Kamis, 22 Agustus 2013

Politi(sa)si di Mahkamah Konstitusi

Politi(sa)si di Mahkamah Konstitusi
W Riawan Tjandra ;  Doktor Hukum Administrasi Negara UGM,
Pengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 21 Agustus 2013


MAHKAMAH Konstitusi (MK) merupakan salah satu pilar utama yang menopang sekaligus merupakan buah dari konstitusi hasil amendemen pascareformasi 1998. Eksistensinya untuk menjaga konstitusionalitas produk legislasi berupa undang-undang (UU) menjadi salah satu prasyarat utama tegaknya sebuah negara hukum modern. Hal itu disebabkan konstitusi sebagai dokumen kontrak politik tertinggi dalam suatu negara harus dilaksanakan sesuai dengan roh kesepakatan politik di saat konstitusi itu dibentuk, sekaligus diaktualisasikan sesuai dengan nilai-nilai dan preferensi-preferensi keadilan sosial yang berkembang dalam masyarakat.

Oleh karena itu, MK sebagai the highest and the sole interpreter of the constitution tak lain adalah sebuah institusi yang menjadi tulang punggung tegaknya konstitusi di sebuah negara. Hal ini dimaksudkan agar konstitusi di suatu negara, meminjam terminologi Hermann Heller, dapat difungsikan sebagai cermin kehidupan sosial politik yang nyata dalam masyarakat atau cermin dari faktor-faktor kekuatan riil dalam masyarakat.

Dengan posisinya sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK harus tetap memastikan bahwa konstitusi pascaamendemen tetap menjadi organisasi dan bangunan hukum (forma formarum) republik reformasi ini. Di awal, pengisian jabatan unsur-unsur hakim MK dengan sederet persyaratan personal harus dipenuhi dan pembentuk UU MK telah menentukan bahwa pintu masuk dari para hakim MK tersebut adalah melalui tiga pilar kekuasaan negara, yaitu ditunjuk oleh presiden, DPR dan MA.

Sehingga, kesembilan hakim MK tersebut menjadi penyeimbang dari konstelasi checks and balances dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang tecermin dari jumlah sembilan hakim MK yang merepresentasikan ketiga pilar kekuasaan negara tersebut secara proporsional, dengan jaminan independensi baik secara struktural/institusional, personal maupun fungsional dari para hakim MK tersebut.

Keraguan publik yang kian menguat paling tidak disebabkan oleh dua hal, pertama, isu netralitas hakim MK yang mencuat sesudah penunjukan Patrialis Akbar sebagai hakim MK oleh Presiden. Kedua, problematik hukum seputar perpanjangan masa jabatan ketua MK dikaitkan dengan mekanisme pemilihan Ketua MK yang dikonstruksi oleh UU MK (UU No 24/2003 jo UU No 8/2011). Kedua isu publik tersebut sebenarnya harus ditafsirkan secara semiotis sebagai keinginan publik agar MK tetap menjaga independensi sebagai satu-satunya lembaga penafsir konstitusi.

Abaikan transparansi

Pertama, isu netralitas hakim MK. Persoalan yang timbul dalam penetapan Patrialis sebagai hakim MK yang dilakukan oleh Presiden sebagai pimpinan tertinggi eksekutif (the chief of executive) lebih terkait pada tata cara/ mekanismenya, bukan semata-mata terkait pada persoalan personal yang ditunjuk. Meskipun UU MK memberikan ruang kepada Presiden untuk menunjuk seseorang menjadi hakim MK, UU MK menghen daki agar mekanisme penunjukan itu dilakukan secara partisipatif dan transparan. Selama ini, kedua indikator itu terkesan tak digunakan selama proses penetapan Patrialis yang sebelumnya sempat menjadi politikus PAN dan Menteri Hukum dan HAM.

Koalisi LSM menggugat bahwa kebijakan yang dibuat Patrialis saat menjabat Menteri Hukum dan HAM sering dianggap kontroversial dan tak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Pada masa jabatannya pula, grasi untuk Syaukani, mantan Bupati Kutai Kartanegara yang terlibat korupsi, diberikan. Koalisi menilai tidak partisipatif dan tidak transparannya penunjukan ini dinilai merupakan `kompensasi politik' Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah mencopot Patrialis dari kursi menteri.

Gugatan tersebut sebenarnya menjadi sinyal kemungkinan adanya delegitimasi personal terhadap posisi Patrialis sebagai hakim MK. Bukan tak mungkin juga akan berdampak secara institusional berupa kian rendahnya kepercayaan publik, dan delegitimasi institusional terhadap eksistensi MK yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakat.

Pada saatnya, politisasi yang aromanya sangat kuat tercium selama proses penetapan Patrialis sebagai hakim MK, di akhir masa jabatan SBY sebagai Presiden RI, berpotensi menjadi `bom waktu' bagi MK sebagai institusi yang selama ini dipercaya oleh publik. Joel G Verner pernah mengemukakan bahwa konsep independensi peradilan mensyaratkan adanya imunitas dari fungsionaris peradilan tersebut dari pengaruh substansial (substantial inteference) para aktor politik maupun pemerintahan. Proses kompensasi politik dalam mekanisme penetapan seorang calon hakim oleh eksekutif seperti yang terlihat di atas akan menjadi kendala serius bagi MK untuk mempertahankan independensinya.

Domain MK

Kedua, problematik hukum seputar perpanjangan masa jabatan Ketua MK dikaitkan dengan mekanisme pemilihan Ketua MK yang dikonstruksi oleh UU MK (UU No 24/2003 jo UU No 8/2011). Dalam Pasal 4 ayat (5) UU MK yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MK RI No 01/PMK/2003 yang kini diperbarui  melalui Peraturan MK RI No 03/PMK/2012 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK, telah diatur sangat jelas bahwa pemilihan ketua dan wakil ketua merupakan domain internal MK untuk menjaga independensi dan netralitas struktural, personal dan fungsional MK.

Namun, jika mencermati proses perpanjangan masa jabatan ketua MK yang baru saja dilaksanakan, ternyata menyisakan permasalahan hukum. Mekanisme perpanjangan jabatan ketua MK yang sudah habis masa jabatannya pada 16 Agustus 2013 dilakukan di Komisi III DPR RI dan ditetapkan perpanjangannya oleh Presiden sebagai kepala negara (the head of state). Pemilihan itu seharusnya menjadi domain MK, bukan DPR maupun presiden. Perpanjangan jabatan sebagai hakim MK memang ditetapkan oleh presiden sebagai kepala negara, tetapi pemilihan jabatan ketua dan wakil ketua MK seharusnya melewati mekanisme internal MK. Perpanjangan seharusnya hanya dilakukan terhadap jabatan hakim MK, bukan jabatan struktural di lingkungan MK oleh institusi di luar MK.


Kedua isu hukum di atas menjadi catatan yang sangat penting untuk diperhatikan karena bisa menyebabkan terjadinya delegitimasi publik terhadap institusi MK. Peran sebagai the sole interpreter of the constitution dengan putusan tanpa upaya paksa yang menjadi ciri dari MK menghendaki kepercayaan dan dukungan rakyat terhadap kredibilitas (para hakim) MK. Hal ini menjadi tantangan serius bagi MK untuk tetap menjaga kewibawaan institusi dan sekaligus kepercayaan publik terhadap eksistensinya sebagai salah satu pilar reformasi. Jangan sampai MK disubordinasi oleh kekuatan politik ekstra yudisial yang di masa Orde Lama dan Orde Baru telah meruntuhkan wibawa institusi peradilan! ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar