|
Kita baru saja berpisah dengan Ramadan Mubarak dan Idul Fitri. Tentu
sangat diharapkan semua anak bangsa menyelami hakikat makna kedua momentum
tersebut secara benar. Sehingga, hasil yang didapat adalah sebuah kemenangan
sejati, bukan capaian yang dangkal dan hampa makna. Proses penyadaran itu
berawal dari diri sendiri, melalui pemaknaan dan internalisasi dari nilai-nilai
puasa ke dalam jiwa.
Spirit Ramadan sejatinya dijadikan sebagai modal sosial untuk transformasi individual-personal menuju kesalehan sosial-komunal. Dengan kembali kepada fitrah diri, setiap pribadi muslim dituntut memperluas fitrah itu dari hubungan vertikal kepada kehidupan sosial, demi meretaskan jalan untuk menyongsong masa depan bangsa yang bermartabat dan diridhai Allah SWT. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.
Malapetaka Sosial-Kultural
Indonesia memang kini telah berusia 68 tahun. Namun demikian, salah satu permasalahan mendasar bangsa ini adalah kemiskinan yang berkepanjangan. Dalam ungkapan Sri-Edi Swasono, Guru Besar UI (Kompas, 28/7/2012), kemiskinan adalah malapetaka sosial-kultural. Memang memiriskan, mengapa di Tanah Air yang kaya raya ini, rakyatnya miskin? Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) pusat, dua tahun silam misalnya, tingkat kemiskinan rata-rata nasional menurun, dari 13,3 persen pada 2010 menjadi 12,5 persen pada 2011. Penurunan jumlah penduduk miskin berlanjut tipis, dari 12,59 persen per Maret 2011, menjadi 12,36 persen pada September 2011. Meski menurun, tetap saja jumlah si miskin yang lebih dari 30 juta itu masih sangat besar jika dibandingkan dengan Negara-negara jiran.
Provinsi yang angka kemiskinannya lebih dari dua kali lipat rata-rata kemiskinan nasional adalah Papua 31,24 persen, Papua Barat 28,53 persen. Sementara itu, yang lebih dari satu setengah kali lipat rata-rata kemiskinan nasional yaitu Maluku 22,45 persen, Nusa Tenggara Timur 20,48 persen, Nusa Tenggara Barat 19,67 persen, dan Aceh 19,48 persen. Tingkat kemiskinan ekstrem provinsi-provinsi ”tertinggal” ini menurun tipis dibanding angka-angka Maret 2011.
Miskin bukan lagi persoalan keberadaan pada garis atau di bawah garis kemiskinan yang dibuat ekonom dan statistikus konvensional, tegas Sri-Edi Swasono, menantu Bung Hatta, sang proklamator Indonesia. Seseorang terpojok miskin tatkala ia melihat iklan-iklan di televisi menayangkan kemewahan yang tidak terjangkau daya belinya. Gebyar-gebyar kemewahan mengepung kemiskinannya, yang menjadikan nestapa dalam keperihan hati. Pegawai negeri dan swasta pun menjadi miskin oleh iklan-iklan rumah dan apartemen mewah metropolitan yang menggugah kecemburuan sosial dan menumbuhkan ”minderisasi” (inferiorization), sementara cicilan rumah sederhana mereka menjadi beban berkepanjangan.
Capek menunggu bisa berujung pada apatisme kepasrahan atau sebaliknya malah membangkitkan protes brutal. Sikap beringas yang bangkit bisa menjadi awal disintegrasi sosial yang menakutkan. Tragedi Markiah -beberapa waktu lalu- adalah contoh apatisme kepasrahan, fenomena self-disempowerment, pelumpuhan diri mengerikan yang melanda keluarga miskin ini. Janda tiga anak itu mengalami capek miskin berkepanjangan, tanpa harapan melihat cahaya di ujung kegelapan. Kemiskinan mendorongnya bunuh diri, terjun ke Sungai Cisadane sambil menggendong anaknya yang masih balita, meninggalkan dua anaknya menjadi yatim piatu.
Bukan Trickle-Down Effect
Dalam konteks keindonesiaan, Ramadhan yang baru saja kita lalui, memiliki makna sangat istimewa dan membawa keberkahan tersendiri bagi bangsa ini. Tentu tak luput dari memori kolektif kita bahwa proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada hari Jum’at tanggal 9 Ramadan 1364 H. Sungguh, bukanlah sebuah kebetulan jika ternyata Allah menganugerahkan kemenangan demi kemenangan kepada umat Islam pada bulan Ramadhan.
Hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tercinta tahun ini hanya berselang beberapa hari usai kemerdekaan dan kelahiran kembali setiap insan beriman usai berpuasa sebulan lamanya. Dr. Hidayat Nur Wahid, MA, mantan Ketua MPR RI periode 2004-2009, mengatakan bahwa hal seperti ini dapat dikapitalisasi sebagai modal sosial agar bangsa ini segera bangkit dari keterpurukannya.
Secara politik, para ahli sejarah mencatatkan bahwa sejak sebelum masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, para tokoh pergerakan nasional kerapkali memanfaatkan momentum Idul Fitri sebagai media untuk menyatukan seluruh elemen kekuatan bangsa guna menghadapi ancaman penjajah dan mengatasi multi krisis pada waktu itu.
Pada masa-masa itu, bangsa Indonesia tidak sekadar mendapat ancaman dari penjajahan Belanda, kemudian Jepang yang bermaksud menguasai Indonesia selepas membantu Indonesia dalam mengusir Belanda, tetapi juga ancaman krisis ekonomi dan politik akibat perpecahan di kalangan tokoh pergerakan nasional. Puncaknya, pada tahun 1946, sejumlah tokoh pergerakan nasional berhasil mendorong Presiden Soekarno untuk merayakan Idul Fitri dengan mengundang tokoh-tokoh pergerakan yang berasal dari latar belakang dan pendirian politik yang berbeda-beda. Dengan itu Idul Fitri tidak hanya menjadi momentum untuk saling memaafkan, namun juga sebagai ajang untuk menegaskan kesadaran agar menerima keragaman dan perbedaan tapi tetap dalam semangat persatuan dalam menghadapi ancaman bersama segenap anak bangsa.
Semangat rekonsiliasi yang diwariskan para tokoh pergerakan nasional tahun 1946 itu sangat relevan dalam konteks Indonesia sekarang ini. Seperti di masa lalu, ancaman yang mendera bangsa ini adalah menguatnya polarisasi baik di kalangan masyarakat maupun elit politik, dimana krisis politik itu berdampak pada krisis pengelolaan negara, meruyaknya korupsi di mana-mana, benih-benih separatis melalui pemekaran daerah yang asal-asalan, kemiskinan yang semakin menggurita, penegakkan hukum yang makin lemah tak berdaya dan terkesan tebang pilih, maraknya kasus-kasus mesum dan pornografi dan beragam masalah lainnya. Semua itu merupakan ancaman serius yang tak kalah berbahayanya dari ancaman penjajahan di zaman dulu.
Lantas, bagaimana cara kita menyikapi kemiskinan yang masih berkepanjangan saat ini? Prof. Sri-Edi dengan tegas mengatakan, “Kemiskinan dan pengangguran tidak seharusnya diatasi dengan semata-mata menunggu trickle-down effect atau kepyuran ke bawah dari investor besar. Merupakan kejahatan moral menganggap orang miskin hanya berhak atas rembesan.
Memburuknya indeks Gizi dari 38 persen (2010) menjadi 41 persen (2011) adalah peningkatan kesenjangan kaya-miskin yang mencemaskan. Paradigmatik kebijakan menggenjot pertumbuhan bukanlah jaminan terberantasnya kemiskinan dan pengangguran. Diperlukan pemikiran cerdas ekstraordiner-kontemporer, meninggalkan konvensionalisme. Direct attack on poverty—pemberdayaan kilat di pos-pos daya meningkatkan kemampuan produktif, terampil mencipta atau menyambut pekerjaan, menjadi pilihan.
Pembangunan dengan semangat pasar bebas dan perdagangan bebas yang memiskinkan kehidupan dan melumpuhkan semangat hidup rakyat harus distop. Sesuai paham strukturalisme ekonomi nasional kita harus banting setir beralih ke pemikiran: let us take care of employment, employment will take care of growth, tegas melaksanakan tujuan konstitusi: ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. ●
Spirit Ramadan sejatinya dijadikan sebagai modal sosial untuk transformasi individual-personal menuju kesalehan sosial-komunal. Dengan kembali kepada fitrah diri, setiap pribadi muslim dituntut memperluas fitrah itu dari hubungan vertikal kepada kehidupan sosial, demi meretaskan jalan untuk menyongsong masa depan bangsa yang bermartabat dan diridhai Allah SWT. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.
Malapetaka Sosial-Kultural
Indonesia memang kini telah berusia 68 tahun. Namun demikian, salah satu permasalahan mendasar bangsa ini adalah kemiskinan yang berkepanjangan. Dalam ungkapan Sri-Edi Swasono, Guru Besar UI (Kompas, 28/7/2012), kemiskinan adalah malapetaka sosial-kultural. Memang memiriskan, mengapa di Tanah Air yang kaya raya ini, rakyatnya miskin? Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) pusat, dua tahun silam misalnya, tingkat kemiskinan rata-rata nasional menurun, dari 13,3 persen pada 2010 menjadi 12,5 persen pada 2011. Penurunan jumlah penduduk miskin berlanjut tipis, dari 12,59 persen per Maret 2011, menjadi 12,36 persen pada September 2011. Meski menurun, tetap saja jumlah si miskin yang lebih dari 30 juta itu masih sangat besar jika dibandingkan dengan Negara-negara jiran.
Provinsi yang angka kemiskinannya lebih dari dua kali lipat rata-rata kemiskinan nasional adalah Papua 31,24 persen, Papua Barat 28,53 persen. Sementara itu, yang lebih dari satu setengah kali lipat rata-rata kemiskinan nasional yaitu Maluku 22,45 persen, Nusa Tenggara Timur 20,48 persen, Nusa Tenggara Barat 19,67 persen, dan Aceh 19,48 persen. Tingkat kemiskinan ekstrem provinsi-provinsi ”tertinggal” ini menurun tipis dibanding angka-angka Maret 2011.
Miskin bukan lagi persoalan keberadaan pada garis atau di bawah garis kemiskinan yang dibuat ekonom dan statistikus konvensional, tegas Sri-Edi Swasono, menantu Bung Hatta, sang proklamator Indonesia. Seseorang terpojok miskin tatkala ia melihat iklan-iklan di televisi menayangkan kemewahan yang tidak terjangkau daya belinya. Gebyar-gebyar kemewahan mengepung kemiskinannya, yang menjadikan nestapa dalam keperihan hati. Pegawai negeri dan swasta pun menjadi miskin oleh iklan-iklan rumah dan apartemen mewah metropolitan yang menggugah kecemburuan sosial dan menumbuhkan ”minderisasi” (inferiorization), sementara cicilan rumah sederhana mereka menjadi beban berkepanjangan.
Capek menunggu bisa berujung pada apatisme kepasrahan atau sebaliknya malah membangkitkan protes brutal. Sikap beringas yang bangkit bisa menjadi awal disintegrasi sosial yang menakutkan. Tragedi Markiah -beberapa waktu lalu- adalah contoh apatisme kepasrahan, fenomena self-disempowerment, pelumpuhan diri mengerikan yang melanda keluarga miskin ini. Janda tiga anak itu mengalami capek miskin berkepanjangan, tanpa harapan melihat cahaya di ujung kegelapan. Kemiskinan mendorongnya bunuh diri, terjun ke Sungai Cisadane sambil menggendong anaknya yang masih balita, meninggalkan dua anaknya menjadi yatim piatu.
Bukan Trickle-Down Effect
Dalam konteks keindonesiaan, Ramadhan yang baru saja kita lalui, memiliki makna sangat istimewa dan membawa keberkahan tersendiri bagi bangsa ini. Tentu tak luput dari memori kolektif kita bahwa proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada hari Jum’at tanggal 9 Ramadan 1364 H. Sungguh, bukanlah sebuah kebetulan jika ternyata Allah menganugerahkan kemenangan demi kemenangan kepada umat Islam pada bulan Ramadhan.
Hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tercinta tahun ini hanya berselang beberapa hari usai kemerdekaan dan kelahiran kembali setiap insan beriman usai berpuasa sebulan lamanya. Dr. Hidayat Nur Wahid, MA, mantan Ketua MPR RI periode 2004-2009, mengatakan bahwa hal seperti ini dapat dikapitalisasi sebagai modal sosial agar bangsa ini segera bangkit dari keterpurukannya.
Secara politik, para ahli sejarah mencatatkan bahwa sejak sebelum masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, para tokoh pergerakan nasional kerapkali memanfaatkan momentum Idul Fitri sebagai media untuk menyatukan seluruh elemen kekuatan bangsa guna menghadapi ancaman penjajah dan mengatasi multi krisis pada waktu itu.
Pada masa-masa itu, bangsa Indonesia tidak sekadar mendapat ancaman dari penjajahan Belanda, kemudian Jepang yang bermaksud menguasai Indonesia selepas membantu Indonesia dalam mengusir Belanda, tetapi juga ancaman krisis ekonomi dan politik akibat perpecahan di kalangan tokoh pergerakan nasional. Puncaknya, pada tahun 1946, sejumlah tokoh pergerakan nasional berhasil mendorong Presiden Soekarno untuk merayakan Idul Fitri dengan mengundang tokoh-tokoh pergerakan yang berasal dari latar belakang dan pendirian politik yang berbeda-beda. Dengan itu Idul Fitri tidak hanya menjadi momentum untuk saling memaafkan, namun juga sebagai ajang untuk menegaskan kesadaran agar menerima keragaman dan perbedaan tapi tetap dalam semangat persatuan dalam menghadapi ancaman bersama segenap anak bangsa.
Semangat rekonsiliasi yang diwariskan para tokoh pergerakan nasional tahun 1946 itu sangat relevan dalam konteks Indonesia sekarang ini. Seperti di masa lalu, ancaman yang mendera bangsa ini adalah menguatnya polarisasi baik di kalangan masyarakat maupun elit politik, dimana krisis politik itu berdampak pada krisis pengelolaan negara, meruyaknya korupsi di mana-mana, benih-benih separatis melalui pemekaran daerah yang asal-asalan, kemiskinan yang semakin menggurita, penegakkan hukum yang makin lemah tak berdaya dan terkesan tebang pilih, maraknya kasus-kasus mesum dan pornografi dan beragam masalah lainnya. Semua itu merupakan ancaman serius yang tak kalah berbahayanya dari ancaman penjajahan di zaman dulu.
Lantas, bagaimana cara kita menyikapi kemiskinan yang masih berkepanjangan saat ini? Prof. Sri-Edi dengan tegas mengatakan, “Kemiskinan dan pengangguran tidak seharusnya diatasi dengan semata-mata menunggu trickle-down effect atau kepyuran ke bawah dari investor besar. Merupakan kejahatan moral menganggap orang miskin hanya berhak atas rembesan.
Memburuknya indeks Gizi dari 38 persen (2010) menjadi 41 persen (2011) adalah peningkatan kesenjangan kaya-miskin yang mencemaskan. Paradigmatik kebijakan menggenjot pertumbuhan bukanlah jaminan terberantasnya kemiskinan dan pengangguran. Diperlukan pemikiran cerdas ekstraordiner-kontemporer, meninggalkan konvensionalisme. Direct attack on poverty—pemberdayaan kilat di pos-pos daya meningkatkan kemampuan produktif, terampil mencipta atau menyambut pekerjaan, menjadi pilihan.
Pembangunan dengan semangat pasar bebas dan perdagangan bebas yang memiskinkan kehidupan dan melumpuhkan semangat hidup rakyat harus distop. Sesuai paham strukturalisme ekonomi nasional kita harus banting setir beralih ke pemikiran: let us take care of employment, employment will take care of growth, tegas melaksanakan tujuan konstitusi: ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar