|
Anak muda dua puluh tahunan itu
sedang protes, menentang orang-orang tua yang dihargai dan dipanuti, karena
mereka semua tetua adat suku Daya, Kalimantan Barat. Dalam skenario film
dokumenter tersebut, sang anak muda menentang tetuanya yang coba mempertahankan
tanah ulayat dari serbuan kapitalis.
Kita
membutuhkan mereka, karena kami butuh jalan bagus, butuh rumah, sekolah, dan
penghasilan untuk bertahan hidup,” begitu retorika sang anak muda. Para tetua
hanya diam, mulut menggaris keras dan rapat, sekeras adat yang ribuan tahun
mereka pelihara dan memelihara mereka.
Cerita semacam
itu bisa dibilang klasik dalam sejarah suku-suku bangsa di negeri ini. Terus
berlangsung sejak masa kolonial, kemerdekaan, hingga hari ini. Dalam konflik─
yang dapat dikatakan—internal itu—ada pihak eksternal yang ikut ”bermain”:
negara, cqpemerintah. Inilah pihak yang seharusnya memiliki obligasi
tertinggi untuk memahami, menyediakan sekian regulasi yang melindungi, tetapi
malah ikut bersengketa.
Bila kemudian
timbul keresahan dan kedukaan, tidakkah hasil yang menyedihkan itu indikasi
bagi tidak terselenggaranya kerja dan tugas pemerintah? Begitu kacau dan karut-
marutkah kerja pemerintah hingga banyak masalah menyeruak?
Bukankah
indikasi serupa kita dapatkan ketika orang mudik Lebaran dengan sekian
kesulitan di perjalanan? Lihatlah jalan-jalan utama di pantai utara Jawa dan
selatan yang ”wajib” rusak dan diperbaiki setiap tahunnya. Begitu pun lalu
lintas yang kian kacau di hampir semua kota besar, kriminalitas yang meningkat,
pasar-pasar yang tak kunjung tertata baik, korupsi, dan harga pangan yang
melambung.
Apa yang dapat
dibaca, kecuali indikasi yang sama, ketika seorang Presiden marah kepada para
pembantunya karena harga cabai dan daging meroket? Ketika seorang Presiden
mengetahui terjadinya bencana bukan dari pejabat teknis bawahannya, tetapi
justru dari media? Berjalankah sistem di negeri ini?
Data dan fakta
Negeri kita
kini, dengan pendapatan 3.000 dollar AS per kapita, jauh lebih tinggi dari
600-1.000 dollar AS pada era Orde Baru. Maka dengan logika sederhana, ada
peningkatan minimal tiga kali lipatnya. Namun, kenyataannya justru kesenjangan
ekonomi meninggi, yang ditunjukkan oleh koefisien Gini. Uang yang dihasilkan
segenap keringat rakyat itu ternyata dinikmati hanya oleh 2 persen elite orang
kaya. Selebihnya sama, bahkan lebih miskin daripada sebelumnya.
Lalu untuk apa
setiap tahun rakyat menyerahkan uangnya hingga Rp 1.800 triliun sebagai modal
eksekutif menyelenggarakan negara, kalau kenyataannya gagal memenuhi ekspektasi
pemilik saham sebenarnya (rakyat)? Jika negeri ini sebuah perusahaan, eksekutif
itu pasti dipecat. Inilah kenyataan miris APBN kita.
Modal sebesar
itu harus dipotong setengahnya untuk overhead yang meningkat drastis
dengan tumbuhnya institusi-institusi baru negara dan wilayah-wilayah
administratif baru. Dari sisanya, separuh yang menjadi program di semua lembaga
negara ternyata harus dipotong lagi 35-50 persen, untuk sedikit pajak dan
kongkalikong manipulasi-korupsi di internal birokrasi bersama rekanan usahanya
dalam proses tender.
Ini rahasia
yang sesungguhnya bukan rahasia, karena semua pihak terlibat, termasuk para
pejabat publik yang tutup mata seraya mengembangkan telapak tangan untuk
menerima jatahnya. Dari sisa anggaran program yang hanya 50-60 persen, masih
harus dipotong lagi untuk keuntungan pengusaha pemenang tender dan penyusutan
nilai barang yang dikorupsi.
Maka dana yang
bisa digunakan untuk mengerjakan program dan menjalankan pembangunan tinggal
30-40 persen. Artinya, hanya sekitar Rp 700 triliun dari Rp 1.800 triliun
keringat rakyat yang kembali untuk kesejahteraan masyarakat. Itu pun harus
diuji lagi kualitas fasilitas yang dihasilkan.
Akhirnya,
dengan modal kerja terbatas, kualitas pemenang tender rendah, dan laporan hasil
kerja yang berfokus hanya pada keuangan dan bukti fisik-administratif, setiap
dana APBN yang dikucurkan merosot nilainya tinggal 20 persen saja sampai ke
publik. Ini sangat mengenaskan, karut-marut, dan menyedihkan.
Bila
karut-marut manajemen pemerintahan yang akut itu diperbaiki, sesungguhnya kita
bisa melipatduakan angka pertumbuhan di atas, lebih dari bangsa mana pun. Tentu
saja, kerja-kerja immaterial yang lunak harus lebih banyak
ditunaikan. Mulai dari dilaksanakannya tertib regulasi/konstitusi, disiplin dan
etika kerja, hingga perangkat-perangkat lunak yang menjadi dasar sistemik dari
kerja pemerintah.
Diterima saja
Saat ini,
semua mengamini situasi ini sebagai satu hal yang given: sebuah sistem
dasar (cara kita hidup, bernegara, berekonomi, berhukum, dan berpolitik) yang
justru meringkus hidup kita dalam pragmatisme hiper, di mana perjuangan dan
ekspresi manusia hanya didedikasikan pada melulu pencapaian material yang
berdimensi praktis.
Tak ada
pengendapan, kontemplasi, apalagi transendensi yang menempatkan kerja
(kebudayaan) kita dalam jangkauan ruang dan waktu yang lebih lapang. Hilanglah
visi. Miskinlah kita akan pemimpin juga calon-calonnya yang visioner.
Kasus anak
muda suku Daya yang berhadapan dengan para tetuanya, adalah gambaran dua pihak
yang hidup dalam batas ruang dan waktu berbeda. Yang satu praktis dan pragmatis
(hidup untuk hari ini), dan yang satu lagi visioner dan futuristik (hidup untuk
menghidupi generasi nanti).
Bayangkanlah
bila sebuah negara atau bangsa dikelola dengan pemahaman ontologis-kosmis
sebagaimana anak muda di atas. Enam puluh delapan tahun umur republik kita,
ternyata kita masih saja memfoya-foyakan waktu, energi, dan sumber daya, tanpa
ingat anak dan cucu kita ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar