Sabtu, 24 Agustus 2013

Mengawal Perubahan

Mengawal Perubahan
Toeti Prahas Adhitama ;    Anggota Dewan Redaksi Media Group)
MEDIA INDONESIA, 23 Agustus 2013


KALAU saja kita merujuk ke Pancasila dalam menghadapi gelombang problem sosial yang sedang melanda masyarakat ini, mudah-mudahan bencana sosial yang kita hadapi bisa teratasi tanpa gejolak besar. Masalahnya, problem sosial ada di mana-mana setiap waktu, baik dalam masyarakat primitif maupun yang paling maju. Perubahan peradaban terus bergulir. Kemajuan pendidikan ataupun ilmu pengetahuan, serta rangsanganrangsangan dari lingkungan luar, pada gilirannya menimbulkan perubahan sosial. Kadarnya berbeda-beda, tergantung pada kultur serta sistem organisasi masyarakat masing-masing.

Mengapa Pancasila disebut-sebut? Dialah hasil perumusan founding fathers untuk menanggulangi sandungan yang mungkin menghambat bangsa ini jauh ke depannya mengingat masyarakat kita heterogen: terdiri dari banyak segmen karena perbedaan suku, agama, ras, dan golongan, serta terdapat banyak ketimpangan dalam pendidikan ataupun kesejahteraan. Rumusan founding fathers dibuat dengan menjaring puncak-puncak budaya bangsa supaya mengena untuk mengatasi problem-problem sosial yang ada.

Di antaranya sila pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, dimaksudkan agar mampu mencegah kemungkinan konfl ik antaragama, agar umat beragama saling hormat-menghormati. Sila tentang Persatuan Indonesia mengingatkan kita untuk selalu menggalang persatuan bangsa dan sila tentang keadilan sosial menegaskan tugas dan kewajiban kita untuk membangun kesejahteraan bersama.
Maka perubahan apa pun yang terjadi, jangan melupakan falsafah bangsa. Problem sosial apa pun hendaknya diatasi dengan asas Pancasila. Namun gejalanya, kita malahan mengabaikannya.

Aspirasi perubahan

Tingkat atau kadar problem sosial menjadi pertanda perlunya mengadakan perubahan dan dengan cara bagaimana. Kultur masyarakat dan sistem organisasi masyarakatlah yang menentukan jenis dan besar-kecilnya problem sosial. Segmentasi yang ada tentu membuat kita bingung menanggapinya. Karena problem yang dianggap gawat oleh satu pihak bisa dianggap wajar oleh yang lain. Yang dicela oleh satu pihak, mungkin didukung pihak lain. Siapa yang menjadi wasit?

Sudah saatnya para ahli kemasyarakatan berembuk untuk meneliti situasi. Sudah saatnya kita beramai-ramai mengadakan gerakan moral untuk meredam gejolak yang ada karena tidak mungkin menyerahkan permasalahannya hanya kepada yang berkuasa semata. Problem sosial adalah problem bersama.
Ada asumsi bahwa Polri biasa minta bantuan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi mengatasinya. Kebiasaan itu bisa diterima, karena tidak semua problem sosial bisa diatasi dengan kekuatan senjata. 

Namun, kita tetap perlu menambah kekuatan Polri, yang sekarang diperkirakan hanya sekitar dua-pertiga jumlah yang dibutuhkan. Apa pun, rakyat membutuhkan kekuatan penanggulangan demi rasa aman. Syukurlah angkatan bersenjata lainnya menjanjikan bantuan.

Penyelenggaraan suasana aman dan tertib baru awal dari proses mengatasi problem sosial. Selanjutnya masih diperlukan langkahlangkah perubahan untuk menjamin agar kehidupan sosial berjalan seperti yang diinginkan, tentunya lewat kesepakatan rakyat dan perwakilan rakyat.

Dalam kaitan itu, kita ke depan jelas memerlukan jajaran pemimpin di legislatif yang memfokuskan perhatian kepada kesejahteraan rakyat.
Sebab, bukankah itu tujuan kemerdekaan? Partai-partai politik dituntut mengarahkan dan memprogramkan kegiatannya ke sana. Kita tidak memerlukan jargon-jargon politik demi promosi diri.

Gerakan moral

Kita pantas berbangga bahwa kebebasan berekspresi memungkinkan gerakan moral terjaga. Berita tentang ramainya korupsi di tingkattingkat tinggi membuktikan, bahkan di kalangan elite, pemahaman tentang demokrasi belum matang. Harus ada perubahan dalam pembelajaran kita tentang demokrasi. Budaya feodalisme yang diturunkan nenek moyang memang bukan budaya modern. Dibutuhkan trans formasi sikap dan perilaku oleh semua pihak. Misalnya, kebiasaan buruk untuk menuruti kemauan atasan/elite yang jelas-jelas keliru harus ditinggalkan.

Sebenarnya yang bisa kita andalkan untuk memotori reformasi adalah kalangan terdidik, khususnya dari kalangan perguruan tinggi. Namun, sistem pendidikan tinggi di mana pun tidak lepas dari masyarakat yang melembagakannya, dan sangat kuat dipengaruhi orang-orang yang memimpinnya. Sungguh dise salkan bahwa ada oknum-oknum dari kalangan perguruan tinggi yang akhirakhir ini mempertontonkan diri sebagai tokoh-tokoh pelanggar norma-norma masyarakat.

Padahal, sukses tidaknya program pembangunan atau modernisasi suatu negara terutama bergantung kepada mereka yang berpendidikan tinggi. Diakui bahwa perguruan tinggi adalah instrumen institusional untuk modernisasi politik, ekonomi, kemasyarakatan ataupun kebudayaan. Tesis ini bisa kita terima bila kita simak jalannya modernisasi di berbagai negara.

Yang dipertontonkan beberapa gelintir tokoh dari perguruan tinggi, yang oleh KPK dinyatakan menjalankan korupsi, menunjukkan problem sosial merongrong semua lini. Memang menurut teori, problem sosial bisa saja muncul karena disorganisasi atau kekacauan di masyarakat, dan bisa juga karena deviasi atau pelanggaran norma oleh individu-individu tertentu atau konflik nilai-nilai yang membingungkan dan polapola perilaku dalam masyarakat yang saling bertentangan akibat perubahan zaman.


Dilema yang kita hadapi sekarang mengangankan problem-problem sosial gampang teratasi yang berarti mengimpikan tertib sosial yang sempurna. Rasanya yang demikian itu tidak pernah ada. Hanya fatamorgana. Yang bisa kita usahakan: jangan sampai problem-problem sosial merusak perencanaan kita sebagai masyarakat demokrasi yang ingin memajukan bangsa dengan Pancasila sebagai panduannya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar