MEDIA
INDONESIA, 02 Agustus 2013
|
BERITA awal
minggu ini tentang jalan lintas kereta api tanpa palang di Medan Utara cukup
mengganggu. Sekalipun di sisi jalan memang dipasang rambu lalu lintas, yang
mengingatkan pengguna jalan tentang tempat melintas kereta api, tanpa palang,
pengguna jalan tentu masih dituntut selalu waspada. Musibah toh bisa terjadi
karena manusia gampang lengah. Palang mencegah penerobosan ketika makhluk besi
itu sedang melaju.
Masalah itu mengingatkan tentang
betapa sering kita mengabaikan hal-hal penting untuk pengamanan kita. Jagat
informasi akhir-akhir ini tidak pernah sepi dari berita pelanggaran hukum
tentang apa pun, baik perdata maupun pidana, oleh pemerintahan ataupun swasta,
yang dilakukan orang banyak ataupun individu, yang bersifat politik atau bahkan
bersifat filantropis atau agama. Kita seakan lupa bahwa kita tinggal di negara
hukum.
Jalan kereta api tanpa palang
mengibaratkan situasi kita sekarang. Rambu yang terpasang ibarat hukum yang sempurna
tiada cela. Namun, untuk menjamin keselamatan karena sifat lengah manusia,
palang tetap dibutuhkan. Palang ibarat para penegak hukum dan mereka yang
bekerja di seputarnya. Bedah Editorial Media Indonesia awal minggu ini
menyesalkan terjadinya pelanggaran oleh oknum-oknum penegak hukum dan
sekelilingnya yang bermental bayaran. Palang pelindung urung ditegakkan. Bila
tidak ada koreksi, negara dan rakyat yang lengah ini suatu saat bisa kena
musibah besar. Bayangkan apa yang terjadi bila jajaran pemimpin yang akan kita
pilih setahun lagi masih juga yang bermental bayaran.
Jujur dan pintar
Idealnya, kita tentu ingin
menjaring pemimpin-pemimpin yang jujur dan pintar. Jangan disuruh memilih
antara yang jujur tetapi bodoh, dengan yang pintar tetapi tidak jujur. Anies
Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, dalam suatu diskusi tentang
kepemimpinan masa depan menyatakan pilihannya, yakni yang pintar sekalipun
tidak jujur. Pasalnya, ketidakjujuran masih bisa dicegah berbagai peraturan.
Alasan lain, mendidik orang bodoh memerlukan waktu lama.
Pertanyaannya, apakah di antara
sekitar 180 juta orang yang berhak memilih dan dipilih tidak bisa terjaring
sekelompok orang pintar dan jujur? Lagi pula, bila kelompok yang pintar dan
tidak jujur menjalankan negara, bukankah kita akan diakali karena hukum pun
bisa mereka akali? Ini sering terjadi dan banyak pula dikritisi.
Menurut sejarah peradaban manusia,
aturan-aturan yang mengikat telah dirumuskan untuk kehidupan bermasyarakat.
Itulah yang kita sebut hukum yang bahkan sudah kita kenal sebelum masyarakat
menjalani modernisasi.
Hukum adat, contohnya, tidak diturunkan dalam rumusan hukum modern yang kita
kenal sekarang, tetapi awalnya diturunkan lewat adat kebiasaan dan tradisi
lisan.
Sejauh yang terjadi di zaman
modern ini, aturan atau hukum yang dipatuhi masyarakat mendapat legitimasi
karena sesuai dengan sentimen moral dan keyakinan masyarakat. Usaha memaksakan
aturan/hukum yang tidak sesuai dengan keyakinan mayoritas masyarakat hanya akan
menurunkan rasa hormat kepada aturan/hukum pada umumnya, termasuk para penegak
hukum.
Kenyataan inilah yang seharusnya
menyadarkan kita agar jangan menganggap hukum sebagai sistem abstrak hasil
rumusan intelektual semata, tetapi dia harus mencerminkan perhatian dan
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan menstabilkan rasa keadilan
masyarakat. Namun, hukum tidak statis. Dia terus bergulir menyesuaikan diri dengan
kebutuhan dan persepsi masyarakatnya, juga dengan pengetahuan dan pengalaman
baru ataupun tantangan-tantangan baru. Ini menyebabkan kita sering
bertanya-tanya, mengapa gagasan-gagasan yang dulu kita anggap sempurna ternyata
sekarang memerlukan pembaruan dan/atau perubahan?
Semua yang berjiwa pemimpin, dalam
hati kecil, menyadari gejala ini. Ini pula yang kita harapkan bisa dirasakan
mereka yang kelak terpilih sebagai anggota legislatif de wan pembuat
undang-undang yang mengatur kehidupan bermasyarakat.
Jangan
gagal memasang palang
Penegakan
rambu-rambu bisa sia-sia bila palang tidak terpasang atau terjaga. Itulah analogi
usaha penegakan hukum di negeri kita. Banyak yang merongrong. Yang menyedihkan
justru para penegak hukum sendiri yang merongrong. Beberapa gelintir petingginya
terbukti telah berperilaku dan bersikap mengecewakan, tetapi mereka hanya
oknum. Suatu saat mereka akan terlupakan.
Sebaliknya
bila para penegak hukum menampilkan diri santun dan siap membantu, lembaga pun
mendapat catatan positif. Sebagai misal, pemunculan polwan-polwan cantik di
televisi yang member pengarahan soal lalu lintas di kota-kota besar atau
sejumlah pejabat Humas Polri berwajah sejuk dan bijak memberikan kesan Polri pendamping ideal kita. Selain itu, keterampilan
Densus 88 menyingkirkan gerombolan pengacau menegaskan gambaran Polri sebagai
penegak hukum yang dapat diandalkan.
Sayangnya, jumlah anggotanya belum memadai
untuk kebutuhan. Yang kita butuhkan sekitar 600 ribu orang, tetapi yang ada
baru sekitar dua pertiganya.
Polri pastinya memiliki
tokoh-tokoh ideal yang menjadi tumpuan masyarakat. Salah satunya Hoegeng Imam
Santoso (1921-2004), Kepala Kepolisian Negara RI (Mei 1968-Oktober 1971). Dia
yang merombak struktur organisasi Mabes Polri hingga lebih dinamis dan komunikatif
dan mengubah sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) menjadi Kepala
Kepolisian RI (Kapolri). Atas pengabdiannya, Pak Hoegeng telah menerima
sejumlah tanda penghargaan berupa 8 Bintang dan 9 Satya Lencana. Tokoh
sederhana yang taat hukum ini memiliki hobi bermain musik Hawai, dengan
kelompok pemusik terkenal, The Hawaiian
Seniors. Penegak palang pengaman tidak harus garang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar