|
KALAU saja kita merujuk ke
Pancasila dalam menghadapi gelombang problem sosial yang sedang melanda
masyarakat ini, mudah-mudahan bencana sosial yang kita hadapi bisa teratasi
tanpa gejolak besar. Masalahnya, problem sosial ada di mana-mana setiap waktu,
baik dalam masyarakat primitif maupun yang paling maju. Perubahan peradaban
terus bergulir. Kemajuan pendidikan ataupun ilmu pengetahuan, serta
rangsanganrangsangan dari lingkungan luar, pada gilirannya menimbulkan
perubahan sosial. Kadarnya berbeda-beda, tergantung pada kultur serta sistem
organisasi masyarakat masing-masing.
Mengapa Pancasila disebut-sebut?
Dialah hasil perumusan founding fathers
untuk menanggulangi sandungan yang mungkin menghambat bangsa ini jauh ke
depannya mengingat masyarakat kita heterogen: terdiri dari banyak segmen karena
perbedaan suku, agama, ras, dan golongan, serta terdapat banyak ketimpangan
dalam pendidikan ataupun kesejahteraan. Rumusan founding fathers dibuat dengan menjaring puncak-puncak budaya
bangsa supaya mengena untuk mengatasi problem-problem sosial yang ada.
Di antaranya sila pertama tentang
Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, dimaksudkan agar mampu mencegah kemungkinan
konfl ik antaragama, agar umat beragama saling hormat-menghormati. Sila tentang
Persatuan Indonesia mengingatkan kita untuk selalu menggalang persatuan bangsa
dan sila tentang keadilan sosial menegaskan tugas dan kewajiban kita untuk
membangun kesejahteraan bersama.
Maka perubahan apa pun yang
terjadi, jangan melupakan falsafah bangsa. Problem sosial apa pun hendaknya
diatasi dengan asas Pancasila. Namun gejalanya, kita malahan mengabaikannya.
Aspirasi perubahan
Tingkat atau kadar problem sosial
menjadi pertanda perlunya mengadakan perubahan dan dengan cara bagaimana.
Kultur masyarakat dan sistem organisasi masyarakatlah yang menentukan jenis dan
besar-kecilnya problem sosial. Segmentasi yang ada tentu membuat kita bingung
menanggapinya. Karena problem yang dianggap gawat oleh satu pihak bisa dianggap
wajar oleh yang lain. Yang dicela oleh satu pihak, mungkin didukung pihak lain.
Siapa yang menjadi wasit?
Sudah saatnya para ahli
kemasyarakatan berembuk untuk meneliti situasi. Sudah saatnya kita beramai-ramai
mengadakan gerakan moral untuk meredam gejolak yang ada karena tidak mungkin
menyerahkan permasalahannya hanya kepada yang berkuasa semata. Problem sosial
adalah problem bersama.
Ada asumsi bahwa Polri biasa minta bantuan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi mengatasinya. Kebiasaan itu bisa diterima, karena tidak semua problem sosial bisa diatasi dengan kekuatan senjata.
Ada asumsi bahwa Polri biasa minta bantuan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi mengatasinya. Kebiasaan itu bisa diterima, karena tidak semua problem sosial bisa diatasi dengan kekuatan senjata.
Namun, kita tetap perlu
menambah kekuatan Polri, yang sekarang diperkirakan hanya sekitar dua-pertiga
jumlah yang dibutuhkan. Apa pun, rakyat membutuhkan kekuatan penanggulangan
demi rasa aman. Syukurlah angkatan bersenjata lainnya menjanjikan bantuan.
Penyelenggaraan suasana aman dan
tertib baru awal dari proses mengatasi problem sosial. Selanjutnya masih
diperlukan langkahlangkah perubahan untuk menjamin agar kehidupan sosial
berjalan seperti yang diinginkan, tentunya lewat kesepakatan rakyat dan
perwakilan rakyat.
Dalam kaitan itu, kita ke depan
jelas memerlukan jajaran pemimpin di legislatif yang memfokuskan perhatian kepada
kesejahteraan rakyat.
Sebab, bukankah itu tujuan kemerdekaan? Partai-partai politik dituntut
mengarahkan dan memprogramkan kegiatannya ke sana. Kita tidak memerlukan
jargon-jargon politik demi promosi diri.
Gerakan moral
Kita pantas berbangga bahwa kebebasan
berekspresi memungkinkan gerakan moral terjaga. Berita tentang ramainya korupsi
di tingkattingkat tinggi membuktikan, bahkan di kalangan elite, pemahaman
tentang demokrasi belum matang. Harus ada perubahan dalam pembelajaran kita
tentang demokrasi. Budaya feodalisme yang diturunkan nenek moyang memang bukan
budaya modern. Dibutuhkan trans formasi sikap dan perilaku oleh semua pihak.
Misalnya, kebiasaan buruk untuk menuruti kemauan atasan/elite yang jelas-jelas
keliru harus ditinggalkan.
Sebenarnya yang bisa kita andalkan
untuk memotori reformasi adalah kalangan terdidik, khususnya dari kalangan
perguruan tinggi. Namun, sistem pendidikan tinggi di mana pun tidak lepas dari
masyarakat yang melembagakannya, dan sangat kuat dipengaruhi orang-orang yang
memimpinnya. Sungguh dise salkan bahwa ada oknum-oknum dari kalangan perguruan
tinggi yang akhirakhir ini mempertontonkan diri sebagai tokoh-tokoh pelanggar
norma-norma masyarakat.
Padahal, sukses tidaknya program
pembangunan atau modernisasi suatu negara terutama bergantung kepada mereka
yang berpendidikan tinggi. Diakui bahwa perguruan tinggi adalah instrumen
institusional untuk modernisasi politik, ekonomi, kemasyarakatan ataupun
kebudayaan. Tesis ini bisa kita terima bila kita simak jalannya modernisasi di
berbagai negara.
Yang dipertontonkan beberapa
gelintir tokoh dari perguruan tinggi, yang oleh KPK dinyatakan menjalankan
korupsi, menunjukkan problem sosial merongrong semua lini. Memang menurut
teori, problem sosial bisa saja muncul karena disorganisasi atau kekacauan di
masyarakat, dan bisa juga karena deviasi atau pelanggaran norma oleh
individu-individu tertentu atau konflik nilai-nilai yang membingungkan dan
polapola perilaku dalam masyarakat yang saling bertentangan akibat perubahan
zaman.
Dilema yang kita hadapi sekarang
mengangankan problem-problem sosial gampang teratasi yang berarti mengimpikan
tertib sosial yang sempurna. Rasanya yang demikian itu tidak pernah ada. Hanya
fatamorgana. Yang bisa kita usahakan: jangan sampai problem-problem sosial
merusak perencanaan kita sebagai masyarakat demokrasi yang ingin memajukan
bangsa dengan Pancasila sebagai panduannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar