Rabu, 21 Agustus 2013

Pembangunan Berbasis Kearifan Budaya Lingkungan

Pembangunan Berbasis Kearifan Budaya Lingkungan
Stanislaus Sandarupa  ;   Dosen Antropolinguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
KOMPAS, 21 Agustus 2013

Kondisi kehidupan kita yang didikte alam sungguh memprihatinkan. Pada musim hujan dilanda banjir, musim kemarau kekeringan dan kebakaran.
Di tengah terpaan banjir, misalnya, kita ramai-ramai mendiskusikan penyebabnya, mulai dari hujan, proses sedimentasi, bobolnya kanal dan peralihan fungsi lahan di hulu-hulu sungai, hingga terjadi penggundulan hutan. Namun, sesungguhnya penyebabnya lebih dari itu.
Faktor budaya
Bencana dapat disebabkan oleh alam, tetapi ada juga akibat kekeliruan dalam pengelolaan lingkungan. Hal ini tentu berkaitan dengan budaya. Bukankah kita harus ”merusak” lingkungan untuk berbudaya, seperti menebang pohon untuk membangun vila dan mengobrak-abrik tanah untuk bertani? Itu sama sekali tidak keliru. Yang keliru adalah ketika manusia yang bebas lingkungan mau memisahkan diri dan menguasai alam.
Pandangan budayawan Radhar Panca Dahana dalam tulisannya di harian ini, beberapa waktu lalu, perlu dicermati dan ditindaklanjuti. Katanya, Indonesia tidak punya bukti cukup dan tidak patuh pada pandangan dunia tentang proposisi dasar kebudayaan, yaitu kebudayaan sebagai katalisator pembangunan yang berkelanjutan (Kompas, 2/1/13).
Pembangunan kita memang lebih berbasis pada konsep budaya modernitas berkekuatan rasio. Ia terperangkap ke dalam satu cara pandang dunia tertentu, yang disebut Ignas Kleden sebagai antroposentrisme, di mana manusia menjadi pusat alam raya, pengelola lingkungan, bahkan pengeksploitasi alam (Kleden, 1988 [1987]). Pandangan ini berkembang pesat lewat ilmu dan teknologi sejak abad modern yang ditandai filsafat rasionalisme Descartes dan terdapat dalam sejumlah aliran filsafat.
Inti ajarannya ialah kehidupan berlangsung dengan mengandalkan kekuatan manusia. Menarik, misalnya, bagaimana Kompas pada edisi 12 Desember 2012 menampilkan foto besar di halaman depan tentang situasi bajak sawah pertanian Indonesia yang dilakukan manusia. Di sana terpampang lima orang sedang menarik batang bajak dan di belakangnya satu orang menekan dan mendorongnya. Di sini ada yang hilang, yakni hewan (kerbau) penarik bajak dalam mengelola sawah. Pertanian Indonesia telah memasuki tahap mengandalkan kekuatan manusia.
Dari contoh di atas, juga contoh lain yang bisa dideretkan satu per satu, tampak dengan jelas adanya pergeseran cara pandang kita tentang lingkungan. Cara pandang ini memberikan supremasi manusia atas lingkungan.
Kembali ke budaya
Namun, paradigma ini ternyata gagal. Karena itu, pembangunan kita harus dilengkapi dengan paradigma pandang dunia yang lebih holistik yang telah dikembangkan oleh nenek moyang sejak ratusan, bahkan ribuan tahun silam. Intinya ialah kehidupan hanya mungkin oleh kekuatan harmonis makhluk semesta di bawah perlindungan Tuhan.
Cara pandang ini ada dalam budaya-budaya Nusantara: mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai Indonesia timur. Sebagai contoh diajukan budaya Bali dan Toraja.
Di Bali, sangat terkenal sistem subak dan kuil-kuil air yang menjadi warisan dunia. Muncul dalam inskripsi kerajaan pada abad ke-11, subak merupakan institusi sosial dan religius, suatu organisasi demokratis petani yang bertanggung jawab bersama atas penggunaan air irigasi yang adil dan efisien, yang dapat mengairi 82 hektar sawah-sawah teras.
Lebih dari itu, ia berkaitan dengan dimensi religi yang berasal dari suatu kepercayaan bahwa air bukan bencana, melainkan suatu hadiah dari Dewi Danau, Dewi Danu. Subak dengan sejumlah aturannya mengelola hadiah ini untuk kesuburan tanah. Adanya pengaturan aliran irigasi membuat subak menciptakan masa-masa yang tidak ditanami pada waktu-waktu tertentu. Dengan cara ini, ia dapat menghindari hama-hama padi, seperti tikus dan insek.
Filosofi yang mendasari subak adalah tri hita karana (tiga penyebab kebaikan dan kemakmuran). Kebaikan dan kemakmuran dapat dicapai dengan mengembangkan kehidupan harmonis antara manusia dan Tuhan (parhyangan), antara manusia dan manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan).
Mirip dengan itu adalah budaya Toraja, yang ajarannya berpusat pada filosofi tallu lolona (tiga pucuk kehidupan). Pengakuan atas eksistensi tiga pucuk kehidupan yang meliputi manusia, hewan, dan tanaman serta tanah, air, dan bebatuan, yang ditemukan dalam sastra-sastra lisannya, menghasilkan ajaran rumit tentang pengelolaan relasi keharmonisan di alam raya yang berpusat pada pranata tongkonan. Sama dengan Bali, ia mengatur beragam relasi harmonis, seperti relasi antara manusia dan Yang Kuasa, relasi antara manusia dan manusia, relasi antara manusia dan lingkungan, serta antara hewan dan lain-lain.
Mitos penciptaannya menegaskan bahwa nenek manusia, pohon, dan binatang yang diciptakan Tuhan merupakan makhluk bersaudara. Nilai kesatuan persaudaraan menjadi nilai tertinggi yang meresap ke dalam sejumlah aspek kehidupan di antara sesama makhluk.
Kehidupan mutual symbiosis mencirikannya. Dalam mengelola tanah, bajak ditarik kerbau, suatu eksternalisasi nilai kesatuan harmonis. Burung-burung kepala udang (sekke’) berdiri berjejer sepanjang pematang untuk memantau dan menyerang burung bangau yang rakus terhadap ikan-ikan di sawah. Ikan-ikan berbagai jenis dan belut menggoyang dan mengganggu tunas rerumputan di sawah yang hendak menghalangi pertumbuhan padi. Binatang kecil keridik (simuruk) menggemburkan tanah. Namun, semua ini ditelan pestisida.
Ketika dedaunan pohon kering jatuh di pekarangan rumah, ia tak lebih dari daun kering kerontang yang harus dibakar dan dicampakkan ke tempat sampah. Ketika jatuh di hutan dan hulu-hulu sungai, ia menjadi persemayaman rembesan air hujan dan menjadi humus yang menghidupkan manusia.

Terdapat hubungan kewajiban di antara keduanya. Alam wajib menghidupi manusia dan manusia wajib melestarikan alam. Pola ini menekankan prosedur dialektis. Kata Kleden, kemiskinan alam akan berhubungan dengan keserakahan manusia, kekayaan dan kelestarian alam berhubungan dengan tanggung jawab dan kesadaran ekologis manusia. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar