Sabtu, 24 Agustus 2013

Makna Angka Nol NU dalam Pilgub

Makna Angka Nol NU dalam Pilgub
Akh. Muzakki ;    Sekretaris PW NU Jawa Timur,
Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
JAWA POS, 23 Agustus 2013



 Jawa Timur dilaksanakan pada 29 Agustus 2013. Ada empat pasangan calon yang maju: Soekarwo-Saifullah Yusuf (nomor urut 1), Eggi Sudjana-M. Sihat (nomor 2), Bambang D.H.-Said Abdullah (nomor 3), dan Khofifah Indar Parawansa-Herman Suryadi Sumawiredja (nomor 4). Siapa pun dari pasangan calon di atas pasti memperhitungkan NU sebagai sebuah faktor yang menentukan atau The NU Factor (Faktor NU). 

Meskipun demikian, PW NU Jawa Timur selaku pemegang kuasa struktur ke-NU-an di wilayah ini telah melahirkan ijtihad politiknya dengan penuh seksama dan kehati-hatian yang tinggi. Bentuknya, NU di wilayah ini bersikap netral dalam kontestasi Pilgub 2013 ini. Sejak rapat pleno 17 Januari 2013, PW NU mengambil sikap "nol" terhadap persaingan politik para kontestan dalam pilgub dimaksud. 

Nah, angka nol (netral) dari sikap politik PW NU itu memiliki dua makna penting. Pertama, PW NU sedang berupaya untuk menjaga kohesi internal NU sesuai dengan nilai sejarah dan konteks sosiologis organisasi ini.

Berbeda dengan sejumlah ormas lain di Indonesia, NU bisa dibilang tidak saja merupakan organisasi yang masuk kategori institusi (institution), tetapi juga perhimpunan (association). Pasalnya, sebagai sebuah organisasi, NU tidak saja memiliki struktur kelembagaan yang mapan, melainkan juga menjadi tempat berhimpunnya sejumlah institusi pesantren dan keulamaan. 

Maka, tidak heran jika muncul kategorisasi, meminjam istilah Robert Redfield (1963), NU besar (great NU) dan NU kecil (little NU). NU besar menunjuk kepada kelembagaan struktural, mulai dari level PB NU, PW NU, hingga bahkan MWC NU. Lebih jauh, bahkan, tingkat ranting pun bisa masuk kategori ini. NU kecil merepresentasikan kiai dan pesantren. Kiai dan pesantren menjadi pemilik saham terpenting dari NU, yang penerima manfaat (beneficiaries)-nya bergerak hingga ke akar rumput. Kaum nahdliyin menjadi bagian tersendiri dari gugusan NU kecil ini.

Relasi antara NU besar dan NU kecil sangat erat. Bahkan tidak bisa dipisahkan. Sebagai pemilik saham terpenting, NU kecil menjadi jangkar pengaman tradisi ke-NU-an di Indonesia. Maka, tanggung jawab NU besar sejatinya bisa menjadi "payung besar" dan rumah nyaman bagi NU kecil yang jumlahnya sangat banyak di tengah masyarakat. 

Kedua, dengan sikap politik netral di atas, PW NU sedang mengikhtiarkan penguatan fungsi sosial NU di tengah masyarakat. Dalam kepentingan ini, melekat pada diri NU besar modal sosial yang sangat besar pula. Meminjam bahasa Robert D. Putnam (Bowling Alone, 2000: 22-4), NU besar memiliki dua modal sosial sekaligus: modal sosial yang bersifat mengikat (bonding social capital) dan modal sosial yang bersifat menjembatani (bridging social capital).

Bonding social capital memiliki signifikansi untuk mengikat erat deretan panjang NU kecil yang ada di dalamnya beserta latar belakang etnis dan ekspresi keyakinan yang beragam. Modal sosial ini memegang peranan penting untuk memobilisasi solidaritas internal. 

Bridging social capital bergerak lebih untuk menjembatani dan mendekatkan NU besar dan sekaligus NU kecil dengan kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan secara fundamental. Modal sosial jenis ini mempunyai kelebihan dalam menjalin hubungan dengan kekuatan-kekuatan eksternal. 

Kepemimpinan NU besar layak untuk memaksimalkan modal sosial, baik yang bersifat bonding maupun bridging di atas. Hal ini dibutuhkan di tengah dinamika politik kiai dan pesantren beserta intensitas mereka yang tinggi dalam kegiatan-kegiatan penguatan kapasitas masyarakat akar rumput. Kegagalan memanfaatkan dua modal sosial ini akan segera menyebabkan gamangnya peran NU besar seperti PW NU sebagai "payung besar" di atas.

Sejarah membuktikan, kepemimpinan NU memegang peranan kunci di balik upaya untuk menjaga agar NU menjadi "payung besar" bagi semua kaum nahdliyin, terlepas pilihan politik yang dijatuhkan. Juga terlepas dari ragam kegiatan penguatan kapasitas masyarakat yang tinggi pula. Di tengah ragam aktivisme politik, ekonomi, dan sosial kiai serta pesantren yang sangat tinggi tersebut, kepemimpinan NU menjadi kata kunci. 

Karena itu, PW NU selaku bagian penting dari NU besar layak menjaga peran dan kapasitasnya sebagai "payung besar" di atas. 

Dengan sikap dan ijtihad politik netral di atas, NU besar melalui representasi PW NU sedang berikhtiar untuk bisa mengayomi semua pihak. Harapannya, potensi konflik dalam kontestasi kehidupan, terutama akibat persaingan dalam politik, ekonomi dan sosial, bisa diminimalkan sedemikian rupa. Semoga. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar