kepada warga yang tak mengikuti coblosan karena tak percaya
kepada calon, belum mengenal calon, atau merasa tak mendapatkan manfaat dari
pilkada. Alasan ini justru menunjukkan kalkulasi logis orang-orang yang
melek-politik. Mereka sadar bahwa sebelum menentukan pilihan politik, mereka
harus mengetahui benar rekam jejak para kandidat: bagaimana kualitas,
kredibilitas, dan kepribadiannya.
Tidak
bermakna
Dalam konteks ini, gejala golput
bukan karena persoalan rendahnya keterlibatan atau ketertarikan masyarakat
kepada politik, melainkan karena keyakinan masyarakat bahwa pilkada tak
bermakna apa-apa karena tak ada kandidat yang secara meyakinkan menjanjikan
perubahan dan perbaikan kondisi.
Gejala golput dalam pengertian ini
jelas tak dapat dilihat sebagai ”aib” dari penyelenggaraan pemilu, sebagai
parameter rendahnya kualitas demokrasi.
Kita dapat membayangkan kondisi
yang sebaliknya. Apakah pemilu lebih berkualitas jika, misalnya, angka golput
rendah, tetapi banyak orang asal coblos ketika di TPS tanpa mengenal betul
calon yang mereka coblos, bagaimana kualitas dan keberpihakannya? Apakah pemilu
jadi bermakna jika warga berbondong-bondong ke TPS bukan karena kesadaran
sendiri, melainkan karena dimobilisasi dengan sarana tertentu?
Bukan berarti dengan demikian
lantas gejala golput dibiarkan begitu saja. Tak pula golput kemudian
direkomendasikan sebagai pilihan politik. Yang perlu ditekankan: kita harus
melihat gejala golput bukan sebagai problem rendahnya kesadaran politik
masyarakat, melainkan sebagai problem kegagalan partai politik dalam
menampilkan calon pemimpin yang populer, memikat, dan meyakinkan masyarakat.
Kita harus berhenti menyalahkan
warga terkait dengan tingginya gejala golput karena pokok masalahnya bukan pada
kesadaran politik masyarakat, melainkan kepada krisis calon pemimpin yang
terjadi pada tingkat partai politik.
Sejumlah penelitian menunjukkan
bahwa pamor partai politik di mata warga telah menu- run. Daya tarik utama
pemilu dan pilkada bukan lagi partai politik dengan berbagai atributnya,
melainkan kandidat individu yang diusung partai politik. Preferensi politik
masyarakat sudah banyak beralih dari institusi ke figur.
Warga akan antusias mengikuti
coblosan jika mereka menemukan figur-figur yang populer, meyakinkan, atau
berkualitas dalam daftar kandidat. Sebaliknya, warga akan enggan datang ke TPS
jika dihadapkan kepada pilihan figur yang itu-itu saja, yang tidak menumbuhkan
optimisme dan harapan, atau lebih absurd lagi yang relatif tidak dikenal
masyarakat.
Tanpa bermaksud mengesampingkan
faktor lain, yang perlu diperbaiki dalam rangka mengurangi angka golput dengan
demikian adalah kemampuan dan keluwesan partai politik dalam menampilkan calon
pemimpin yang mengena di hati masyarakat. Popularitas, akseptabilitas, dan
kredibilitas calon pemimpin semestinya lebih dipertimbangkan daripada masalah
loyalitas terhadap partai atau persoalan kedekatan terhadap ketua partai.
Yang dihadapi partai politik saat
ini notabene bukanlah warga yang pasif dan mudah dimobili- sasi, melainkan
masyarakat yang semakin selektif, menuntut, dan kritis. Warga yang memiliki
banyak saluran komunikasi dan informasi. Warga yang sadar punya banyak pilihan
politis, termasuk pilihan tidak memilih mana kala dihadapkan kepada kelangkaan
figur pemimpin yang populer dan berprestasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar