|
Belum seminggu Lebaran habis, sementara masih banyak orang
Islam yang masih melaksanakan puasa Syawal, Indonesia dikejutkan dengan
tertangkap tangannya pejabat penting di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Dia diduga telah melakukan tindakan korupsi sekitar setara dengan maling 200.000 ayam siap potong. Kejadian demikian tidaklah terlalu mengherankan, mengingat sejak KPK terbentuk, secara kuantitatif peringkat indeks korupsi Indonesia bahkan hampir tidak memperlihatkan perbaikan. Masih tetap saja berada pada peringkat yang memalukan dan memilukan.
Memalukan bukan berarti KPK tidak berjalan, melainkan sepertinya KPK berjalan sendirian. Institusi pengawasan negara seperti inspektorat, BPKP, dan BPK sesuai “tupoksi” belum berdaya menghadapi “rhampan” besarnya korupsi yang ada di Indonesia. Pilunya, kenyataan korupsi itu memang menyayat hati orang yang masih punya nurani dalam perjuangannya mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa. Masih banyak orang yang berhati nurani demikian.
Mereka merasa pilu, sementara para koruptor seolah-olah tidak merasa bersalah, “cekakak-cekikikan, lucu-lucuan” bercengkerama di dalam jeruji besi sana, seolaholah mereka merasionalkan tindakan bejat yang sudah dilakukan. Para koruptor bahkan merasa tanpa berdosa, baik yang sudah tertangkap atau yang masih berkeliaran.
Struktur Korupsi Segi Empat
Dalam teori ekonomi antikorupsi yang penulis ajarkan selama delapan tahun terakhir untuk mahasiswa ilmu ekonomi, ada tiga bentuk korupsi yang berkembang. Pertama, model segi tiga yang pucuknya mengecil menandakan korupsi tersebut lebih banyak terjadi pada manajemen menengah ke bawah. Kedua,segi tiga terbalik, di mana korupsi yang terjadi pada kelompok top manajemen.
Sedangkan model ketiga adalah korupsi model balok. Hampir sama saja jenis korupsi apakah terjadi pada top manajemen, menegah, atau level bawah. Dengan terkuaknya dugaan kasus korupsi baru-baru ini, dapat dipastikan model yang di Indonesia adalah lengkap sudah. Korupsi berbentuk balok. Ditemukan kasus di mana korupsi dari berbagai level pelayanan publik. KPK kelihatan tidak memadai dalam mengatasi masalah korupsi, baik mencegah terjadi proses korupsi atau menangkap para pelaku korupsi.
Mengingat begitu besarnya bobot masalah dan potensi korupsi yang muncul. KPK telah berhasil tentunya dalam memilih mana yang dianggap strategis untuk meredam percepatan korupsi terjadi di Indonesia. Jika dikatakan bahwa korupsi lebih berbahaya dari penyakit HIV, ada benarnya juga. HIV hanya satu yang merasakan sakit. Sementara korupsi tentunya selain keluarga, alumni, orang kampung, teman akrab, dan banyak yang merasakan dampak dari tindakan korupsi ini.
Korupsi meningkatkan biaya produksi dan melemahkan daya saing produk. Struktur korupsi yang kurang terjamah ketika proses pengawasan diserahkan pada instansi dalam yang khusus ditugaskan untuk mencegah dan mengatasi persoalan korupsi. Katakan peranan di inspektorat pemerintahan daerah, ketika badan ini dibentuk sebagai pengawas, bisa berubah bentuk sebagai pelanggeng proses korupsi di tubuh pemerintahan daerah.
Ketika korupsi terjadi di tubuh kepolisian misalnya para sopir truk mengklaim hampir tidak terjadi korupsi di jalan raya di Sumatra Barat, sementara di Sumatra Utara untuk titik tertentu korupsi jalan raya sudah biasa terjadi. Belum lagi upeti kepala dinas kepada atasannya yang nilainya kalau dibongkar sebenarnya akan ketahuan bahwa korupsi pada level menengah dan rendah adalah besar dan masif.
Model “Getah Cempedak”
Secara ekonomi sogok (bribes) itu untuk mengurangi biaya bagi pelaku usaha sehingga menekan biaya dan cenderung monopoli. Maka itu, model kickbacking adalah yang paling sering muncul. Di mana upeti diberikan oleh pengusaha ketika proyek dimenangkan dan diselesaikan dan koruptor ini menerima X% dari nilai kontrak yang tersedia. X adalah jumlah yang tidak pasti. Upeti demi upeti dengan sistem kickbacking ini sama persis ketika kita ingin menangkap hewan kecil dengan getah cempedak.
Getahnya telah melekat kaki atau badan hewan sehingga hewan tidak lagi mudah bergerak. Model demikian membuat proses pengadaan barang, tender mengarah, mark up, dan langganan proyek merupakan proses di mana korupsi semakin subur dari tahun ke tahun. Model getah cempedak ini godaan yang sangat mudah meruntuhkan kredibilitas dan disiplin seseorang terhadap amanah dan sumpahnya.
Wanita, harta, uang, bahkan tiket untuk tamasya dan umrah sekalipun adalah model-model getah cempedak yang diberikan pelaku usaha dalam mendapatkan eksistensi masuk ke proses bisnis dengan proyek pemerintahan. Karena proses getah cempedak ini sangat mudah dilakukan, beberapa hal perlu dijadikan langkah penting ke depan.
Pertama, penguatan eksistensi organisasi KPK, tentu tidak cukup sebesar yang ada saat ini. Perwakilan-perwakilan sekelas kerja KPK ini masih dipercaya jauh lebih baik di daerah-daerah ketimbang model pengawasan internal seperti keberadaan inspektorat lokal yang masih diragukan keberaniannya dalam mengungkap indikasi korupsi di internal organisasi pemerintahan.
Kedua,pengawasan internal tampaknya dapat dimodifikasi sehingga seluruh titik rawan kejadian di mana korupsi muncul dapat segera terdeteksi. Pengawasan dari hulu sampai hilir senantiasa dapat mengurangi kemelencengan dari proses pelayanan pemerintah. Ketiga, selain pengawasan, akan lebih jelas efek jera bilamana hukuman koruptor diperberat. Sekiranya dugaan terbukti di mana Rudi Rubiandini memang menerima “getah cempedak”, hukuman yang diberikan tentunya tidak lagi singkat, kalau boleh seumur hidup.
Apalagi dia telah mencemarkan almamaternya, mencemarkan dosen teladannya, serta mencemarkan gelar yang dipikulnya. ●
Dia diduga telah melakukan tindakan korupsi sekitar setara dengan maling 200.000 ayam siap potong. Kejadian demikian tidaklah terlalu mengherankan, mengingat sejak KPK terbentuk, secara kuantitatif peringkat indeks korupsi Indonesia bahkan hampir tidak memperlihatkan perbaikan. Masih tetap saja berada pada peringkat yang memalukan dan memilukan.
Memalukan bukan berarti KPK tidak berjalan, melainkan sepertinya KPK berjalan sendirian. Institusi pengawasan negara seperti inspektorat, BPKP, dan BPK sesuai “tupoksi” belum berdaya menghadapi “rhampan” besarnya korupsi yang ada di Indonesia. Pilunya, kenyataan korupsi itu memang menyayat hati orang yang masih punya nurani dalam perjuangannya mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa. Masih banyak orang yang berhati nurani demikian.
Mereka merasa pilu, sementara para koruptor seolah-olah tidak merasa bersalah, “cekakak-cekikikan, lucu-lucuan” bercengkerama di dalam jeruji besi sana, seolaholah mereka merasionalkan tindakan bejat yang sudah dilakukan. Para koruptor bahkan merasa tanpa berdosa, baik yang sudah tertangkap atau yang masih berkeliaran.
Struktur Korupsi Segi Empat
Dalam teori ekonomi antikorupsi yang penulis ajarkan selama delapan tahun terakhir untuk mahasiswa ilmu ekonomi, ada tiga bentuk korupsi yang berkembang. Pertama, model segi tiga yang pucuknya mengecil menandakan korupsi tersebut lebih banyak terjadi pada manajemen menengah ke bawah. Kedua,segi tiga terbalik, di mana korupsi yang terjadi pada kelompok top manajemen.
Sedangkan model ketiga adalah korupsi model balok. Hampir sama saja jenis korupsi apakah terjadi pada top manajemen, menegah, atau level bawah. Dengan terkuaknya dugaan kasus korupsi baru-baru ini, dapat dipastikan model yang di Indonesia adalah lengkap sudah. Korupsi berbentuk balok. Ditemukan kasus di mana korupsi dari berbagai level pelayanan publik. KPK kelihatan tidak memadai dalam mengatasi masalah korupsi, baik mencegah terjadi proses korupsi atau menangkap para pelaku korupsi.
Mengingat begitu besarnya bobot masalah dan potensi korupsi yang muncul. KPK telah berhasil tentunya dalam memilih mana yang dianggap strategis untuk meredam percepatan korupsi terjadi di Indonesia. Jika dikatakan bahwa korupsi lebih berbahaya dari penyakit HIV, ada benarnya juga. HIV hanya satu yang merasakan sakit. Sementara korupsi tentunya selain keluarga, alumni, orang kampung, teman akrab, dan banyak yang merasakan dampak dari tindakan korupsi ini.
Korupsi meningkatkan biaya produksi dan melemahkan daya saing produk. Struktur korupsi yang kurang terjamah ketika proses pengawasan diserahkan pada instansi dalam yang khusus ditugaskan untuk mencegah dan mengatasi persoalan korupsi. Katakan peranan di inspektorat pemerintahan daerah, ketika badan ini dibentuk sebagai pengawas, bisa berubah bentuk sebagai pelanggeng proses korupsi di tubuh pemerintahan daerah.
Ketika korupsi terjadi di tubuh kepolisian misalnya para sopir truk mengklaim hampir tidak terjadi korupsi di jalan raya di Sumatra Barat, sementara di Sumatra Utara untuk titik tertentu korupsi jalan raya sudah biasa terjadi. Belum lagi upeti kepala dinas kepada atasannya yang nilainya kalau dibongkar sebenarnya akan ketahuan bahwa korupsi pada level menengah dan rendah adalah besar dan masif.
Model “Getah Cempedak”
Secara ekonomi sogok (bribes) itu untuk mengurangi biaya bagi pelaku usaha sehingga menekan biaya dan cenderung monopoli. Maka itu, model kickbacking adalah yang paling sering muncul. Di mana upeti diberikan oleh pengusaha ketika proyek dimenangkan dan diselesaikan dan koruptor ini menerima X% dari nilai kontrak yang tersedia. X adalah jumlah yang tidak pasti. Upeti demi upeti dengan sistem kickbacking ini sama persis ketika kita ingin menangkap hewan kecil dengan getah cempedak.
Getahnya telah melekat kaki atau badan hewan sehingga hewan tidak lagi mudah bergerak. Model demikian membuat proses pengadaan barang, tender mengarah, mark up, dan langganan proyek merupakan proses di mana korupsi semakin subur dari tahun ke tahun. Model getah cempedak ini godaan yang sangat mudah meruntuhkan kredibilitas dan disiplin seseorang terhadap amanah dan sumpahnya.
Wanita, harta, uang, bahkan tiket untuk tamasya dan umrah sekalipun adalah model-model getah cempedak yang diberikan pelaku usaha dalam mendapatkan eksistensi masuk ke proses bisnis dengan proyek pemerintahan. Karena proses getah cempedak ini sangat mudah dilakukan, beberapa hal perlu dijadikan langkah penting ke depan.
Pertama, penguatan eksistensi organisasi KPK, tentu tidak cukup sebesar yang ada saat ini. Perwakilan-perwakilan sekelas kerja KPK ini masih dipercaya jauh lebih baik di daerah-daerah ketimbang model pengawasan internal seperti keberadaan inspektorat lokal yang masih diragukan keberaniannya dalam mengungkap indikasi korupsi di internal organisasi pemerintahan.
Kedua,pengawasan internal tampaknya dapat dimodifikasi sehingga seluruh titik rawan kejadian di mana korupsi muncul dapat segera terdeteksi. Pengawasan dari hulu sampai hilir senantiasa dapat mengurangi kemelencengan dari proses pelayanan pemerintah. Ketiga, selain pengawasan, akan lebih jelas efek jera bilamana hukuman koruptor diperberat. Sekiranya dugaan terbukti di mana Rudi Rubiandini memang menerima “getah cempedak”, hukuman yang diberikan tentunya tidak lagi singkat, kalau boleh seumur hidup.
Apalagi dia telah mencemarkan almamaternya, mencemarkan dosen teladannya, serta mencemarkan gelar yang dipikulnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar