Selasa, 20 Agustus 2013

Mengarungi Jembatan Emas dengan Jiwa Merdeka

Mengarungi Jembatan Emas dengan Jiwa Merdeka
Yudi Latif ;   Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
KOMPAS, 20 Agustus 2013

Kemerdekaan bukanlah akhir segalanya. Ia adalah permulaan yang membangkitkan tantangan sekaligus menuntut jawaban. Bung Karno mengingatkan, ”Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangunkan soal-soal; tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidakmerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal.”

Kemerdekaan menuntut banyak hal, yang hanya bisa dipenuhi oleh jiwa merdeka. Di sinilah letak paradoks Indonesia kini. Di satu sisi, ledakan kebebasan membangkitkan harapan rakyat akan kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan sejahtera. Di sisi lain, kapasitas negara memenuhi ekspektasi itu dibatasi defisit jiwa merdeka di kalangan para pemimpin bangsa yang membuat pilihan kebijakan terkekang kepentingan di luar rakyatnya.

Di dalam ketidakmerdekaan jiwa, kemerdekaan sebagai jembatan emas belum tentu berujung berkah; bisa saja berbuah musibah. Bung Karno mengatakan, ”Merdeka hanyalah sebuah jembatan walaupun jembatan emas. Di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap sama tangis!”

Agar mencapai husnul-khatimah, kita harus menghayati kemerdekaan itu sebagai api revolusi yang harus terus dinyalakan. Para pendiri Republik Indonesia secara sadar menganut pendirian, revolusi kebangkitan bangsa Indonesia, sebagai bekas bangsa terjajah dan sebagai bangsa yang telah hidup dalam alam feodalisme ratusan tahun lamanya, harus berwajah dua: revolusi politik (nasional) dan revolusi sosial. Revolusi politik (nasional) untuk mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme serta untuk mencapai satu negara Republik Indonesia. Revolusi sosial untuk mengoreksi struktur sosial-ekonomi dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur.

Dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur, demokrasi yang harus dituliskan di atas bendera partai dengan aksara api adalah demokrasi yang menggelorakan semangat persatuan dan keadilan. Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri oleh sila keadilan. Itu berarti, demokrasi Indonesia mengandaikan adanya semangat persatuan (kekeluargaan) terlebih dahulu dan setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintah yang memegang kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial. Dalam demokrasi permusyawaratan, kebebasan kehilangan makna substantif jika tidak disertai kesederajatan dan persaudaraan (kekeluargaan). Kesederajatan dan semangat kekeluargaan dari perbedaan aneka gugus kebangsaan diperkuat melalui pemuliaan nilai keadilan.

Seturut dengan itu, penyelenggaraan negara juga harus berkaki persatuan dan berujung keadilan. Dalam pokok pikiran pertama Pembukaan UUD 1945 disebutkan, perwujudan negara yang dikehendaki adalah ”Negara—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian, negara Indonesia tidak dikehendaki sebagai ”negara liberal”, tetapi sebagai ”negara kesejahteraan” (negara sosial). Dalam pemikiran para pendiri bangsa, negara kesejahteraan yang dimaksud adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang menegaskan, negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat (setidaknya secara minimal) bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajal karena tidak memperoleh jaminan sosial. Dalam negara kesejahteraan Indonesia, yang dituntut oleh etika politiknya bukanlah penghapusan hak milik pribadi, melainkan bahwa hak milik pribadi itu memiliki fungsi sosial; dan negara bertanggung jawab atas kesejahteraan umum dalam masyarakat.

Prinsip negara kesejahteraan yang mengandung paham demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu diterima secara bulat, baik oleh anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang bersidang 18 Agustus 1945. Adanya demokrasi ekonomi yang jadi ciri negara kesejahteraan tecermin dalam Penjelasan UUD 1945 Pasal 33 yang, antara lain, berbunyi: ”Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang!”

Dengan demikian, keadilan sosial melalui perwujudan negara kesejahteraan merupakan imperatif etis dari amanah Pancasila dan UUD 1945. Realisasinya, usaha keadilan dan kesejahteraan sosial itu harus bersendikan nilai-nilai kekeluargaan Indonesia yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.

Komitmen keadilan menurut alam pemikiran Pancasila berdimensi luas. Peran negara dalam perwujudan keadilan sosial. Tinggal masalahnya, bagaimana kita memiliki keyakinan dan konsistensi menjalankan konsepsi sendiri. Jauh-jauh hari Bung Karno mengingatkan, ”Apakah kelemahan kita? Kelemahan jiwa kita ialah kita kurang percaya kepada diri kita sendiri sebagai bangsa sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang percaya memercayai satu sama lain, padahal kita ini pada asalnya adalah rakyat gotong royong.”


Peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan harus bisa memulihkan jiwa merdeka yang mampu memberikan self respect kepada bangsa sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar