JAWA POS, 02
Agustus 2013
|
INI mungkin sudah lama ada. Tapi, baru kali ini saya menemukan
musala berkelas. Tempatnya luas, bersih, wangi, dan sejuk. Para pengunjung pun
bisa salat serta berzikir dengan nyaman dan khusyuk. Tempatnya justru di pusat
kemewahan "duniawi", Grand City Mall Surabaya.
Kita kerap, bahkan biasa, menemukan musala yang nyelempit di mal. Kadang di basement atau lantai paling atas atau pojok tempat parkir. Mau wudu dan salat pun berjejalan serta gantian. Dan, kita melihat, berapa banyak mal yang fasilitas rest room-nya justru lebih layak daripada fasilitas tempat ibadah. Konsumen muslim kian menguat dibuat nelangsa.
Maka, saya tertegun kala berada di depan musala lantai 2 Grand City Mall itu. Depannya terdapat "lobi" yang sebenarnya digunakan untuk tempat penitipan tas, sandal, dan sepatu. Penjaganya berseragam batik seperti customer service atau doorman hotel. Sementara dindingnya bertulisan "Executive Mushola" dengan huruf besar berwarna perak dari akrilik.
Sementara di atas "lobi" itu ada tulisan dalam vandel: "Tempat penitipan tas, jaket, sepatu, dll. Mohon infaq dimasukkan langsung ke kotak amal." Sebelum masuk ke musala, pengunjung diminta menitipkan sepatunya kepada petugas yang berjaga dan diberi nomor rak. Tersedia bangku agar pengunjung leluasa melepas sepatunya.
Pintu masuknya dibagi dua, khusus laki-laki dan perempuan. Tandanya gambar lelaki duduk tahiyat dengan memakai peci dan satunya perempuan memakai rukuh dalam posisi yang sama. Begitu masuk, hawa dingin dan bau wangi menyapa.
Tempat wudunya bersih. Keran-kerannya cling. Dinding dan lantainya berkeramik mengkilat. Airnya keluar jos dan bersih. Lantainya dilapisi keset-keset sintetis. Juga, usai wudu, kaki tidak berlepotan basah di lantai.
Musala itu berukuran sekitar 8 meter x 10 meter. Menampung 150-200 jamaah. Ruangannya yang sejuk dan wangi membuat pengunjung betah berlama-lama. Karpetnya yang empuk dan bersih menutupi setengah ruangan tersebut.
Di sudut ruangan terdapat rak hitam berisi Alquran dan mukena. Terdapat jam dinding sebagai penunjuk waktu salat. Benar-benar kelas eksekutif, bukan kelas ekonomi, apalagi kelas nyelempit. Ada empat musala seperti itu di mal tersebut. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Korwil Jawa Timur memberikan penghargaan pada Agustus 2011.
Saya juga betah di musala itu. Pikiran pun melayang pada masjid-masjid (dan juga musala) kita yang bertebaran di mana-mana. Masjid akbar maupun masjid shagir. Masjid agung maupun masjid kecil. Para takmir masjid sekarang ini punya semangat bukan sekadar merenovasi, tetapi membangun kembali masjidnya. Dibuat segede-gedenya dan sebagus-bagusnya. Kubahnya sebesar-besarnya. Menaranya setinggi-tingginya. Lantai dan dinding dibuat kinclong dengan keramik kelas A atau marmer kualitas bagus.
Namun, kadang sayang dan sayang sekali, mereka kerap agak abai memperhatikan kebersihannya. Terutama toilet dan tempat wudu. Baunya pesing, lumutan, dan karatan. Keran wudu dan toiletnya sering mampet, kotor, dan sepertinya jarang dibersihkan. Bukankah terkena sisa kencing sedikit saja, ibadah bisa rusak? Kondisi itu tak hanya ditemui di masjid kecil, tapi juga masjid agung, simbol religiusitas kabupaten.
Padahal, masjidnya megah. Itu yang kadang bikin kita tidak khusyuk beribadah lantaran lantainya kotor dan berdebu. Sudah begitu, karpet/sajadah panjangnya tampak jarang dibersihkan dan dicuci sehingga terlihat kasar dan berbau. Padahal, selalu didengungkan, bahkan dipasang di plang: Kebersihan sebagian dari iman.
Sebenarnya bukan hanya mal yang mulai merasakan perlunya melayani kaum muslim dengan lebih baik. Kian banyak bandara dan kantor yang membuat musala cantik, setidaknya bersih. Bahkan di SPBU. Kini kita akan betah lama-lama di pom bensin. Baik untuk keperluan mengisi BBM maupun istirahat, bahkan belanja segala. Di antara artis-artis pun, sekarang ada yang suka mandi di SPBU ketika tak sempat mandi di hotel yang disediakan panitia. Kita juga tidak berkeberatan membayar Rp 1.000 di SPBU itu, bahkan lebih.
Soal infak itu, sebenarnya jamaah kita amat pemurah. Melihat kondisi musala eksekutif yang berkelas tersebut, para jamaah tak segan-segan merogoh kantong untuk berinfak yang jumlahnya bisa menjaga kualitas dan kelas musala itu. Menurut penjaga musala Grand City Mall, saat kotak amal dibuka, sedikit sekali uang recehan Rp 1.000 yang masuk. Terbanyak Rp 5.000, Rp 10.000, dan kerap Rp 50 ribu-Rp 100 ribu. Cukup untuk memenuhi operasional dan menggaji penjaganya.
Waktunya masjid-masjid kita ini menjadi masjid eksekutif. Agar jamaah betah di masjid, menjadi jujukan ibadah sembari mengistirahatkan rohani. Sudah waktunya lubang-lubang kotak amal diperlebar agar yang masuk kelasnya amplop, bukan uang receh atau seribuan. Jangan sampai terjadi jamaah enggan mampir, apalagi berinfak, gara-gara masjid besar dan megah, tapi naudzubillah baunya. ●
Kita kerap, bahkan biasa, menemukan musala yang nyelempit di mal. Kadang di basement atau lantai paling atas atau pojok tempat parkir. Mau wudu dan salat pun berjejalan serta gantian. Dan, kita melihat, berapa banyak mal yang fasilitas rest room-nya justru lebih layak daripada fasilitas tempat ibadah. Konsumen muslim kian menguat dibuat nelangsa.
Maka, saya tertegun kala berada di depan musala lantai 2 Grand City Mall itu. Depannya terdapat "lobi" yang sebenarnya digunakan untuk tempat penitipan tas, sandal, dan sepatu. Penjaganya berseragam batik seperti customer service atau doorman hotel. Sementara dindingnya bertulisan "Executive Mushola" dengan huruf besar berwarna perak dari akrilik.
Sementara di atas "lobi" itu ada tulisan dalam vandel: "Tempat penitipan tas, jaket, sepatu, dll. Mohon infaq dimasukkan langsung ke kotak amal." Sebelum masuk ke musala, pengunjung diminta menitipkan sepatunya kepada petugas yang berjaga dan diberi nomor rak. Tersedia bangku agar pengunjung leluasa melepas sepatunya.
Pintu masuknya dibagi dua, khusus laki-laki dan perempuan. Tandanya gambar lelaki duduk tahiyat dengan memakai peci dan satunya perempuan memakai rukuh dalam posisi yang sama. Begitu masuk, hawa dingin dan bau wangi menyapa.
Tempat wudunya bersih. Keran-kerannya cling. Dinding dan lantainya berkeramik mengkilat. Airnya keluar jos dan bersih. Lantainya dilapisi keset-keset sintetis. Juga, usai wudu, kaki tidak berlepotan basah di lantai.
Musala itu berukuran sekitar 8 meter x 10 meter. Menampung 150-200 jamaah. Ruangannya yang sejuk dan wangi membuat pengunjung betah berlama-lama. Karpetnya yang empuk dan bersih menutupi setengah ruangan tersebut.
Di sudut ruangan terdapat rak hitam berisi Alquran dan mukena. Terdapat jam dinding sebagai penunjuk waktu salat. Benar-benar kelas eksekutif, bukan kelas ekonomi, apalagi kelas nyelempit. Ada empat musala seperti itu di mal tersebut. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Korwil Jawa Timur memberikan penghargaan pada Agustus 2011.
Saya juga betah di musala itu. Pikiran pun melayang pada masjid-masjid (dan juga musala) kita yang bertebaran di mana-mana. Masjid akbar maupun masjid shagir. Masjid agung maupun masjid kecil. Para takmir masjid sekarang ini punya semangat bukan sekadar merenovasi, tetapi membangun kembali masjidnya. Dibuat segede-gedenya dan sebagus-bagusnya. Kubahnya sebesar-besarnya. Menaranya setinggi-tingginya. Lantai dan dinding dibuat kinclong dengan keramik kelas A atau marmer kualitas bagus.
Namun, kadang sayang dan sayang sekali, mereka kerap agak abai memperhatikan kebersihannya. Terutama toilet dan tempat wudu. Baunya pesing, lumutan, dan karatan. Keran wudu dan toiletnya sering mampet, kotor, dan sepertinya jarang dibersihkan. Bukankah terkena sisa kencing sedikit saja, ibadah bisa rusak? Kondisi itu tak hanya ditemui di masjid kecil, tapi juga masjid agung, simbol religiusitas kabupaten.
Padahal, masjidnya megah. Itu yang kadang bikin kita tidak khusyuk beribadah lantaran lantainya kotor dan berdebu. Sudah begitu, karpet/sajadah panjangnya tampak jarang dibersihkan dan dicuci sehingga terlihat kasar dan berbau. Padahal, selalu didengungkan, bahkan dipasang di plang: Kebersihan sebagian dari iman.
Sebenarnya bukan hanya mal yang mulai merasakan perlunya melayani kaum muslim dengan lebih baik. Kian banyak bandara dan kantor yang membuat musala cantik, setidaknya bersih. Bahkan di SPBU. Kini kita akan betah lama-lama di pom bensin. Baik untuk keperluan mengisi BBM maupun istirahat, bahkan belanja segala. Di antara artis-artis pun, sekarang ada yang suka mandi di SPBU ketika tak sempat mandi di hotel yang disediakan panitia. Kita juga tidak berkeberatan membayar Rp 1.000 di SPBU itu, bahkan lebih.
Soal infak itu, sebenarnya jamaah kita amat pemurah. Melihat kondisi musala eksekutif yang berkelas tersebut, para jamaah tak segan-segan merogoh kantong untuk berinfak yang jumlahnya bisa menjaga kualitas dan kelas musala itu. Menurut penjaga musala Grand City Mall, saat kotak amal dibuka, sedikit sekali uang recehan Rp 1.000 yang masuk. Terbanyak Rp 5.000, Rp 10.000, dan kerap Rp 50 ribu-Rp 100 ribu. Cukup untuk memenuhi operasional dan menggaji penjaganya.
Waktunya masjid-masjid kita ini menjadi masjid eksekutif. Agar jamaah betah di masjid, menjadi jujukan ibadah sembari mengistirahatkan rohani. Sudah waktunya lubang-lubang kotak amal diperlebar agar yang masuk kelasnya amplop, bukan uang receh atau seribuan. Jangan sampai terjadi jamaah enggan mampir, apalagi berinfak, gara-gara masjid besar dan megah, tapi naudzubillah baunya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar