|
Kemerdekaan bukanlah akhir
segalanya. Ia adalah permulaan yang membangkitkan tantangan sekaligus menuntut
jawaban. Bung Karno mengingatkan, ”Kemerdekaan
tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangunkan soal-soal; tetapi
kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya
ketidakmerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal.”
Kemerdekaan menuntut banyak hal,
yang hanya bisa dipenuhi oleh jiwa merdeka. Di sinilah letak paradoks Indonesia
kini. Di satu sisi, ledakan kebebasan membangkitkan harapan rakyat akan
kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan sejahtera. Di sisi lain, kapasitas
negara memenuhi ekspektasi itu dibatasi defisit jiwa merdeka di kalangan para
pemimpin bangsa yang membuat pilihan kebijakan terkekang kepentingan di luar
rakyatnya.
Di dalam ketidakmerdekaan jiwa,
kemerdekaan sebagai jembatan emas belum tentu berujung berkah; bisa saja
berbuah musibah. Bung Karno mengatakan, ”Merdeka
hanyalah sebuah jembatan walaupun jembatan emas. Di seberang jembatan itu jalan
pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap sama
tangis!”
Agar mencapai husnul-khatimah, kita harus menghayati
kemerdekaan itu sebagai api revolusi yang harus terus dinyalakan. Para pendiri
Republik Indonesia secara sadar menganut pendirian, revolusi kebangkitan bangsa
Indonesia, sebagai bekas bangsa terjajah dan sebagai bangsa yang telah hidup
dalam alam feodalisme ratusan tahun lamanya, harus berwajah dua: revolusi
politik (nasional) dan revolusi sosial. Revolusi politik (nasional) untuk
mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme serta untuk mencapai satu negara
Republik Indonesia. Revolusi sosial untuk mengoreksi struktur sosial-ekonomi
dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur.
Dalam mewujudkan masyarakat adil
dan makmur, demokrasi yang harus dituliskan di atas bendera partai dengan
aksara api adalah demokrasi yang menggelorakan semangat persatuan dan keadilan.
Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri
oleh sila keadilan. Itu berarti, demokrasi Indonesia mengandaikan adanya
semangat persatuan (kekeluargaan) terlebih dahulu dan setelah demokrasi politik
dijalankan, pemerintah yang memegang kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan
keadilan sosial. Dalam demokrasi permusyawaratan, kebebasan kehilangan makna
substantif jika tidak disertai kesederajatan dan persaudaraan (kekeluargaan).
Kesederajatan dan semangat kekeluargaan dari perbedaan aneka gugus kebangsaan
diperkuat melalui pemuliaan nilai keadilan.
Seturut dengan itu, penyelenggaraan
negara juga harus berkaki persatuan dan berujung keadilan. Dalam pokok pikiran
pertama Pembukaan UUD 1945 disebutkan, perwujudan negara yang dikehendaki
adalah ”Negara—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, negara Indonesia
tidak dikehendaki sebagai ”negara liberal”, tetapi sebagai ”negara
kesejahteraan” (negara sosial). Dalam pemikiran para pendiri bangsa, negara
kesejahteraan yang dimaksud adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang
menegaskan, negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat (setidaknya
secara minimal) bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar
tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajal karena
tidak memperoleh jaminan sosial. Dalam negara kesejahteraan Indonesia, yang
dituntut oleh etika politiknya bukanlah penghapusan hak milik pribadi,
melainkan bahwa hak milik pribadi itu memiliki fungsi sosial; dan negara
bertanggung jawab atas kesejahteraan umum dalam masyarakat.
Prinsip negara kesejahteraan yang
mengandung paham demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu diterima secara
bulat, baik oleh anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) maupun anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
bersidang 18 Agustus 1945. Adanya demokrasi ekonomi yang jadi ciri negara
kesejahteraan tecermin dalam Penjelasan UUD 1945 Pasal 33 yang, antara lain,
berbunyi: ”Perekonomian berdasar atas
demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang!”
Dengan demikian, keadilan sosial
melalui perwujudan negara kesejahteraan merupakan imperatif etis dari amanah
Pancasila dan UUD 1945. Realisasinya, usaha keadilan dan kesejahteraan sosial itu
harus bersendikan nilai-nilai kekeluargaan Indonesia yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila.
Komitmen keadilan menurut alam
pemikiran Pancasila berdimensi luas. Peran negara dalam perwujudan keadilan
sosial. Tinggal masalahnya, bagaimana kita memiliki keyakinan dan konsistensi
menjalankan konsepsi sendiri. Jauh-jauh hari Bung Karno mengingatkan, ”Apakah kelemahan kita? Kelemahan jiwa kita
ialah kita kurang percaya kepada diri kita sendiri sebagai bangsa sehingga kita
menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang percaya memercayai satu sama lain,
padahal kita ini pada asalnya adalah rakyat gotong royong.”
Peringatan hari Proklamasi
Kemerdekaan harus bisa memulihkan jiwa merdeka yang mampu memberikan self
respect kepada bangsa sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar