Jumat, 23 Agustus 2013

Polri dan Kepemimpinan Integratif

Polri dan Kepemimpinan Integratif
Muradi ;   Staf Pengajar Sarjana dan Pascasarjana FISIP Unpad, Bandung,
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK), Universitas Padjadjaran
KORAN SINDO, 23 Agustus 2013


Di tengah sorotan publik  terkait dengan aksi penyerangan  kepada anggota  Polri dan sejumlah kasus  yang belum tuntas, Polri tengah  bersiap mengganti pucuk pimpinannya.  

Beberapa waktu lalu  wakapolri telah berganti dari  Nanan Sukarna yang memasuki  masa pensiun, kepada Oegroseno.  Keduanya merupakan  jenderal bintang tiga dari Akpol  tahun yang sama, 1978. Pergantian  wakapolri tersebut juga  mengundang tanya publik,  mengingat Oegroseno akan  pensiun juga dalam enam bulan  ke depan. Padahal idealnya, perwira  yang menjabat setidaknya  lebih muda dari segi angkatan  dan usia. 

Padahal apabila dikaji  lebih dalam masih banyak perwira  bintang tiga yang jauh lebih  muda dan layak, namun tidak  masuk bursa kandidat Kapolri,  sebut saja misalnya Imam  Sudjarwo atau Supeni Parto.  Namun sebagai bagian dari  kewenangan Kapolri, adalah  hak Timur Pradopo menempatkan  rekan angkatannya menjadi  wakapolri, setidaknya ini  dilihat sebagai upaya Timur  Pradopo mengawal agar proses  pergantian kepemimpinan di  Polri dapat berjalan dengan baik  hingga awal 2014. 

Karena  bukan tidak mungkin Oegroseno  akan diperpanjang hingga  pelaksanaan hajat politik 2014  selesai, bila dirasa perlu untuk  melakukan pendampingan  pada perwira yang lebih muda  memimpin Polri, menggantikan  Timur Pradopo yang akan  diganti dalam waktu dekat.  Ada sembilan calon kapolri  yang diajukan oleh Dewan Kepangkatan  dan Jabatan Tinggi  (Wanjakti) dan kemudian menjadi  sebelas calon kapolri yang  diajukan oleh Komisi Kepolisian  Nasional (Kompolnas) menghadapi  tantangan yang tidak  mudah. 

Sejumlahpermasalahan  dan pekerjaan rumah yang ditinggalkan  duet Timur Pradopo-  Nanan Sukarna membutuhkan  penyelesaian yang serius. Di  samping itu, hajat politik 2014  menjadi tantangan tersendiri  bagi Kapolri yang akan datang.  

Kepemimpinan  Terintegratif  

Salah satu kritik mendasar  dari kepemimpinan Timur  Pradopo selama hampir tiga  tahun adalah yang bersangkutan  lebih mendahulukan kepentingan  penguasa dari pada kepentingan  internal dan memfokuskan  proses penataan dan  Reformasi Polri. Salah satu  kefatalan yang dilakukan oleh  Timur Pradopo adalah ketika  yang bersangkutan menyetujui  draf RUU Keamanan Nasional  (Kamnas) untuk dibahas tanpa  mendiskusikannya terlebih  dahulu dengan internal Polri,  yang mana tiga kapolri sebelumnya  kukuh menolak draf  yang diajukan oleh Kementerian  Pertahanan dan Mabes TNI  tersebut.  

Berkaca pada kepemimpinan  Timur Pradopo, maka seharusnya  kepemimpinan Polri  memiliki karakteristik kepemimpinan  yang terintegratif.  Keberadaan Oegroseno sebagai  Wakapolri, jika memang diharapkan  mengawal proses  regenerasi kepemimpinan di  Polri menjadi sangat strategis,  yang mana memastikan bahwa  Polri secara institusi akan diarahkan  pada profesionalisme.  

Atau justru sebaliknya, keberadaan  Oegroseno hanya memastikan  kepentingan penguasa  tetap melekat sebagaimana  Timur Pradopo lakukan  selama memimpin Polri, khususnya  dalam menghadapi hajat  politik 2014 nanti. Dengan  kata lain, kepemimpinan Polri  yang baru sangat tergantung  dari keberanian Kapolri terpilih  untuk memutus kepentingan  eksternal di dalam Polri.  Kepemimpinan integratif  dalam pandangan penulis setidaknya  dipahami dalam empat  perspektif, yakni: Pertama, kepemimpinan  integratif Polri  adalah kepemimpinan yang  mampu menyinergikan kepentingan  internal Polri dengan kepentingan  penguasa. 

Dengan  kata lain, kepentingan internal  Polri tidak boleh dikalahkan  oleh kepentingan penguasa.  Pada konteks ini, kepentingan  internal harus pula menggambarkan  komitmen yang besar  dalam melakukan pembenahan  di internal dalam bingkai  Reformasi Polri.  Kedua, kepemimpinan integratif  adalah kepemimpinan  Polri yang responsif dengan  harapan publik. 

Dan, indikator  yang paling utama terkait dengan  hal tersebut adalah peran  dan fungsi Polri harus selaras  dengan apa yang menjadi kebutuhan  masyarakat akan kondusifnya  keamanan dan  ketertiban.  Ketiga, kepemimpinan integratif  juga dimaksudkan untuk  mampu membawa Polri sebagai  institusi agar dapat bersinergis  dengan institusi lain, terutama  TNI, yang dalam pengamatan  penulis hingga saat ini masih  ada perasaan inferior dan penolakan  berlebihan yang mengancam  efektivitas koordinasi  kedua institusi keamanan tersebut.  

Keempat, kepemimpinan  integratif dimaksudkan sebagai  upaya modernisasi dan profesionalitas  Polri untuk tidak  terlibat dukung mendukung  dalam hajat politik 2014 mendatang.  Godaan terbesar bagi  beberapa oknum perwira yang  tidak sabar masuk dalam lingkaran  kekuasaan Polri adalah  dengan mencoba memainkan  peran dalam dukung mendukung  dalam kontestasi politik. 

Langkah tersebut terbuka  lebar manakala ada mutual  interest antara penguasa maupun  politisi dengan oknum perwira  tinggi yang mengupayakan  masuk ke lingkaran kekuasaan  secara instan.  Dengan mengacu pada kepemimpinan  integratif tersebut,  keberadaan pimpinan Polri menjadi penting untuk digarisbawahi,  bahwa menjadi Kapolri bukan  hanya sekedar memenuhi persyaratan  administrasi belaka.  

Tapi juga memiliki komitmen  kuat yang dalam perspektif kepemimpinan  lebih pada kepiawaian  meramu kepentingan  internal, penguasa, harapan  publik, maupun koordinasi  antar institusi keamanan dalam  irama yang tidak saling menegasikan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar