|
Harus tinggal
di rumah saat Lebaran karena semua pekerja rumah tangga cuti, perasaan
sebenarnya tersedot ke kampung halaman ketika melihat orang lain
berbondong-bondong mudik. Melalui peranti teknologi komunikasi mutakhir,
seorang teman secara terus-menerus melaporkan, mulai dari perjalanan sampai
kegiatannya di desa kelahiran. Dia mengirim foto sawah di sekitar rumah, dangau
tempat berteduh di kala kanak-kanak, sungai tempat bermain, dan lain-lain (ia
cukup santun tak mengirim foto teman-teman perempuan semasa remajanya yang
sekarang umumnya sudah berukuran XL dan lupa berdandan).
Ah, desa. Jika
kota adalah gambaran masa depan, desa adalah gambaran masa lalu. Jika kota
berasosiasi dengan perkembangan, kemajuan, dan modernisasi, desa adalah sesuatu
yang statis, tidak maju, dan alami. Jika kota adalah atomisasi individu, desa
adalah kehangatan kekerabatan. Jika kota berikut menjulangnya karier, toh,
sebenarnya sesuatu yang menuju ke matahari tenggelam, desa adalah tempat masa
kanak-kanak di mana harapan bersemai bersama matahari terbit. Dengan segala
ilusi tadi, ketika liburan habis, harus kembali ke kota, orang mendesah:
saatnya kembali ke realitas.
Mengharukan,
tetapi kegelisahan akan kekinian dan keresahan akan masa depan sebenarnya
melekat pada manusia sejak dulu kala, sejak bertumbuhnya peradaban urban itu
sendiri. Novel-novel di Eropa, pada taruhlah abad ke-18 dan ke-19, banyak yang
menceritakan ”pulau-pulau masa depan”—refleksi dari kegelisahan berikut impian
bahwa nanti akan ada kehidupan yang lebih baik. Semacam impian mengenai ”tanah
harapan”.
Nyatanya?
Robinson Crusoe semata-mata terdampar di pulau yang tak memberinya harapan
selain malah ketemu kaum kanibal. Dalam kehidupan nyata penjelajahan bangsa
Eropa ke pulau-pulau tidak dikenal malah melahirkan kolonialisme. Tidak ada
pulau masa depan itu.
Begitu pula
desa-desa kita. Desa-desa itu memberikan impian sejenak, sesingkat kunjungan
ketika Lebaran, bertemu sanak saudara, teman masa kecil, makan tumpang koyor di
pasar hewan, dan lain-lain. Waktu liburan yang pendek tidak sempat membangunkan
orang dari mimpi bahwa desa—sebagaimana kota—bukanlah sesuatu yang statis.
Bahkan, apa yang terjadi di kota dalam beberapa hal berakar pada keresahan yang
terjadi di desa-desa.
Di desa-desa
sekarang berkecamuk kegelisahan sekaligus mimpi dari kehidupan yang digenangi
atau bahkan dibanjiri citra visual seperti disebarkan televisi mengenai
kehidupan yang mengandung ketergesa-gesaan. Proses alam menanti bersemainya
bibit sampai memanen, yang berarti harus bersetia pada kesabaran bumi, sudah
lama menjadi hal asing. Sekarang keluarga-keluarga mengimpikan anaknya jadi
penyanyi, pemain sinetron, selebritas (jenis pekerjaan macam apa ini?), atau
apa saja pokoknya bisa kaya mendadak.
Gotong royong,
kekerabatan, kesederhanaan pandangan hidup termasuk dalam mencerna benar-salah,
baik-buruk, telah lama mengalami perubahan. Dia berubah seiring derasnya
manipulasi kekuasaan yang oleh citra visual sekarang juga disebar dimana-mana,
termasuk di dalamnya gombal para pemimpin, praktik politik uang, sampai ke
radikalisasi ajaran-ajaran tertentu yang menemukan tempat persemaian aman di
desa-desa. Kalau Anda berkeinginan memobilisasi masyarakat desa untuk melakukan
sesuatu sekarang, Anda harus siap menerima tantangan: wani piro?
Belum lagi arus
konsumsi. Di desa ini anak-anak kecil yang kakinya masih sulit menapak sudah
menaiki sepeda motor. Sama seperti seniornya pengendara motor di kota, mereka
tak mengenal aturan. Pasar-pasar desa dengan relasi batin yang memungkinan
orang tawar-menawar barang sambil merayu dan bercanda, sebentar lagi akan
digantikan supermarket. Supermarket-supermarket kecil kini merambah desa-desa.
Saya
pikir-pikir kemudian kelihatannya lebih menyenangkan melihat desa dari
foto-foto yang dikirimkan oleh teman saja. Bagi saya, biarlah desa-desa itu
tetap menjadi pulau hari kemarin—my
island of the day before. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar