|
SUDAH
sejak lama, Indonesia berada dalam paradoks: kaya sumber daya alam, tetapi
mayoritas rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan. Data berbicara bahwa sejak
tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesai selalu positif yakni 4,58 persen (2009),
6,1 persen (2010), 6,5 persen (2011) dan 6,3 persen (2012). Namun,
pertumbuhan ekonomi ini tidak diikuti oleh pemerataan ekonomi.[1] Hal ini ditunjukkan oleh koefisien gini (gini index) yang terus naik yakni 0,39 (2009), 0,38
(2010), dan 0,41 (2011).
Menurut
analisis ekonomi-politik, koefisien gini di atas 0,4 sangat berbahaya bagi
stabilitas sebuah negara karena berpotensi menimbulkan konflik sosial yang
dipicu oleh tingginya kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin (Sinaga
2012). Menurut BPS (Maret 2011), jumlah orang miskin di Indonesia sebesar 29,89
juta jiwa. Laporan Bank Dunia jauh lebih mengejutkan, yakni 40 persen saya er
menduduki cabanangungg jawab kepada rakyat rsal, dan karena itu tidak
bertanggung jawab kepada rakyat. hubungan dari total penduduk Indonesia (Media Indonesia, 5/1/2012). Di Indonesia (2011),
kekayaan dari 40 orang terkaya, setara dengan kekayaan 60 juta penduduk. Atau,
kekayaan dari 43 ribu penduduk hampir sama dengan kekayaan yang dimiliki oleh
140 juta penduduk (Prakarsa Policy Review 2011).
Ilustrasi
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan kesenjangan
ekonomi tinggi dan sekaligus merupakan negara terburuk dalam mengatasi
kemiskinan di Asia Tenggara, karena jumlah penduduk miskin bertambah 2,7 juta
dalam tiga tahun terakhir (Prakarsa Policy Review 2011).
Salah satu penyebab tingginya kesenjangan ekonomi dan kemiskinan adalah
ketiadaan keadilan agraria, yang ditunjukkan oleh koefisien gini kepemilikan
tanah yang terus naik dari tahun ke tahun.
Naiknya
koefisien gini kepemilikan tanah setiap tahun disebabkan oleh kepemilikan tanah
dari puluhan hingga jutaan hektar oleh pengusaha berkapital besar. Akibatnya,
banyak petani di Indonesia yang tidak atau hanya memiliki lahan kecil yang
melakukan urbanisasi untuk mendapat kehidupan yang lebih layak di kota. Dalam
pendekatan agraria, proses ini disebut de-peasantization.[2] Urbanisasi seperti ini tidak menyelesaikan
persoalan karena pertumbuhan ekonomi kota tidak mampu menyerap semua tenaga
kerja yang berlimpah ruah. Apalagi, banyak dari tenaga kerja dari pedesaan tak
memiliki pendidikan dan keterampilan. Karena tidak terserap sektor formal,
tenaga kerja yang tak berpendidikan dan keterampilan ini terpaksa menjadi
penganggur yang rentan terlibat dalam aksi kejahatan di perkotaan.
Situasi paradoksal yang dijelaskan di atas perlu
dicarikan solusinya. Salah satunya adalah reformasi agraria yang akan diulas
dalam tulisan ini. Di sini saya akan membahas signifikansi reformasi agraria di
Indonesai yang dibagi ke dalam beberapa bagian. Setelah pendahuluan singkat
ini, saya akan menjelaskan kontestasi wacana reformasi agraria di Indonesia
dari era pasca-kemerdekaan hingga pasca-reformasi. Pada bagian selanjutnya,
akan diuraikan tentang landasan teoritis yang berkaitan dengan reformasi
agraria dan pembangunan bangsa. Uraian ini akan berlanjut dengan fakta-fakta
empiris yang menjadi pijakan untuk merekomendasikan reformasi agraria di
Indonesia. Akhirnya, saya akan menguraikan tawaran strategi reformasi
agraria yang perlu dilakukan untuk konteks Indonesia.
Kontestasi
wacana reformasi agraria di Indonesia (1945 - )
Wacana
reformasi agraria di Indonesia yang pasang surut sangat bergantung pada
dinamika politik dan kemauan penguasa. Hal ini terjadi sejak Indonesia terlepas
dari belenggu penjajahan Belanda. Wiradi (2005) menegaskan bahwa kondisi
agraria Indonesia ditentukan oleh empat faktor yang saling berkaitan yakni (1)
warisan sejarah, (2) dinamika internal, (3) intervensi pemerintah melalui
pelbagai kebijakan, dan (4) intervensi pihak luar seperti perusahaan besar
nasional dan multi nasional. Dinamika keempat faktor ini membentuk kebijakan
nasional dalam kaitannya dengan struktur agraria.
Setelah
kemerdekaan, para founding fathers berniat
menata kembali sistem pertanahan melalui reformasi agraria. Menurut Soemardjan
(1962), tujuan utama reformasi agraria pasca kemberdekaan bukan terutama untuk
memfasilitasi pembangunan ekonomi, walaupun reformasi agraria itu sendiri
berimplikasi ekonomis bagi kehidupan masyarakat.
Awalnya,
pada tahun 1945, reformasi agraria dicetuskan sebagai percobaan, oleh Menteri
Dalam Negeri, di sebuah desa perdikan di Banyumas, Jawa Tengah. Implementasi
reformasi agraria ini didukung oleh undang-undang No. 13/1946. Melalui
undang-undang ini, hak istimewa yang diberikan kepada elit desa (land lords) dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah
dan hak-hak kepemimpinan dicabut. Pemerintah mengambil tanah-tanah dari para
tuan tanah dan dibagikan kepada para petani (sharecroppers) yang
sebelumnya bekerja secara bagi hasil kepada para tuan tanah. Namun,
pemerintah membayar kompensasi bulanan seumur hidup bagi mereka yang kehilangan
tanah (Soemardjan 1962).
Tiga tahun setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan
undang-undang darurat No. 13/1948. Dengan undang-undang ini, para petani berhak
atas tanah yang sebelumnya dikontrol oleh perusahan Belanda, khususnya sekitar
40-an perusahan gula milik Belanda di Yogyakarta dan Surakarta. Akhirnya,
perusahaan yang ditinggalkan Belanda diambil alih oleh pemerintah Indonesia
dengan membayar kontrak dengan para petani. Kemudian, reformasi agraria
dilakukan pada skala yang lebih luas dengan memasukan tanah-tanah partikelir
(perkebunan milik pribadi) yang diperkirakan seluas 1.150.000 hektar di daerah
Jawa dan Sulawesi yang sebelumnya dijual oleh Belanda kepada orang-orang
Inggris, Arab, dan Tionghoa pada masa krisis keuangan sebelum abad ke-20
(Soemardjan 1962).
Pada
masa demokrasi terpimpin, pemerintah mengeluarkan undang-undang No. 1/1958 yang
berimplikasi pada penghapusan tanah perkebunan pribadi (particuliere landerijen). Semua hak istimewa yang
sebelumnya dikuasai para tuan tanah kini diambil alih oleh pemerintah. Para
tuan tanah diberi dua pilihan yakni: (1) menjual langsung kepada petani, atau
(2) menjual kepada pemerintah Indonesia yang kemudian dibagikan kepada para
petani yang bekerja pada perkebunan itu. Dalam dua penjualan di atas,
pemerintah yang menentukan harga dan dapat dicicil dalam waktu maksimum 5
tahun. Namun, para pemilik perkebunan dapat meminta ijin atau sertifikat kepada
pemerintah untuk memiliki perkebunannya dengan jangka waktu yang ditetapkan
oleh undang-undang agraria (Soemardjan 1962).
Pada
tanggal 24 September 1960, presiden Sukarno mengesahkan UU No. 5/1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA menjadi dasar untuk redistribusi
tanah bagi para petani miskin dan tak bertanah. Pada tahun 1962-1964, sering
terdengar berita tentang aksi pendudukan lahan oleh para petani yang dijadikan
sebagai obyek reformasi agraria. Biasanya tanah yang dijadikan sasaran
reformasi agraria adalah tanah ‘guntai’ dan tanah para tuan tanah yang luasnya
bertentangan dengan undang-undang agraria (Setiawan 2008). Di Jawa, dari tahun
1963-1965, reformasi agraria masuk dalam agenda politik PKI. Namun, kampanye
ini akhirnya menjadi noda ketika PKI disingkirkan oleh negara (Lucas 1992).
Setelah jatuhnya Sukarno, isu reformasi agraria pun lenyap dari konstelasi
politik nasional. Para petani yang mendukung land reform
dituduh sebagai PKI. Mereka diburu, dipenjara dan banyak juga yang dibunuh
(Lucas 1992, Setiawan 2008).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, upaya kebijakan
reformasi agraria mengalami stagnasi total, bahkan mengalami involusi.
Pemerintah Orde Baru telah mengkhianati semangat UUPA (1960). Dengan jargon
‘demi pembangunan bangsa’, pemerintah Orde Baru mengutamakan kepentingan
pemilik modal besar daripada masyarakat kecil dengan membuat undang-undang di
bidang kehutanan, kelautan, perkebunan dan pertambangan yang pro-kapitalis.
UUPA hanya diberi otoritas untuk mengatur 30 persen dari wilayah daratan
Indonesia, selebihnya menjadi kewenangan undang-undang Kehutanan yang dibuat
tahun 1967. Dengan kata lain, UUPA hanya mengatur tanah non-hutan. Selain itu,
UUPA yang sebelumnya dikendalikan oleh Depertemen Agraria diserahkan ke Badan
Pertanahan Nasional (BPN) yang lebih mengurus hal-hal administratif (Setiawan
2008).
Pada repelita pertama Orde Baru (1969-1974), pemerintah
berorientasi meningkatkan hasil pertanian melalui intensifikasi, ekstensifikasi
dan diversifikasi dalam bidang pertanian. Repelita ini berhasil dan membawa
implikasi ekonomi pada nilai tanah. Namun semenjak itu pula, nilai jual tanah
menjadi lebih tinggi. Kenyataan ini melahirkan para cukong tanah yang membeli
tanah dengan harga murah dan menjualnya dengan harga lebih tinggi kepada kelas
menegah di kota yang ingin menjadikan tanah sebagai investasi di masa depan.
Dengan ini, tanah dikomodifikasi demi keuntungan ekonomi pihak-pihak tertentu
yang memiliki kapital.
Selama
Orde Baru, di kota-kota besar di Indonesia, para konglomerat bekerja sama
dengan para birokrat untuk membeli tanah guna membangun mall, hotel, restoran, dll. Sementara itu, di daerah
pedesaan, para konglomerat bekerja sama dengan birokrat lokal untuk mendapatkan
daerah eks-HPH untuk membangun lahan pertanian (Lucas 1992). Persekutuan ini
telah menyingkirkan masyarakat yang tidak memiliki sertifikat tanah yang jelas.
Bagi Orde Baru, mereka dianggap telah menghalangi pembangunan. Jika ada
masyarakat yang berani menentang pengalihan lahan untuk kepentingan kapital,
pemerintah segera melabeli mereka sebagai PKI, dengan konsekuensi pemenjaraan
tanpa proses peradilan atau bahkan pembunuhan.
Sejatinya,
UUPA sudah menyiapkan instrumen agar masyarakat memiliki land security melalui sertifikat yang jelas dengan
mudah. Lucas (1992:83) menegaskan bahwa ‘menurut UUPA, agar negara
dapat mengakui kepemilikan tanah, semua hak atas tanah mesti didaftarkan agar mendapat sertifikat. Hanya dengan cara inilah keamanan legal tersedia bagi pemilik tanah. Pendaftaraan untuk sertifikasi tanah adalah
wajib berdasarkan undang-undang, tidak ada batas waktu yang ditetapkan untuk
pendaftaraan tanah.’ Namun, hal ini tidak bisa direalisasikan
karena masalah biaya dan birokrasi Orde Baru yang koruptif dan berbelit-belit.
Tanpa kepemilikan sertifikat, tanah masyarakat yang memiliki potensi ekonomi
dengan mudah dirampas oleh negara yang telah berselingkuh dengan kapitalis
tanpa memberikan kompensasi yang adil sesuai undang-undang yang berlaku. Karena
itu, Lucas (1992: 84) secara sinis mengatakan bahwa di Indonesia ‘tanah dan hukum adalah milik orang berduit.’
Pengkhianatan
Orde Baru kepada agenda reformasi agraria berpuncak di tahun 1971 ketika negara
memberhentikan dana untuk membiayai program reformasi agraria. Bagi Lucas
(1992: 83), hal ini menandai bahwa ‘reformasi agraria “bukan lagi
prioritas pemerintah”.’ Tak heran, ketimpangan
kepemilikan tanah terus naik dari tahun ke tahun. Pemerintah daerah berada
dalam dilema: di satu pihak mesti mempertahankan hak-hak masyarakat, tetapi, di
pihak lain harus secara aktif mempromosikan proyek pembangunan daerahnya di
bawah agenda nasional (Lucas 1992).
Setelah
Orde Baru tumbang, keran isu reformasi agraria dibuka kembali. Pada tahun 2001,
pemerintah menerbitkan Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR ini berintensi
mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah dan kekayaan alam lainnya,
menyelesaikan konflik-konflik agraria dan sumber daya alam, dan memperbaiki
kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam yang rusak. Pasal 2 Tap MPR No.
IX/2001 menegaskan sebagai berikut bahwa ‘pembaruan agraria mencakup
suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria,
dilaksakanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia’ (Setiawan
2008: 417).
Agar Tap MPR No. IX/2001 segera dilaksanakan, lahirlah
Tap MPR No. VI/ 2002 dan Tap MPR No. I/2003 yang menegaskan bahwa pemerintah
tetap berkewajiban mengimplementasikan apa yang telah ditetapkan dalam Tap
IX/MPR/2001. Sementara itu, Tap MPR No. V/2003 menuntut lembaga negara, DPR dan
Presiden, untuk melaksanaka reformasi agraria dengan terlebih dahulu
menyelesaikan konflik dan permasalahan di bidang agraria dan mempercepat
pembahasan RUU Pelaksanaan Pembaruan Agraria dengan membentuk lembaga atau
institusi independen (Setiawan 2008).
Pada tanggal 31 Januari 2007, Presiden SBY berencana
memulai pelaksanaan reformasi agraria dengan prinsip tanah untuk keadilan dan
kesejahteraan rakyat. Sebelumnya, pada 28 September 2006, SBY memanggil Menteri
Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI untuk
menetapkan 18,15 juta hektar hutan produksi konversi dialokasikan bagi program
reformasi agraria untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Sementara itu,
pada 29 Januari 2007, DPR RI tetap mempertahankan UUPA karena diniali relevan
dan urgen bagi bangsa Indonesia. Apalagi, dasar hukum reformasi agraria adalah
UUPA No. 5/1960 (Setiawan 2008).
Pada bulan Mei 2007, dalam rapat kabinet tentang reforma
agraria, presiden RI berencana menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Reforma Agraria dan akan diadakan pertemuan presiden dengan gubernur,
bupati/walikota, serta peluncuran Program Pembaruan Agraria nasional (PPAN)
oleh Presiden. Namun, di penghujung tahun 2007, agenda reforma agraria berada
di persimpangan jalan. Kemauan politik yang telah direncanakan tidak bisa
diimplementasikan. Para petani kecewa. PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan
Pendayaagunaan Tanah Terlantar sempat memberikan angin segar bagi petani agar
terjadi redistribusi lahan bagi tanah yang ditelantarkan oleh perusahaan.
Namun, hal ini tidak terealisasi secara maksimal. Dari 4,8 juta hektar yang
terindikasi sebagai tanah terlantar oleh BPN RI, baru 37.223 hektar yang
ditetapkan sebagai tanah terlantar. Parahnya lagi, tanah terlantar yang
ditetapkan ini belum diredistribusikan kepada masyarakat (Setiawan 2008).
Tahun 2012, DPR RI mengesahakan UU No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. UU ini
kemudian diperkuat oleh Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dua peraturan ini telah memuluskan proses pembebasan
tanah atas nama pembangunan dan kepentingan umum. Karena itu, konflik agraria
meningkat pada tahun 2012 (Arsyad 2012b). Pada masa kepemimpinan SBY, sejak
2004-2012, telah terjadi 618 konflik agrarian di seluruh Indonesia dengan areal
konflik seluas 2.399.314, 48 hektar yang mana telah membawa kerugian bagi
731.342 KK. Banyak pihak meragukan niat politik SBY untuk menyelesaikan
permasalahan agraria di sisa masa jabatannya. Apalagi, tahun 2013 adalah tahun
persiapan bertarung dalam pemilu nasional 2014 (Arsyad 2012b).
Reformasi agraria dan pembangunan
Reformasi
agraria (agrarian reform) didefinisikan sebagai ‘suatu penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan,
dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani,
buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan
menuju proses industrialisasi nasional’ (Setiawan 2008: 414).
Ini berarti bahwa setiap perubahan yang lebih baik dalam kaitan dengan
kepemilikan tanah bisa digolongkan sebagai reformasi agraria. Karena itu,
Barlowe (1953: 175) menegaskan bahwa ‘poin penting yang harus
diperhatikan adalah bahwa reformasi agraria punya
makna berbeda bagi kelompok-kelompok yang juga berbeda.’
Tujuan
utama reformasi agraria adalah agar terjadi perubahan yang lebih adil dalam
struktur kepemilikan tanah. Secara teoritis, struktur kepemilikan tanah
berpengaruh terhadap struktur sosial, ekonomi dan politik. Penelitian terdahulu
(Feder & Onchan 1987, Ip & Stahl 1978, Barlowe 1953, Ahmed 1976, Place &
Hazell 1993) menegaskan bahwa reformasi agraria ‘berpotensi’ positif bagi
pembangunan dan pemerataan ekonomi suatu bangsa. Artirnya, reformasi agraria
tidak ‘otomatis’ akan berdampak positif terhadap pembangunan dan pemerataan
ekonomi suatu bangsa. Dalam kasus-kasus reformasi agraria di Rumania dan
beberapa negara Eropa Timur setelah Perang Dunia I yang diajukan Barlowe
(1953), reformasi agraria memang memuaskan para petani yang ingin memiliki
tanah, namun belum tentu berimplikasi positif terhadap meningkatnya produktivitas
petani. Karena itu, Barlowe (1953: 176, 187) menyimpulkan bahwa ‘…reformasi agraria bukanlah obat mujarab penyembuh
semua penyakit. … Reformasi agraria saja tidak semerta-merta menjamin majunya pembangunan
ekonomi.’
Setelah
melakukan penelitian di 25 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, Ahmed
(1976) mencapai kesimpulan yang sama dengan Barlowe (1953) dan membantah
hipotesis yang mengatakan bahwa kepemilikan tanah pertanian kecil di negara
berkembang dapat berdampak positif mengurangi ketimpangan (inequality) penghasilan di daerah pedesaan, juga bisa
meningkatkan efisiensi produktivitas pertanian. Tanpa diikuti oleh perubahan
lain yang berkaitan dengan struktur agraria, institusi dan kebijakan, reformasi
agraria tidak akan membawa banyak perubahan bagi tingkat kesejahteraan para
petani. Ahmed (1976) juga berargumen bahwa bahwa tanpa intervensi teknologi
yang memadai, produktivitas dan keseimbangan pendapatan petani di negara
berkembang sulit dicapai walaupun telah terjadi reformasi agraria.
Agar
membawa manfaat positif, menurut Wiradi (2005: 130), reformasi agraria mesti
didukung oleh beberapa hal seperti: (1) jaminan hukum atas hak yang diberikan,
(2) tersedianya kredit yang terjangkau, (3) akses terhadap jasa-jasa advokasi
(4) akses terhadap informasi baru dan teknologi, (5) pendidikan dan pelatihan,
dan (6) akses terhadap sarana produksi. Faktor-faktor pendukung yang disebutkan
ini berkontribusi bagi reformasi agraria yang sustainable. Namun,
faktor-faktor pendukung ini diperlukan supaya demokrasi ekonomi bisa
terealisasikan, bukan demi kepentingan akumulasi kapital seperti dalam logika
kapitalisme. Karena itu, reformasi agraria mesti dirancang sedemikian rupa agar
logika kapitalisme benar-benar ‘dimatikan’ setelah redistribusi lahan tercapai.
Dengan demikian, reformasi agraria ‘kedua’ sebagaimana yang sedang diwacanakan
di Jepang, tidak terjadi pada negara lain yang berkomitmen untuk melakukan
reformasi agraria di masa mendatang (Solon & Saragih 2013).
Salah
satu hal penting yang dituntut dari reformasi agraria adalah bahwa
pasca-reformasi agraria, kejelasan kepemilikan tanah (ownership security) mesti merupakan sebuah keniscayaan.
Sebab, kejelasan inilah yang akan mendorong pembangunan ekonomi. Di satu sisi,
Feder & Onchan (1987) telah membuktikan hipotesa ini dengan melakukan
penelitian di tiga provinsi di Thailand, yakni Lop-Buri, Nakhon Ratchasima dan
Khon-Kaen. Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa ada hubungan positif
antara meningkatnya investasi ekonomi dan kejelasan kepemilikan tanah, terutama
dalam suatu masyarakat di mana institusi keuangan dikuasai oleh lembaga formal
seperti bank. Korelasi ini terlihat sangat jelas pada dua propinsi di Thailand,
yakni Nakhon Ratchasima dan Khon-Kaen.
Kejelasan
kepemilikan tanah pasca reformasi agraria adalah syarat utama pembangunan
ekonomi. Menurut Feder & Onchan (1987: 311-318), ada dua alasan kepemilikan
tanah yang jelas berdampak positif terhadap pembangunan ekonomi. Pertama, kepemilikan tanah yang jelas ditandai oleh
kepemilikan sertifikat tanah akan meningkat formasi kapital dan investasi
karena akses terhadap kredit lebih mudah. Feder & Onchan (1987: 311)
menulis bahwa ‘[...] dengan dokumen legal kepemilikan tanah
akses pemilik tanah terhadap modal pada bank, yang umumnya kekurangan informasi
tentang latar belakang dan potensi peminjam, lebih mudah.’ Sebaliknya,
‘ketidakjelasan kepemilikan tanah menyebabkan tanah tidak bisa
menjadi jaminan pinjaman di bank’ (Ibid., p. 318). Kedua, kepemilikan tanah yang jelas mendorong para
petani untuk mengolah tanahnya secara lebih baik (land improvement). ‘[...] kepemilikan tanah yang jelas akan menyebabkan pengelolaan
pertanian secara lebih baik’ (Ibid., p. 318). Kejelasan kepemilikan tanah menumbuhkan rasa
memiliki yang tinggi, sehingga ada kemauan dan usaha untuk mengolah dan
memanfaatkan sumber daya tanah secara memadai untuk meningkatkan kesejahteraan.
Jadi,
reformasi agraria jelas memiliki implikasi positif bagi pembangunan ekonomi. Di
Asia, reformasi agraria di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan memberikan bukti
yang tepat bahwa reformasi agraria membawa kemajuan bangsa (Wiradi 2005).
Produktivitas pertanian meningkat yang akhirnya juga mendorong seluruh
pembangunan ekonomi di bidang lain, termasuk bidang industri (Ip
& Stahl 1978). Namun, reformasi agraria tidak saja berhenti pada
pembangunan ekonomi. Demokrasi ekonomi mesti
menjadi tujuan akhir dari upaya reformasi agraia.
Oleh sebab itu, negara berkembang yang mengalami ketimpangan dalam struktur
kepemilikan tanah namun masih mengandalkan pembangunan dari sektor pertanian
seperti Indonesia[3], wajib hukumnya segera melakukan reformasi agraria agar
pembangunan ekonomi dan demokrasi ekonomi bisa teralisir (Wahono 2005). Untuk
mencapai tujuan ini, perkembangan pertanian harus pula mendorong
tumbuhnya industrialisasi. Surplus ekonomi dari aktivitas pertanian mesti
juga dialokasikan bagi pembagunan dan pengembangan industri. Kemajuan suatu
bangsa juga sangat ditentukan oleh proses industrialisasi (Lane 2013).
Reformasi agraria dan kondisi keagrariaan kita
Sekitar
43 persen tenaga kerja Indonesia bekerja pada sektor pertanian (Khudori 2013).
Kemiskinan lebih terkonsentrasi di pedesaaan sebesar 66 . Makin banyak
ditemukan petani yang hanya memiliki lahan pertanian seluas 0,3 hektar atau
hanya menjadi buruh tani (landless). Menurut,
Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), sekitar 84 persen petani
Indonesia yang memiliki tanah di bawah 1 hektar. Di Indonesia, sejak tahun
1960an, luas kepemilikan tanah semakin menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun
1963, rata-rata penguasaan tanah petani adalah 1,05 hektar menjadi 0,99 hektar
pada tahun 1973, 0,90 pada tahun 1983, 0,81 pada tahun 1993 (Setiawan 2008).
Menurut Sensus Pertanian (1993), terdapat 21,1 juta rumah tangga (RT) di
pedesaan yang mana 70 persen dari mereka menggantungkan diri pada sektor
pertanian. Dari jumlah 21,1 juta RT, sekitar 3,8 persen merupakan rumah
tangga penyakap yang tak bertanah, 9,1 juta RT bekerja sebagai buruh tani, dan
9,9 juta RT petani tidak bertanah. Sensus Pertanian (2003) menyebutkan bahwa
jumlah RT petani kecil yang memiliki tanah 0,5 hektar (milik sendiri atau pun
menyewa) meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta RT (1993) menjadi 13,7
juta RT (2003). Selain itu, dari 24,3 juta RT petani yang memiliki tanah, 20,1
juta (82,7 persen) dikategorikan miskin.
Menurunnya jumlah luas lahan garapan para petani
disebabkan oleh terkonsentrasinya kepemilikan tanah dalam jumlah besar pada
pengusaha. Di sektor perkebunan, berdasarkan data dari Ditjen Perkebunan Dept.
Hutbun (2000) meliris data 30 tahun terakhir (1968-1998) yang menunjukkan bahwa
luas perkebunan secara keseluruhan meningkat dari 4,96 juta hektar menjadi
14,67 juta hektar. Pada tahun 1997/1998, jumlah perkebunan besar di
Indonesia sebanyak 1.338, dan 252 dari jumlah tersebut dalam kondisi terlantar
(Wiradi 2005). Dewasa ini, kelapa sawit sedang memperdalam kesenjangan
kepemilikan tanah karena terdapat sekitar 11,5 juta hektar lahan kelapa sawit,
52 persen milik swasta dan 11,69 milik perusahan negara (Arsyad 2012).
Di sektor kehutanan, terdapat 531 izin pengusahaan hutan
(HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) yang luasnya mencapai 35,8 juta hektar
dan dikuasai oleh puluhan konglomerat nasional. Masyarakat hanya mendapat 57
ijin pengelolaan hutan dengan luas hanya 0,25 juta hektar. Artinya, hanya
sekitar 0,19 persen masyarakat pedesaan yang mendapat akses secara legal
terhadap kawasan hutan. Di sektor pertambangan, tercatat dari tahun 1998-2010
terdapat sekitar 8.000 perizinan tambang yang dikeluarkan oleh pemerintah yang
menyebabkan sekitar 3 juta hektar kawasan lindung dikonversikan menjadi areal
tambang. PT Freeport Indonesia sendiri memperolah kontak karya seluas 2,9 juta
hektar. Selain itu, lebih dari 20 pulau telah dikapling perorangan dan berbadan
hukum asing untuk kepentingan industri pariwisata. Sementara itu, sekitar
50.000 hektar konsesi budidaya dikelolah oleh asing (Arsyad 2012, Setiawan
2008).
Akibat
dari terkosentrasinya kepemilikan tanah pada konglomerat nasional dan perusahan
multi nasional, hanya sekitar 0,2 persen penduduk Indonesia menguasai 56 persen
aset produktif dan 87 persen dalam bentuk tanah (Arsyad 2012). Ketimpangan
kepemilikan tanah ini berimplikasi pada konflik agraria yang terus terjadi
hingga saat ini. Terkosentrasinya kepemilikan tanah pada konglomerat nasional
dan perusahan multi nasional telah lahirkan konflik agraria di Indonesia. Sejak
tahun 1970-2001, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 2.834
kasus konflik agraria struktural di 286 daerah (kabupaten dan kota). Luas tanah
berkonflik sekitar 10.892.203 yang mengorbankan sekitar 1.189.482 KK. Konflik
paling tinggi terjadi pada sektor perkebunan yakni 344 kasus. Selain itu,
sepanjang 2007, KPA merekam peningkatan kekerasan kepada petani sebanyak 80
kasus konflik agraria. Konflik agraria (2007) telah menewaskan 9 jiwa yakni 1
polisi, 2 satpam dan 6 warga. Terdapat pula 255 orang yang ditahan polisi dan
129 di antaranya mengalami cacatan akibat siksaan. Tambahan lagi, 208 rumah
telah dibakar (Setiawan 2008). Pada tahun 2011 saja terjadi banyak sekali
konflik agraria seperti yang terjadi di Mesuji, Bima, Pulau Padang, Jambi dan
banyak daerah lain. Semua konflik agraria di atas biasanya dipicu oleh
perampasan tanah (land grabbing) yang dilakukan oleh
pemerintah dan korporasi besar baik nasional maupun multi nasional yang sudah
beraliansi dengan negara.
Dalam tiga tahun terakhir (2010-2012), jumlah konflik
agraria meningkat, yakni 106 (2010), 163 (2011, disertai dengan tewasnya 19
orang petani), dan 198 (2012). Luas areal konflik adalah 963.411, 2
hektar dan melibatkan 141.915 KK. Dari 198 kasus (2012), konflik agraria
sebesar 40 persen terjadi di sektor perkebunan (90 kasus), 30 persen di sektor
pembangunan infrastruktur (60 kasus), 11 persen di sektor pertambangan (21
kasus), 4 persen di sektor kehutanan (20 kasus), 3 persen di pertanian tambak
dan pesisir (5 kasus), dan 1 persen di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai
(2 kasus). Konflik di sektor perkebunan paling besar karena izin lokasi dan
izin prinsip yang diberikan di atas tanah yang masih dimiliki oleh masyarakat.
Sepanjang tahun 2012, konflik agraria terjadi di 29 propinsi di Indonesia yang
mana jumlah konflik paling tinggi terjadi di propinsi Jawa Timur sebanyak 24
konflik agraria dan Sumatra Utara 21 konflik agaria (Arsyad 2012b).
Konsentrasi
kepemilikan tanah pada negara, peguasa dan pengusahan telah menyebabkan
kemiskinan dan konflik agraria yang menelan banyak korban. Menurut Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) 1948, ‘setiap orang mempunyai hak
untuk memperoleh taraf hidup yang layak bagi kesehatan dan kesejahteraan
dirinya dan keluargannya, termasuk pangan sandang, perumahan dan perawatan kesehatan…’ (Wiradi
2005: 128). Di Indonesia, ketimpangan kepemilikan lahan dan konflik agraria
telah menimbulkan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, reformasi agraria niscaya
segera dilakukan.
Aliansi buruh dan tani sebagai strategi reformasi agraria
Agraria dan industri adalah dua hal yang tak dipisahkan.
Begitu juga dengan petani dan buruh pabrik. Selain agraria menjadi dasar bagi
proses industrialisasi dengan cara memindahkan surplus dari sektor pertanian ke
sektor industri, juga kondisi agraria juga mempengaruhi upaya sektor industri
kapitalis memperoleh keuntungan yang besar. Pada abad 16, di Eropa Barat,
terutama di Inggris sudah ada upaya sistematis untuk mengakumulasi kapital
melalui proses industrialisasi. Sejak itu, tanah-tanah di Inggris dirampas oleh
pemilik modal dengan dua tujuan utama yakni (1) akumulasi kapital dan (2)
proletarisasi (Mulyanto 2011).
Salah
satu faktor penyebab kapitalis menerapkan outsourcing dan
membayar murah para buruh adalah kelimpahan tenaga kerja akibat proletarisasi.
Kelimpahan tenaga kerja ini terjadi akibat land grabbing, yakni
para petani yang tanahnya dirampas terpaksa ke kota menjual tenaganya agar bisa
terus mempertahankan hidup. Di Indonesia, tingkat urbanisasi jauh lebih tinggi
daripada negara berkembang raksasa seperti China dan India (Prakarsa Policy Review 2011). Pada tahun 2012,
terdapat sekitar 8,14 juta penganggur terbuka. Dari jumlah penganggur ini, 20
persen berpendidikan SD, 22,6 persen berijasah SMP, 40,07 persen menamatkan
SMA, 4 persen diploma dan 5,7 persen berijasah sarjana (Republika, 1/5/2012).
Namun,
di Indonesia, ‘relasi sosial yang ditimbulkan antara petani
dan buruh […] belum mendapat perhatian memadai’ (Habibi 2012:
266). Karena itu, upaya melawan logika kapitalis ini seolah terfragmentasi
antara (aktivis dan akademisi) buruh dan petani. Buruh merasa eksistensinya
tidak memiliki relasi timbal balik dengan petani sehingga mereka hanya menuntut
ketidakadilan yang berkaitan dengan sektor industrialisasi seperti upah buruh,
jam kerja, pasar kerja fleksibel dan sistemoutsourcing. Jarang
sekali terdengar demo buruh menuntut agenda reformasi agraria. Begitu juga
sebaliknya dengan demo para petani. Baik buruh maupun petani berjuang
sendiri-sendiri agar bisa keluar dari kapitalisme. Padahal, jika saja petani dan
buruh bisa bekerja sama mengupayakan reformasi agraria, sistem upah buruh murah
dan outsourcing bisa diatasi (Ilyas 2012).
Menurut
Gunawan Wiradi, reformasi agraria di Indonesia harus diperjuangkan oleh
masyarakat (reform by leverage) melalui organisasi tanpa menunggu
inisiatif dari atas (reform by grace). Karena jika
inisiatif berasal dari pemerintah, reformasi agraria sewaku-waktu bisa
menjadi barang tabu bila pendulum politik berubah,. Inilah yang terjadi pada
peralihan dari era Sukarno ke Suharto. Peran negara tetaplah penting karena
memiliki kekuatan memaksa untuk melangsungkan upaya reformasi agraria. Akan
tetapi, pada dasarnya reformasi agraria mesti berasal dari masyarakat yang
dipelopori oleh aliansi buruh dan petani. Aliansi buruh dan petani ini mesti
juga didukung oleh kalangan akademisi yang memberikan landasan konseptual yang
jelas tentang reformasi agraria.
Namun,
perjuangan reformasi agraria by leverage ini
mesti didukung oleh organisasi masyarakat. Sejauh ini, buruh dan petani di
Indonesia yang memiliki serikat yang cukup terorganisir dapat mengambil peran
sebagai kelas pelopor dalam upaya reformasi agraria. Di Indonesia, terdapat
sekitar 90 serikat buruh (2008) dengan total anggota 3,4 juta jiwa (Juliawan
2013). Begitu juga dengan serikat petani baik lokal maupun nasional yang banyak
yang tersebar di seluruh Indonesia seperti: Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Aliansi Petani Indonesia
(API), Serikat Tani Nasional (STN), Persatuan Tani Nelayan Indonesia (PETANI),
Mandiri dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Petani Pasundan di
Jabar, Organisasi Tani Jawa Tengah di Jateng, Serikat Tani Independen di Jatim,
Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) di Sumut, Serikat Tani Bengkulu
(STAB), Persatuan Petani Jambi (PPJ), Ikatan Petani Lapung (IPL), Serikat Tani
(SERTA) di Nusa Tenggara Barat, Serikat Petani Kabupaten Sikka di Nusa Tenggara
Timur, Serikat Tani dan Nelayan (STAN) di Sulawesi Selatan (Setiawan 2008).
Jika diorganisir dalam satu gerakan berwawasan nasional[4] yang terkoordinir secara sitematis dalam satu
aliansi, serikat-serikat petani dan buruh ini bakal mendorong perubahan yang
dicita-citakan, yakni reformasi agraria.
No
|
Kepadatan penduduk per KM persegi
|
Tanah Irigasi (dalam Hektar)
|
Tanah Landang (dalam Hektar)
|
1
|
Populasi sangat padat, lebih dari 400 orang
|
5
|
6
|
2
|
Populasi agak padat, 251-400 orang
|
7 ½
|
9
|
3
|
Populasi kurang padat, 51-250 orang
|
10
|
12
|
4
|
Populasi tidak padat, sampai 50 orang
|
15
|
20
|
Sumber: Soemardjan 1962: 26
Namun,
lagi-lagi perlu diingat bahwa tugas organisasi buruh dan petani ini bukan saja
memungkinkan terjadinya reformasi agraria, tetapi juga membangun aliansi dengan kelas pekerja yang lain
agar mendukung upaya reformasi agraria. Selain itu, fungsi organisasi buruh dan
petani adalah memastikan agar tidak terjadinya akumulasi kapital ala kapitalis
pasca-reformasi agraria. Reformasi agraria sesungguhnya berorientasi pada
pembentukan ‘kapital domestik yang progresif’ yang berbeda dengan akumulasi
kapital ala kapitalis. Sejatinya, upaya mencegah akumulasi kapital
pasca-reformasi agraria telah diantisipasi dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 dengan
membatasi luas maksimal kepemilikan tanah (lihat tabel 1). Namun, keefektifan
UU ini hanya mungkin bila masyarakat yang terorganisir mengontrol proses
implementasinya.
Selain itu, koperasi mesti dikembangkan agar terjadi
demokratisasi ekonomi pasca reformasi agraria. Dalam UUPA 1960, Hak Guna Usaha
(HGU) masih diakui. Namun, UUPA memberikan HGU kepada masyarakat melalui
koperasi (Ilyas 2012). Hanya dengan koperasi, akumulasi kapital pasca reformasi
agraria ala kapitalis dapat dihindari. Bila HGU diserahkan kepada koperasi,
maka koperasi juga dapat mengembangkan industrialisasi di pedesaan.
Industrialisasi pedesaan memungkinkan surplus kapital desa bisa diinvestasikan
di desa demi kehidupan masyarakat desa, sekaligus mencegah keluarnya tenaga
kerja produktif ke kota. Dengan demikian, buruh industri di kota tetap memiliki
posisi tawar tinggi terhadap perusahaan di kota karena fakta keterbatasan
tenaga kerja di kota. Sudah saatnya, masyarakat Indonesia membangun membangun
negerinya dari desa ke kota dan bukan sebaliknya.
Akhir kata, tak ada jalan pintas untuk konsolidasi
aliansi buruh dan petani. Terfragmentasinya organisasi buruh dan petani baik
secara internal maupun eksternal adalah kenyataan objektif yang mesti
dipecahkan secara bersama. Beberapa akademisi merasa fragmentasi ini adalah hal
yang alamiah dan sulit untuk didamaikan (Juliawan 2013). Namun, aliansi buruh
dan tani ini perlu suatu tujuan bersama, dan itu terletak pada Reformasi
agraria. Untuk jangka pendek, aliansi buruh dan petani merupakan perintis dalam
perubahan struktur agraria. Meski demikian, untuk jangka pajang, aliansi buruh
dan petani saja tidaklah cukup. Diperlukan aliansi nasional yang
melibatkan lebih banyak organisasi dari berbagai sektor. Akhirnya, kita
membutuhkan ideologi pemersatu yang lebih besar, yakni pemberantasan
kemiskinan, sehingga Indonesia tak lagi menjadi ‘kuli’ bangsa asing di
negerinya sendiri yang kaya raya. ●
KEPUSTAKAAN
Ahmed, Iftikhar. (1976).
Reduction in Rural Income Inequity Through Land Redistribution: A Quantitative
Estimate, The Bangladesh Development Studies 4, 4: 499-502.
Arsyad, Idham. (2012). ‘Kusutnya
Keagrariaan Kita’, Opini Kompas, 25 September 2012.
Arsyad, Idham. (2012b).
Terkuburnya Keadilan Agraria Bagi Rakyat Melalui Reformasi Agraria, Laporan
Akhir Tahun Konsorsium Pembaharuan Agraria 2012. (Online). (http://www.sapa.or.id/laporan-program/126-mitra-sapa/805-laporan-akhir-tahun-2012-konsorsium-pembaruan-agraria.html, diakses 22 Maret 2013)
Barlowe, Raleigh.
(1953). Land Reform and Economic Development, Jurnal of Farm Economics 35,
2: 173-187.
Feder, Gershon &
Onchan, Tongroj. (1987). Land Ownership Security and Farm Investment in
Thailand, American Journal of Agricultural
Economic 69, 2: 311-320.
Habibi, Muhtar. (2012).
Konflik dan Transformasi Agraria: Kasus Indonesia. Dalam Agus Pramusinto &
Erwan Agus Purwanto (Ed). Indonesia Bergerak,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. pp. 255-271.
Ilyas, Ulfa. (2012). ‘Reforma Agraria
dan Kemandirian Bangsa’ laporan diskusi di Wisdom Istitute, Jakarta 6 Januari
2012.
Ip, P.C & Stahl, C.
W. (1978). System of Land Tenure, Allocative Efficiency, and Economic
Develpment, Jurnal of Agricultural Economics 60,
1: 19-28.
Juliawan, Beni H. (2013). Politik Jalan
Buruh dan Pasar Kerja Fleksibel, dalam seminar MAP Corner UGM Yogyakarta, 30
April 2013.
Lucas, Anton. (1992).
Land Dispute in Indonesia: Some Current Perspectives, Indonesia, 53: 79-92.
Mulyanto, Dede.
(2011). Genealogi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata
Eksploitasi Kapitalistik, Yogyakarta: Resist Book.
Place, Frank &
Hazell Peter. (1993). Productivity Effects of Indigenous Land Tenure System in
Sub-Saharan Africa, American Journal of
Agricultural Economics 75, 1: 10-19.
Prakarsa Policy Review. (2011).
Kemiskinan Melonjak, Jurang Kesenjangan Melebar. Pp. 1-4.
Setiawan, Usep. (2008).
Dinamika Reforma Agraria di Indonesia. Dalam S.M.P Tjondronegoro & Gunawan
Wiradi (Ed). Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Pnguasaan
Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. pp. 399-342.
Sinaga, Andre. (2012). ‘Income, A
Perilously Widening Gap’, dalam Jakarta Post [Opini], Selasa, 5 Juni 2012.
Soemardjan, Selo.
(1962). Land Reform in Indonesia, Asian Survey 1,12:23-30.
Solon, Pablo & Saragih, Henry.
(2013). ‘Demokrasi Ekonomi di Asia: Peluang dan Tantangan’, dalam Seminar
Internasional di Fisipol UGM, Yogyakarta tanggal 25 April 2013.
Wahono, Francis. (2005).
Pembaharuan Agraria: Fondasi Hak-Hak Petani. Dalam Francis Wahono (Ed). Hak-Hak Asasi Petani & Proses Perumusannya. Yogyakarta:
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Pp. 165-182.
Wiradi, Gunawan. (2005).
Reforma Agraria: Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak-Hak Asasi Manusia. Dalam Francis
Wahono (Ed). Hak-Hak Asasi Petani & Proses
Perumusannya. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. pp.
121-123.
Wiradi, Gunawan. (2008).
Garis-Garis Besar Argumen dalam Wacana Reforma Agraria. Dalam S.M.P
Tjondronegoro & Gunawan Wiradi (Ed). Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola
Pnguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. pp. 483-491.
[[1]]Selama ini
pertumbuhan ekonomi di Indonesia didorong oleh sektor modern atau non-tradeable seperti sektor keuangan, jasa,
perumahan real estate, transportasi, komunikasi, perhotelan, perdagangan, dan
restoran. Pertumbuhan sektor ini berada di atas rata-rata pertumbuhan nasional.
Sebaliknya, sektor tradeable seperti
pertanian, pertambangan dan manufaktur mengalami pertumbuhan yang rendah.
Padahal, pelaku ekonomi sektor tradeable ini
jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan sektor non-tradeable. Hal inilah yang menyebabkan paradoks
ekonomi di Indonesia: ‘ekonominya tumbuh, tapi tidak semua sejahtera’ (Khudori
2013).
[[2]]De-peasantization adalah fenomena dimana petani
atau rumah tangga petani kehilangan kapasitasnya sebagai produsen atau unit
ekonomi. Dalam proses ini, mereka bertransformasi melalui urbanisasi agar bisa
masuk dalam sektor informal dan buruh migran. Menurut Rudi Hartono, aktivis
Partai Rakyat Demokrat (PRD), yang terjadi di pedesaan Indonesia bukan
‘proletarisasi’, melainkan de-peasantization (Ilyas
2012).
[[3]]Di Indonesia, sektor pertanian
masih berkontribusi cukup besar terhadap PDB. Kecuali untuk pulau Bali dan
Jawa, hampir semua pulau lain di Indonesia mengandalkan pertanian yang
ditunjukkan oleh Produk Domestik Regional Bruto. Pada tahun 1998, pertanian
menyumbang 12,66 persen (Jawa & Bali), 16,38 persen (Kalimantan), 34,93
persen (Sulawesi), dan 25,29 persen (pulau-pulau yang lainnya) (Wahono 2005:
165-167). Namun, walaupun berkontribusi cukup besar terhadap PDB, secara
nasional, sumbangan sektor pertanian terus menurun tiap tahun. Jika
dibandingkan dengan tahun 1968, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB sangat
besar yakni sebesar 51 persen. Berbading terbalik dengan pertanian, sumbangan
bagi PDB dari sektor industri terus naik. Tahun 1968, sumbangan sektor industri
hanya 8,5 persen, namun pada tahun 2006 menjadi 47 persen (Habibi 2012).
[[4]] Sejauh ini, serikat buruh dan
petani cenderung terfragmentasi, baik dalam kelompok itu sendiri maupun
dengan serikat buruh dan petani yang lain. Dalam kelompok internal, friksi dan
fragmentasi itu disebabkan oleh faktor usia, gender, dan lama kerja. Sementara
itu, fragmentasi eksternal antarserikat buruh dan tani disebabkan oleh tujuan
organisasi, komunikasi, ambisi dan ego serikat. Juliawan (2013) mengakui
kenyataan fragmentarisasi gerakan serikat buruh dan petani ini. Upaya untuk
menyatukan mereka tidak mudah. Satu-satunya cara menyatukan mereka adalah
dengan mengusung ideologi pemersatu. Salah satu ideologi pemersatu itu, menurut
penulis, adalah reformasi agraria. Sebab, efek dari reformasi agraria akan
membawa keuntungan ganda, yakni kepada petani karena mereka memiliki lahan,
tetapi juga kepada buruh karena mengurangi tenaga kerja di kota, atau buruh
juga bisa terjun ke sektor agraria yang lebih menguntungkan keluarganya secara
ekonomi seperti yang terjadi di Brazil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar