|
Pada 14 Agustus 2013 lalu, Gerakan
Pramuka Indonesia tepat berusia 52 tahun. Sebuah gerakan yang tak lagi muda,
sudah matang dan (semestinya) mapan, alias berkembang. Refleksi sederhana
penulis, dulu semasa SD/MI kita akrab dengan gerakan kepanduan ini. Berbagai
macam aksi dan kegiatan begitu ramai dan marak digelar. Persami (perkemahan Sabtu
malam Minggu), pelajaran bagaimana cara-cara hidup di alam sekitar, tali
temali, sandi/morse, dan lain sebagainya.
Namun, rasanya kini kegiatan itu
tak semeriah dulu. Apakah, organisasi kepanduan ini semakin dilupakan? Mari
kita ujicobakan untuk menyapa anak-anak, pelajar dan mahasiswa mengenai, apa
itu pramuka, bagaimana mereka memandang organisasi kepanduan ini? Beragam
ekspresi pasti akan muncul, bahkan bisa jadi ekspresi diam dan bingung terlihat
pada diri mereka. Dan, lebih miris lagi, anak-anak muda saat ini justru
memandang gerakan pramuka dengan sebelah mata. Mereka melihat pramuka sebagai
organisasi "jadul" yang tak lagi cocok untuk perkembangan zaman yang
semakin canggih dengan teknologi. Komputer tablet, iphone, dan ragamnya kini justru
akrab dengan anak-anak.
Sandi morse yang dulu kita pelajari seolah makin
tertelan oleh budaya SMS (short message
service) dan blackberry massanger (BBM)
serta telepon pintar lainnya. Tak tampak lagi kegiatan yang gerakan massif
kepanduan ini. Perayaan hari Pramuka yang diperingati setiap 14 Agustus pun
sekarang hanya sebatas seremonial belaka, miskin makna dan esensi pengembangan.
Pramuka seolah semakin sepi peminat. Zaman semakin menampilkan budaya modern
yang cenderung individualistik dan kapitalistik.
Jika kita menoleh ke belakang,
pramuka di masa Orde Baru mendapatkan perhatian cukup besar dari pemerintah dan
masyarakat. Pada masa itu, Pramuka cukup diminati oleh kelompok muda. Apalagi
jika sudah berkaitan dengan aktivitas dan kegiatan pramuka seperti Jambore,
perkemahan dan semacamnya. Media massa betul-betul mengawal Pramuka, sehingga
terlihat kualitas dan kuantitas Gerakan Pramuka saat itu. Bagaimana masa kini?
Perbedaan amat terasa bila dibandingkan dengan keberadaan Pramuka di masa kini.
Gumilar R Somantri (2010, dalam Setiawan), seorang dosen Universitas Indonesia
mengatakan, Pramuka sekarang berubah, kehilangan pamornya.
Kini Pramuka hanya dimaknai secara
prosedural, sebatas seragam coklat. Orde baru saat itu menampilkan diri sebagai
aktor yang cukup sukses menancapkan ideologi gerakan kepanduan sebagai salah
satu pendukung nasionalisme. A Ferry T Indratno dkk (2007) dalam bukunya
menyebutkan pembelajaran ideologi nasionalisme (saat itu) diimplementasikan
dalam kegiatan kurikuler seperti Pramuka, Wawasan Widyatamandala, dan P4
(Pedomen Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Membangun Akhlak
Jika kita mencermati tujuan
gerakan kepanduan ini sungguh mulia. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010
tentang Gerakan Pramuka menyebutkan, Gerakan Pramuka bertujuan untuk membentuk
setiap Pramuka agar memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak
mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur bangsa, dan memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa dalam menjaga
dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamalkan pancasila, serta
melestarikan lingkungan hidup.
Dari tujuan tersebut, penulis
melihat ada tiga pesan penting yang terkandung di dalamnya. Pertama,
religiusitas; kedua, jiwa sosial; dan ketiga, nasionalisme (patriotik). Tiga
pesan itulah yang dirangkai dalam visi atau tujuan gerakan kepanduan atau
Pramuka untuk membangun akhlak manusia yang baik.
Dan, pendidikan akhlak ini jelas
penting bagi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya; berintegritas, bermoral,
berakhlakul karimah, jujur, dan adil. Mengutip Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya 'al-Ulumuddin menyatakan, khuluk
(akhlak) ialah hasrat atau sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya
lahir perbuatan-perbuatan yang mudah dan gampang tanpa memerlukan pertimbangan
dan pemikiran. Maka jika hasrat itu melahirkan perbuatan-perbuatan yang dipuji
menurut akal dan syara', maka itu dinamakan akhlak yang bagus dan jika
melahirkan akhlak darinya perbuatan-perbuatan yang jelek, maka hasrat yang
keluar dinamakan akhlak yang jelek.
Ketika kita kembalikan pada
kondisi riil Gerakan Pramuka di Indonesia, maka terbentang nyata bagaimana
salah satu unsur pembangun akhlak berupa gerakan kepanduan ini semakin
terpinggirkan, ditinggalkan. Padahal, gerakan kepanduan ini masih sangat
dibutuhkan bangsa ini yang tengah mengalami sakit akibat tergerusnya moralitas,
akhlak, dan budaya korup serta anarkisme.
Penulis meyakini jika nilai-nilai
luhur dan ajaran yang terkandung dalam Gerakan Pramuka benar-benar
dilaksanakan, maka kita akan mendapati tumbuhnya sebuah pohon akhlak yang
diidamkan sebagaimana definisi Al-Ghazali di atas.
Akhirnya, melalui refleksi peringatan
hari Pramuka yang ke-52 dan sekaligus memperingati Kemerdekaan Republik
Indonesia yang ke-68 kali ini, kita berharap jiwa-jiwa nasionalisme,
patriotisme anak-anak bangsa terpanggil untuk memperbaiki visi dan semangat
gerakan kepanduan yang semakin lama terlupakan. Di sinilah pentingnya melakukan
revitalisasi Gerakan Pramuka agar organisasi ini semakin nyata dan tidak
dilupakan. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar