Minggu, 25 Agustus 2013

Manusia Hijau dan Perangkat Komunikasi

Manusia Hijau dan Perangkat Komunikasi
Eliyani ;    Kepala Pusat Studi Perubahan Iklim,
Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Mercu Buana
MEDIA INDONESIA, 24 Agustus 2013


BARANGKALI walaupun harga bahan pokok melambung tinggi, harga BBM juga naik tidak terkira, yang penting bagi rakyat Indonesia ialah harga pulsa jangan dinaikkan. Biarpun masih banyak penduduk miskin di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 28 juta jiwa lebih pada awal 2013 ini, kenyataannya berdasarkan data CIA yang dikutip dari sebuah situs, hampir setiap orang di Indonesia memiliki telepon seluler atau bahkan banyak dari orang Indonesia yang memiliki gadget atau handheld lebih dari satu. Pelanggan seluler di Indonesia hingga akhir 2012 hampir 237 juta, atau hampir sama dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini.

Jadi, mungkin perangkat telekomunikasi telah menjadi kebutuhan pokok rakyat negeri ini bersanding dengan sandang, papan, dan pangan.
Tidak ada yang salah dengan itu semua, jika saja kita tidak menjadi `boros' akibat keranjingan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Perkembangan teknologi itu yang demikian pesat, terlihat dari cepatnya penambahan fitur maupun kecanggihan yang lain, membuat orang cenderung berkeinginan memiliki perangkat yang baru.
Pada kurun waktu 2009­2012 berdasarkan data KSO Sucofindo seperti dikutip dari sebuah situs, jumlah ponsel yang diimpor mencapai lebih dari 165 juta unit. Untuk belanja ponsel sejumlah itu, devisa harus melayang ke negara lain mencapai lebih dari US$7,5 miliar. Konsumtif sekali. Bayangkan, jika saja produksi gadget itu ada di Indonesia.

Bahaya bagi lingkungan

Perangkat teknologi selalu memiliki dua sisi, yang satu gambaran kesenangan, yang satu lagi angka yang mesti dibayar. Dampak buruk TIK sudah banyak diketahui. Radiasi yang memancar dari perangkat ini membuat kita seyogianya jangan langsung mendekatkan ponsel ke telinga saat hubungan belum tersambung. Bahaya buat kesehatan. Atau banyaknya kecelakaan di jalan raya yang disebabkan pengendara yang tetap menggunakan ponsel saat berkendara. Bukan hanya bahaya buat dia, melainkan juga untuk pengguna jalan raya lainnya. Ada seorang nenek yang meninggal tertabrak oleh anak gadis yang aktif berponsel sambil nyetir motornya.

Dampak yang paling mengerikan dan ditakuti banyak orang ialah munculnya era post-humanist, saat orang betul-betul tidak butuh orang lain lagi. Komputer kecil yang ada di tangannya berbentuk sebuah telepon seluler, atau hanya berbentuk noktah kecil karena berkembangnya teknologi virtual, menyebabkan dia tidak butuh lagi pada manusia lainnya. Apalagi nanti komputer tersebut telah menjadi `multimedia banget', seluruh sensor manusia alias pancaindra telah mampu ditiru secara sempurna oleh komputer. Itu tidak mengada-ada karena bau sudah mulai bisa dikirimkan via internet. Nah, asyik atau ngeri?

Namun, banyak yang kurang paham akan dampak buruk TIK itu bagi lingkungan. Di era pemanasan global, kalau boleh saya menyebutkannya demikian, karena inilah isu lingkungan yang menjadi trending topic di seluruh dunia dan tidak hentinya menghantui kita, TIK memang menjadi harapan untuk mengurangi penyebab pemanasan global melalui antara lain pengembangan paperless system, teleworking, teleconference atau otomasi penggunaan perangkat listrik. AC, TV, dan komputer mati otomatis setelah beberapa waktu tertentu sehingga energi listrik dapat diefisienkan.

Masalahnya ialah penggunaan komputer dan peralatan TIK lainnya sering kali tidak efisien listrik atau berlebihan. Coba saja dihitung, berapa lama per hari kita menyala kan komputer, berapa lama komputer tetap hidup, te tapi orangnya entah di mana, atau bahkan mati suri selama bulan puasa ini alias tidur? Berapa lama kita internetan sehari untuk urusan update status, ngetwit, dan lain-lain, berapa kali pula dalam sehari kita menge-charge ponsel dan gadget kita yang lain?

Menurut Sobotta et al (2009), TIK juga meninggalkan jejak karbon. Di Eropa, bersama perangkat elektronik rumah tangga lainnya, TIK menyumbang 2% dari total gas-gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Jumlah itu hampir sama banyaknya dengan sumbangan dari sektor penerbangan. Daripada menyumbang karbon ke atmosfer, lebih baik me nyumbang karbon yang tersimpan di uang-uang kertas ke masjid-masjid atau lembaga-lembaga amal lainnya.

Sebagian peralatan TIK memang lapar listrik. Untuk laptop terkini yang kecepatan kerjanya makin tinggi dan makin multimedia, bahkan seakan-akan wajib pula mem beli kipas pendingin agar motherboard tidak cepat rusak. Tambah energi lagi. Lebih afdal lagi kalau diletakkan di ruang ber-AC. Server wajib diletakkan di ruang ber-AC. Teknologi cloud computing yang merupakan teknologi pusat data yang menjadi harapan efisiensi sekarang ini perlu banyak server yang haus listrik (dan AC juga). Katanya teknologi cloud di AS mengonsumsi 1,5% dari total energi listrik di sana (Liscia, 2009). Efisien di satu sisi, tetapi tetap perlu listrik yang besar. Kalau ponsel kan tidak. Namun, kok perlu power bank agar dapat dibawa ke mana-mana?

Di samping meninggalkan jejak karbon, peralatan TIK juga meninggalkan jejak barang bekas. Banyak ponsel dan gadget baru yang datang, banyak pula yang menjadi usang, baik karena termakan oleh usia maupun karena tren teknologi. Nah, persoalannya, dikemanakan barangbarang bekas TIK yang sudah tidak terpakai lagi?

Sudah banyak yang kreatif memanfaatkan barang bekas komputer maupun ponsel. Misalnya dijadikan diorama sebuah kota, pemanas makanan, tempat sampah, dan kotak pos. Juga ada yang mendulang emas dari barang bekas TIK ini. Dari 1 kg ponsel bekas, atau setara dengan 50 unit ponsel, dapat diperoleh sekitar 1,5 gram emas. Atau dari sekitar dua unit CPU, dapat diperoleh 0,2 gram emas. Masalahnya ialah proses pendulangan itu secara tradisional menggunakan sejumlah bahan kimia yang langsung dibuang ke tanah sehingga tidak ramah lingkungan.

Tidak semua pula bagian dari perangkat TIK itu yang dapat dimanfaatkan, pasti ada sisanya. Jadilah turut serta menambah beban bagi spasial bumi kita. Sampah-sampah komputer ini dikirim ke negara-negara miskin, untuk dihancurkan dengan cara dibakar. Padahal dalam proses pembakaran tersebut keluar sejumlah zat-zat beracun yang mengganggu kesehatan manusia.

Green dan greening IT

Karena itu, perangkat TIK perlu juga dihijaukan atau orang menyebutnya green IT. Dari perangkat keras, perangkat lunak, maupun manusia yang merupakan tiga komponen penyusun perangkat TIK, semua dihijaukan. Tiga konsep yang digunakan masih 3R (renewable, recycle, reused), dapat diperbarui, dapat didaurulangkan, dan dapat digunakan kembali.

Sebetulnya sederhana untuk melihat produk TIK hijau atau hitam. Yang utama ialah tingkat kerakusannya terhadap energi listrik. Pilih juga yang bahan pembuatnya ramah lingkungan.

Sebaiknya cari perangkat TIK yang diproduksi di negara sendiri sehingga tidak mengonsumsi banyak bahan bakar dan energi untuk membuatnya sampai ke atas meja kita. Sayangnya sebagian terbesar produk TIK ini masih impor.

Manusia hijau dibutuhkan untuk greening IT, istilah yang digunakan untuk menjamin dan meningkatkan bahwa TIK mampu membuat banyak sektor lain menjadi lebih hijau. TIK menyumbang gas rumah kaca sekitar 2%, sektor lainnya masih 98%.

Sejauh ini, TIK mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas berbagai kegiatan baik bisnis maupun nonbisnis. Diharapkan, para manusia hijau dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas TIK hijau dalam berbagai sektor sehingga sektor-sektor lainnya pun menjadi lebih hijau. Manusia hijau ini juga termasuk manusia-manusia yang menggunakan peralatan TIK secara bijaksana untuk kebajikan.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar