Minggu, 25 Agustus 2013

Krisis dan Konservatisme Kebijakan

Krisis dan Konservatisme Kebijakan
Ahmad Erani Yustika ;     Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
JAWA POS, 24 Agustus 2013



Secara teoretis, krisis nilai tukar kali ini bersumber dari dua hal. Pertama, pembalikan arus modal keluar (capital outflow) saat perekonomian negara maju (seperti AS dan sebagian negara Eropa Barat) membaik. Di AS, misalnya, angka pengangguran terbuka sekarang sudah turun menjadi sekitar 7 persen setelah sebelumnya bertengger di kisaran 10 persen. Ditambah, arus modal ke dalam negeri berkurang karena pemerintah AS akan mengurangi secara bertahap kebijakan quantitative easing (QE), sehingga investasi langsung dan portofolio tertekan. 

Kedua, selama ini Bank Indonesia (BI) dan pemerintah dianggap menggunakan kebijakan moneter dan fiskal yang longgar. Yakni, BI rate yang cenderung turun (dan bertahan cukup lama) serta defisit fiskal yang terus meningkat. Implikasinya, BI rate yang rendah mendorong dana keluar dan defisit fiskal menambah utang (sebagian dalam bentuk dolar) yang keduanya memicu depresiasi rupiah. 

Fiskal dan Moneter 

Akumulasi dua sebab itulah yang secara mendasar mendorong penurunan nilai tukar. Pada sumber yang pertama, perekonomian nasional sangat bergantung dari luar negeri. Penanaman modal asing langsung (PMA) secara persisten menyumbang setidaknya 70 persen dari total investasi. Selain itu, SBI (Sertifikat Bank Indonesia) disokong sekitar 30 persen oleh asing, demikian pula dengan SUN (surat utang negara). 

Proporsi yang lebih besar terjadi di pasar saham. Yakni, sekitar 70 persen pemain dan volume transaksi dikuasai asing. Jadi, jika perekonomian nasional dalam beberapa tahun terakhir dianggap tumbuh sangat dinamis, sebetulnya sebagian (besar) didorong oleh kekuatan luar negeri. Saat ekonomi sedang stabil (ditambah fundamental ekonomi yang baik), situasi tersebut tidak terlalu menimbulkan persoalan. 

Bagaimana dengan kebijakan moneter dan fiskal? Pada era Darmin Nasution menjadi gubernur BI (2010-2013), kebijakan moneter dibuat longgar dengan menurunkan BI rate secara bertahap. Darmin bukanlah pemeluk aliran monetaris, sehingga kebijakannya lumayan memihak sektor riil. Dengan BI rate yang rendah, kredit dapat direlaksasi agar investasi meningkat. Kebijakan tersebut juga ditopang inflasi yang cukup rendah dalam tiga tahun terakhir (setelah sempat meningkat pada 2008 lantaran kenaikan harga BBM dan pangan). 

Hasilnya, saat Darmin meninggalkan pos gubernur BI, BI rate berada dalam posisi yang cukup rendah (5,75 persen). Itu merupakan rekor BI rate terendah selama ini. Tentu saja kebijakan tersebut juga berbiaya jika tidak dikelola dengan hati-hati. Arus modal yang deras masuk karena prospek investasi yang bagus telah menimbun dana asing dalam jumlah besar yang sewaktu-waktu bisa dibawa ke luar. Realitasnya, itulah yang sekarang terjadi. 

Berikutnya, di sisi fiskal, akumulasi utang yang sangat besar untuk membiayai anggaran defisit mengancam keseimbangan primer (penerimaan dikurangi belanja, di luar pembayaran utang). Sejak 2011, keseimbangan primer APBN telah defisit dan itu menjadi sinyal betapa tidak sehatnya anggaran pemerintah. Pemerintah selalu menggunakan rasio utang terhadap PDB (dan defisit fiskal terhadap PDB) untuk meyakinkan bahwa APBN masih sehat. 

Tentu saja data tersebut boleh dipakai pemerintah. Namun, indikator lain tidak boleh diabaikan agar situasi yang sebenarnya terjadi bisa dilihat secara utuh. Yang lebih memprihatinkan, kemampuan bayar utang pemerintah makin lemah karena debt service ratio (DSR) membengkak menjadi 4,4 persen pada triwulan II 2013. 

Lalu Lintas Modal 

Di luar aspek teoretis tersebut, apa yang sebetulnya terjadi di pasar? Karakteristik pasar di sektor keuangan di Indonesia dicirikan oleh banyaknya pelaku yang tidak berorientasi investasi (dalam jangka panjang), tapi para spekulan yang ingin meraih laba dalam jangka pendek. Itu terjadi pada hampir semua instrumen di sektor keuangan, baik di deposito bank, pasar saham, SUN, SBI, maupun lainnya. 

Celakanya, sebagian pelaku itu adalah asing yang dengan mudah mengonversi investasi jangka pendeknya tersebut ke dolar dan dibawa kabur ke negara asalnya. Dalam siuasi inilah perilaku kawanan (herd behaviour) muncul: Satu pelaku yang panik dan mengampayekan kerentanan ekonomi dengan cepat diikuti pelaku lainnya. 

Bagaimana efektivitas paket ekonomi pemerintah yang baru dikeluarkan tersebut? Di antara empat pokok paket itu, hanya satu yang memiliki dimensi jangka pendek. Yaitu, pengenaan pajak impor barang-barang mewah. Kebijakan tersebut secara kuantitatif tidak banyak membantu, namun memberikan sinyal yang cukup baik. Selebihnya, pemerintah mengadopsi paket kebijakan yang memiliki dimensi jangka menengah. Misalnya, mendorong ekspor, menjaga daya beli, dan mempercepat investasi. 

Untuk persoalan investasi, paketnya bahkan sudah dikeluarkan sejak Boediono menjabat menteri koordinator perekonomian, yang sampai saat ini sangat lambat dijalankan. Saat ini, yang dibutuhkan dalam jangka pendek adalah merevisi APBNP 2013 agar defisitnya di bawah 2 persen dan pembatasan lalu lintas modal (termasuk repatriasi PMA).

Mendorong ekspor dan daya beli tidak mudah dikerjakan jika pasar internasional masih berawan dan inflasi tidak dikendalikan pemerintah. Sekali lagi, pemerintah cuma bermain pada kebijakan konservatif saat persoalan sudah lumayan gawat.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar