|
Bulan Ramadhan yang baru kita lalui
telah menempa kedirian kita dalam meraih pencerahan spiritual.
Apabila kita membaca sejarah, di
bulan Ramadhan, banyak ulama yang mendapatkan pengalaman pencerahan (futuhat). Ibnu Arabi meraih makrifat di
bulan Ramadhan. Al-Ghazali melakukan penyepian (khalwat) selama tiga bulan: Rajab, Syakban, dan puncaknya Ramadhan.
Sayangnya, Ramadhan tahun ini ”ternoda” tindakan kekerasan membabi buta. Kita
saksikan peledakan bom di Wihara Ekayana, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Aksi
penembakan sadis terhadap anggota polisi terjadi sebanyak dua kali di Jakarta.
Juga, kasus penembakan pegawai LP Wirogunan, Yogyakarta.
Berbagai sinyalemen bermunculan
tentang motif di balik tindak kekerasan itu, mulai dari motif pribadi, motif
bernuansa politik, balas dendam, hingga tindakan terencana kelompok teroris.
Kita perlu menyadari di negeri kita hingga kini masih bercokol kelompok teroris
yang setiap saat melakukan aksinya. Mereka masih bergentayangan membuat
ketakutan publik. Dari banyak aksi teroris yang terjadi belakangan ini terlihat
sasaran diarahkan ke aparat kepolisian.
Sejarah kekerasan
Tujuan aksi teror memang
menciptakan ketakutan publik dan kecemasan yang meluas. Karena itu, masyarakat
tak perlu tercekat oleh ketakutan berlebihan. Jika masyarakat menjadi takut,
itu berarti tujuan teror berhasil. Terorisme sudah berusia renta. Berabad-abad
dunia tak pernah sepi dari aksi yang dilakukan kelompok radikal-ekstrem.
Motivasi yang melandasinya campur aduk: politik, sosial, hingga keagamaan.
Keresahan sekelompok orang yang semakin menggumpal kemudian meledak dan
terjadilah aksi brutal.
Maka, banyak yang memandang, ada
satu hal yang bisa dimanunggalkan sebagai motif terorisme, yaitu ketidakadilan.
Ini dapat diungkap dari sejarah kata teror sendiri.
Kata teror faktanya baru masuk dalam kosakata politik pada masa
revolusi Perancis. Selanjutnya, di abad ke-19 hingga abad ke-20, istilah
terorisme menjadi taktik perjuangan revolusi. Dari sinilah, banyak yang
memahami pada awalnya terorisme lahir akibat kekisruhan politik yang
konotasinya tak lepas dari hilangnya keadilan.
Namun, bukankah ketidakadilan itu
akan selalu muncul dalam setiap peradaban yang terbangun? Atau bisakah dunia
ini adil, sekalipun dengan berlakunya hukum ”langit”? Ini sebuah kepenasaran
filosofis. Secara awam, sering kali muncul celotehan, di dunia ini tak akan ada
keadilan. Sepertinya inilah utopia yang terus-menerus digemakan atau bahkan
sengaja dijadikan sebagai ”asupan demagogi” agar massa menjadi ”tenang” atau
”berkobar” dalam menanti datangnya keadilan yang diimpikan.
Apakah bangkitnya terorisme semata-mata
akibat adanya ketidakadilan? Inilah yang perlu dipertanyakan ulang. Memang ada
dorongan ketidakadilan yang berakibat pada tindakan teror. Sayyid Quthub, yang
dikenal sebagai tokoh penggerak radikalisme di Mesir, dulunya seorang yang
flamboyan dan pernah kuliah di Amerika. Setelah kekalahan perang bangsa Arab
dari Israel, tiba-tiba bergolak pikirannya dan ia kemudian memilih jalan
radikal. Sikap radikalisme Quthub ini makin kalap dengan pencarian legitimasi
dari penafsiran literalismenya terhadap teks-teks Al Quran. Ayat-ayat Al Quran
dijadikan sebagai hujjahuntuk membenarkan pemikiran dan tindakan
radikalnya. Hingga, oleh banyak ulama Mesir seperti Dr Ali Syu’aibi, Quthub
dianggap sebagai biang pengafiran, pertumpahan darah, dan terorisme.
Di sini terpampang bahwa tindakan
terorisme sangat berdekatan dengan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan.
Artinya, tindakan terorisme tak selalu identik dengan adanya ketidakadilan.
Dalam sejarah Islam, munculnya aliran-aliran (firqah) selalu berkait keragaman dalam menafsir sumber-sumber
primer dalam Islam, yaitu Al Quran dan Hadis. Kekalapan dalam menafsir teks
keislaman berakibat pada sikap radikal. Misalnya, munculnya kelompok Khawarij
yang dipandang sebagai awal kemunculan radikalisme Islam, juga akibat dari
penafsiran yang terlalu kaku terhadap teks keislaman.
Penafsiran yang sedemikian
literalis-puritan ini berujung pada tindakan pembunuhan terhadap Ali bin Abi
Thalib. Mereka menganggap Ali telah salah dalam mengambil keputusan untuk
berdamai dengan Muawiyah. Keputusan Ali divonis tak berdasar pada Al Quran.
Bagi mereka, la hukma illa lillah, tidak ada hukum kecuali dari Allah.
Model penafsiran inilah yang mendorong mereka melakukan tindakan sadis dengan
membunuh Ali. Pelaku terorisme bisa dipastikan puritan dalam derajat yang
sangat radikal, meski tak berarti puritan pasti teroris. Sosok Quthub dapat
diposisikan sebagai sosok puritan radikal. Sejarah kemudian mencatat,
kemunculan Wahabi makin mendekatkan paham puritan sebagai ”benih” radikalisme
dan terorisme.
Dr Ali Jumah, mufti Mesir
menganggap Salafi Wahabi sebagai gerakan militan dan teror. Puritanisme selalu
bersifat arogan dan menganggap dirinya paling benar sehingga mudah menyesatkan
kelompok lain. Dan ini bisa menimbulkan efek radikal. Ali Jumah sendiri pernah
berhadapan dengan tokoh Wahabi Mesir, yaitu Abu Ishaq al-Huwaini, yang sering
mencaci maki dan menyesatkan dirinya.
Gagalnya kekerasan
Sejarah perkembangan Islam di
Nusantara menunjukkan keberhasilan dakwah tergantung pada cara yang digunakan.
Pendekatan konfrontatif yang mengedepankan kekerasan terbukti gagal dan justru
membuahkan penolakan. Islam di Indonesia memang pernah disampaikan dengan cara
keras, seperti yang dilakukan ulama Syekh Subakir. Dengan pasukan 400 orang, ia
menyerang Ki Darmawangsa di Dhoho, Kediri, yakni pedepokan Hindu. Akibat
penyerangan ini, Ki Darmawangsa terpaksa memanggil bantuan dari Prabu
Airlangga. Syekh Subakir dan pengikutnya dapat ditumpas pasukan Airlangga.
Kurun berikutnya datang lima ulama,
di antaranya Syekh Ibrahim as-Samarkandi dan Syekh Jumadil Kubra. Mereka
mendekati para petani miskin dan mengajak bersama-sama menyerbu Majapahit.
Usaha ini pun berakhir dengan kekalahan.
Ratusan tahun Islam datang ke
Indonesia tak pernah maju. Islam bisa maju ternyata hanya perlu 50 tahun, yaitu
di masa Wali Songo. Kejayaan ini diraih para wali karena kecerdikan dan
kebijaksanaan mereka dalam hal strategi berdakwah. Melalui jalur kebudayaan dan
jaringan perkawinan, Wali Songo sukses merebut hati penduduk pribumi secara
masif hanya dalam kurun separuh abad. Ini bukti kita harus terus mengobarkan
sikap dan tindakan kedamaian dan kesantunan demi melawan kekerasan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar