|
Kondisi kehidupan kita yang didikte
alam sungguh memprihatinkan. Pada musim hujan dilanda banjir, musim kemarau
kekeringan dan kebakaran.
Di tengah
terpaan banjir, misalnya, kita ramai-ramai mendiskusikan penyebabnya, mulai
dari hujan, proses sedimentasi, bobolnya kanal dan peralihan fungsi lahan di
hulu-hulu sungai, hingga terjadi penggundulan hutan. Namun, sesungguhnya
penyebabnya lebih dari itu.
Faktor budaya
Bencana dapat
disebabkan oleh alam, tetapi ada juga akibat kekeliruan dalam pengelolaan
lingkungan. Hal ini tentu berkaitan dengan budaya. Bukankah kita harus
”merusak” lingkungan untuk berbudaya, seperti menebang pohon untuk membangun
vila dan mengobrak-abrik tanah untuk bertani? Itu sama sekali tidak keliru.
Yang keliru adalah ketika manusia yang bebas lingkungan mau memisahkan diri dan
menguasai alam.
Pandangan
budayawan Radhar Panca Dahana dalam tulisannya di harian ini, beberapa waktu
lalu, perlu dicermati dan ditindaklanjuti. Katanya, Indonesia tidak punya bukti
cukup dan tidak patuh pada pandangan dunia tentang proposisi dasar kebudayaan,
yaitu kebudayaan sebagai katalisator pembangunan yang berkelanjutan (Kompas, 2/1/13).
Pembangunan
kita memang lebih berbasis pada konsep budaya modernitas berkekuatan rasio. Ia
terperangkap ke dalam satu cara pandang dunia tertentu, yang disebut Ignas
Kleden sebagai antroposentrisme, di mana manusia menjadi pusat alam raya,
pengelola lingkungan, bahkan pengeksploitasi alam (Kleden, 1988 [1987]). Pandangan ini berkembang pesat lewat ilmu dan
teknologi sejak abad modern yang ditandai filsafat rasionalisme Descartes dan
terdapat dalam sejumlah aliran filsafat.
Inti ajarannya
ialah kehidupan berlangsung dengan mengandalkan kekuatan manusia. Menarik,
misalnya, bagaimana Kompas pada edisi 12 Desember 2012 menampilkan
foto besar di halaman depan tentang situasi bajak sawah pertanian Indonesia
yang dilakukan manusia. Di sana terpampang lima orang sedang menarik batang
bajak dan di belakangnya satu orang menekan dan mendorongnya. Di sini ada yang
hilang, yakni hewan (kerbau) penarik bajak dalam mengelola sawah. Pertanian
Indonesia telah memasuki tahap mengandalkan kekuatan manusia.
Dari contoh di
atas, juga contoh lain yang bisa dideretkan satu per satu, tampak dengan jelas
adanya pergeseran cara pandang kita tentang lingkungan. Cara pandang ini
memberikan supremasi manusia atas lingkungan.
Kembali ke budaya
Namun,
paradigma ini ternyata gagal. Karena itu, pembangunan kita harus dilengkapi
dengan paradigma pandang dunia yang lebih holistik yang telah dikembangkan oleh
nenek moyang sejak ratusan, bahkan ribuan tahun silam. Intinya ialah kehidupan
hanya mungkin oleh kekuatan harmonis makhluk semesta di bawah perlindungan
Tuhan.
Cara pandang
ini ada dalam budaya-budaya Nusantara: mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, sampai Indonesia timur. Sebagai contoh diajukan budaya Bali dan
Toraja.
Di Bali, sangat
terkenal sistem subak dan kuil-kuil air yang menjadi warisan dunia. Muncul
dalam inskripsi kerajaan pada abad ke-11, subak merupakan institusi sosial dan
religius, suatu organisasi demokratis petani yang bertanggung jawab bersama
atas penggunaan air irigasi yang adil dan efisien, yang dapat mengairi 82
hektar sawah-sawah teras.
Lebih dari itu,
ia berkaitan dengan dimensi religi yang berasal dari suatu kepercayaan bahwa
air bukan bencana, melainkan suatu hadiah dari Dewi Danau, Dewi Danu. Subak
dengan sejumlah aturannya mengelola hadiah ini untuk kesuburan tanah. Adanya
pengaturan aliran irigasi membuat subak menciptakan masa-masa yang tidak
ditanami pada waktu-waktu tertentu. Dengan cara ini, ia dapat menghindari
hama-hama padi, seperti tikus dan insek.
Filosofi yang
mendasari subak adalah tri hita karana (tiga penyebab kebaikan dan
kemakmuran). Kebaikan dan kemakmuran dapat dicapai dengan mengembangkan
kehidupan harmonis antara manusia dan Tuhan (parhyangan), antara manusia dan manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan).
Mirip dengan
itu adalah budaya Toraja, yang ajarannya berpusat pada filosofi tallu
lolona (tiga pucuk kehidupan). Pengakuan atas eksistensi tiga pucuk
kehidupan yang meliputi manusia, hewan, dan tanaman serta tanah, air, dan
bebatuan, yang ditemukan dalam sastra-sastra lisannya, menghasilkan ajaran
rumit tentang pengelolaan relasi keharmonisan di alam raya yang berpusat pada
pranata tongkonan. Sama dengan Bali, ia mengatur beragam relasi harmonis,
seperti relasi antara manusia dan Yang Kuasa, relasi antara manusia dan
manusia, relasi antara manusia dan lingkungan, serta antara hewan dan
lain-lain.
Mitos
penciptaannya menegaskan bahwa nenek manusia, pohon, dan binatang yang
diciptakan Tuhan merupakan makhluk bersaudara. Nilai kesatuan persaudaraan
menjadi nilai tertinggi yang meresap ke dalam sejumlah aspek kehidupan di
antara sesama makhluk.
Kehidupan mutual
symbiosis mencirikannya. Dalam mengelola tanah, bajak ditarik kerbau,
suatu eksternalisasi nilai kesatuan harmonis. Burung-burung kepala udang (sekke’) berdiri berjejer sepanjang
pematang untuk memantau dan menyerang burung bangau yang rakus terhadap
ikan-ikan di sawah. Ikan-ikan berbagai jenis dan belut menggoyang dan
mengganggu tunas rerumputan di sawah yang hendak menghalangi pertumbuhan padi.
Binatang kecil keridik (simuruk)
menggemburkan tanah. Namun, semua ini ditelan pestisida.
Ketika dedaunan
pohon kering jatuh di pekarangan rumah, ia tak lebih dari daun kering kerontang
yang harus dibakar dan dicampakkan ke tempat sampah. Ketika jatuh di hutan dan
hulu-hulu sungai, ia menjadi persemayaman rembesan air hujan dan menjadi humus
yang menghidupkan manusia.
Terdapat
hubungan kewajiban di antara keduanya. Alam wajib menghidupi manusia dan
manusia wajib melestarikan alam. Pola ini menekankan prosedur dialektis. Kata
Kleden, kemiskinan alam akan berhubungan dengan keserakahan manusia, kekayaan
dan kelestarian alam berhubungan dengan tanggung jawab dan kesadaran ekologis
manusia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar