Rabu, 21 Agustus 2013

Lebaran Blusukan

Lebaran Blusukan
Bambang Arianto ;   Peneliti Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC) Yogyakarta dan KAHMI Cabang Bulaksumur Yogyakarta
OKEZONENEWS, 20 Agustus 2013



BULAN Ramadan 1434 H yang dimuliakan telah berlalu dan disambut dengan Hari Raya Idul Fitri 1434 Hijriah. Hari kemenangan bagi umat Islam di mana setelah sebulan penuh berpuasa melewati sebuah pelatihan diri untuk bersikap jujur dan melawan hawa nafsu. Rutinitas puasa ini diharapkan akan mampu memberikan makna transformatif dari diri-pribadi ke publik dan Negara, sebab puasa bukan hanya merupakan ibadah hati namun juga mengandung norma sosial. Bagi sebagian masyarakat Indonesia Idul Fitri merupakan momentum untuk dapat saling memaafkan, berbagi dan meningkatkan solidaritas antarsesama umat dan terutama bagi keluarga. 

Dalam perayaan hari kemenangan tidak sedikit momentum ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh sebagian elit oligarkis dan populis dalam upaya mendekatkan diri pada rakyat. Banyak elit oligarkis yang menggelar open house atau halal bihalal untuk umum. Namun yang menarik di ritual lebaran tahun ini adalah tingkah laku Gubernur DKI Jakarta dalam menyapa publik dengan tetap melakukan blusukan. Jokowi mencoba tetap memberikan sentuhan baru dikala terjadinya krisis reprensentasi rakyat pada elit oligarkis dan populis saat ini. 

Jokowi mencoba menyapa dan bersilaturahmi dengan masyarakat dengan gaya “nyleneh”. Ciri khas blusukan tetap dipertahankannya. Jokowi tidak merasa canggung untuk blusukan di hari yang fitri ini. Dia rela untuk bersilaturahmi ke kampung-kampung untuk melihat langsung kondisi rakyatnya ditengah-tengah banyaknya elit oligarkis dan populis melakukan tebar pesona melalui open house dikediaman masing-masing. Dikalangan elit oligarkis maupun populis selama ini hanya dikenal open house dalam menyapa masyarakat. Dengan semakin elitisnya para elit oligarkis di republik ini, Jokowi tetap menjadi satu-satunya elit politik yang berani tampil merakyat dalam menjaga hubungan yang baik dengan rakyat.

Merakyat    

Blusukan atau yang lebih dikenal sebagai turun ke jalan guna mengetahui kondisi substansial yang sedang melanda rakyat tetap dilakukan Jokowi pada saat hari Idul Fitri 1434 H. Inilah yang menjadikan Jokowi semakin mendapat trade mark sebagai pemimpin yang merakyat. Bahkan ketika blusukan mulai marak diikuti oleh sebagian elit oligarkis, sebut saja seperti Presiden SBY, Hidayat Nur Wahid atau elit oligarkis lainnya publik tetap menilai blusukan yang dilakukan elit politik selain Jokowi sebagai kampanye terselubung dan mengekor. Publik pun tetap menilai blusukan merupakan inovasi dari Jokowi. 

Ditengah-tengah keinginan publik mendambakan pemimpin merakyat Jokowi mampu mewujudkan impian publik dengan gaya blusukannya. Tidak ayal lagi elektabilitas Jokowi semakin meroket meninggalkan figur-figur populer yang selama ini bergelimang popularitas.  Brand yang dimiliki oleh Jokowi akan semakin mengundang insentif elektoral bagi partai yang mengusung Jokowi. Walau saat ini semakin menggejalanya preferensi politik publik, tidak menutup kemungkinan PDI Perjuangan akan mendapatkan berkah yang luar biasa dari gaya blusukan Jokowi ini. Sehingga partai ini tidak perlu susah payah memoles Jokowi melalui pelatih penampilan (performance coach) seperti yang dilakukan oleh SBY ataupun menyewa lembaga survei guna mendongkrak popularitas Jokowi. Satu keunikan di mana elektabilitas Jokowi yang tinggi adalah output Jokowi konsisten sebagai pemimpin yang jujur, merakyat, dan visioner. Walhasil sebuah hasil riset lembaga survei partikelir seperti Insitute for Transformation Studies (Intrans) menilai sosok Jokowi telah mampu memenuhi beberapa kriteria pemimpin masa depan yang diminati publik, seperti merakyat, keberpihakan kepada rakyat, track record bersih, kewibawaan, kecepatan kerja, sikap aspiratif komunikatif, ketegasan citra dan keberanian sikap. 

Kebiasaan blusukan ke kampung-kampung pinggiran untuk kemudian berdialog langsung dengan rakyat kecil, tanpa ada jarak dan kekakuan protokoler membuat publik berharap pada sosok “ndeso” ini untuk dapat menuntaskan krisis kepemimpinan nasional. Blusukan memang sangat kontras dengan model pendekatan formalistis dan hierarkis khas pejabat publik dan umumnya. Preferensi politik publik dengan cepat terbentuk sebab saban hari Jokowi mampu menjadi antitesa dari apa yang membikin jengkel publik yakni tembok pemisah antara realitas kekuasaan dan realitas kehidupan warga. Belum lagi di tambah dengan karut marutnya pelembagaan partai politik dan menggejalanya oligarki dalam tubuh parpol semakin sulitnya publik menemukan pemimpin yang berkarakter, bersih, dan tentunya memiliki strong leadership seperti sosok Jokowi.

Epilog

Pelajaran yang dapat dipetik dari gaya blusukan Jokowi pada hari yang fitri ini adalah dimanapun berada dengan kondisi apapun seorang pemimpin haruslah mampu mengurangi celah perbedaan dengan rakyat. Jangan sampai pemimpin yang dipilih oleh rakyat selalu membatasi jarak dengan rakyat (baca: elitis). Publik merasa jengah dengan semakin banyaknya elit oligarkis yang lupa ingatan dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu dalam berbangsa dan bernegara, seperti terjebak dalam lingkaran predatory dengan merampok uang rakyat, gila kekuasaan, disintegritas, bahkan doyan wanita yang selama ini dikenal dengan gratifikasi sex. 

Akhirnya ditengah kejenuhan publik terhadap elit oligarkis yang elitis minus derepresentasi publik, Jokowi mampu menjadi harapan publik guna memperbaiki kondisi bangsa. Jadi menjadi wajar bila dibeberapa pemberitaan media sosok Jokowi selalu menjadi suguhan yang menarik. Di penjuru tanah air publik pun berharap sosok Jokowi akan memberikan berkah gaya kepemimpinan sejenis yang dapat mengerti persoalan rakyat. 

Di hari yang fitri ini gaya lebaran blusukan membuktikan bahwa masih ada pemimpin yang tetap setia dan konsisten menghilangkan jarak protokeler dengan rakyat. Hari kemenangan bagi umat muslim kali ini diharapkan akan menjadi lokus penting bagi sebagian elit oligarkis guna berintropeksi diri dalam memperbaiki kondisi bangsa serta menjauhi sifat suka menyakiti hati, menjaga jarak dan bersikap angkuh kepada (re) publik Indonesia. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar