Jumat, 02 Agustus 2013

Etalase Citra Demokrat

Etalase Citra Demokrat
Gun Gun Heryanto  ;   Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
          KORAN SINDO, 02 Agustus 2013


Mesin pemenangan Pemilu 2014 sudah dipanaskan Partai Demokrat. Program prestisius bernama konvensi sudah diluncurkan secara resmi oleh SBY bertepatan dengan sosialisasi tujuh aturan pokok konvensi, Minggu (7/7). 

Manuver Demokrat di bawah SBY ini patut diapresiasi sekaligus dikritisi terutama dalam konteks keseriusan penyelenggaraannya. Benarkah Demokrat menjadikan konvensi ini sebagai mekanisme pelembagaan politik ataukah hanya sekedar simulasi realitas guna mendongkrak elektabilitas? 

Membaca Konteks 

Tak salah jika banyak pihak ragu dan curiga dengan penyelenggaraan konvensi Demokrat. Bagaimanapun tindakan politik selalu ditafsirkan berdasarkan konteks dinamisnya. Paling tidak, ada dua konteks yang secara mudah dilihat dan dilekatkan publik pada persepsi mereka saat membaca manuver konvensi ini. 

Pertama, konvensi Demokrat muncul bukan dalam kealamiahan pelembagaan politik di internal partai. Penandanya adalah konvensi ini tidak sedari awal dirumuskan sebagai mekanisme demokratisasi internal partai. Jika konvensi ini diletakkan sebagai kanalisasi sumber daya, sudah pasti di Kongres Bandung pada tahun 2010 atau minimal di Kongres Luar Biasa (KLB) Bali pada Maret 2013 akan menjadi salah satu “menu” bahasan penting secara organisasional. 

Dengan demikian, konvensi baru diposisikan sebagai jalan keluar (exit strategy) dari keterpurukan elektabilitas partai bentukan SBY ini. Di level ini, penyelenggaraan konvensi Demokrat memiliki kesamaan latar belakang dengan konvensi Golkar di 2004. Kedua, terjadinya krisis figur kuat Demokrat setelah era SBY. Pemilu 2004 dan 2009 menjadi era keemasanDemokrat karena partai ini memiliki “magnet” figur siap jual dipasar pemilih yakni SBY. 

Kini belum ada sosok mumpuni untuk menjadi “petarung” Demokrat di Pilpres 2014. Krisis figur ini diperparah dengan hubungan antagonistis kubu Cikeas dengan kubu Anas beberapa waktu lalu. Sehingga dirumuskan “skenario” cerita berbeda dalam permainan peran mereka untuk Pemilu 2014. Konvensi bisa kita maknai sebagai salah satu stok cerita dari drama panjang Demokrat jelang perhelatan pemilu lima tahunan. 

Keuntungan Politik 

Terlepas dari skeptisme kita pada konvensi gaya Demokrat, sesungguhnya kemauan partai menggunakan konvensi untuk mencari figur capres patut kita hargai. Konvensi penting untuk dilembagakan di tubuh partai politik di Indonesia agar mekanisme pencapresan tidak berlangsung oligarkis dan feodal. Dalam tradisi politik kita, siapa pun yang menjadi ketua umum partai seolah punya “hak khusus” untuk melenggang menjadi capres. 

Padahal idealnya, ketua umum dan sekjen partai seharusnya menjadi orang-orang yang fokus mengurusi partai dan tak tergoda untuk menggandakan loyalitasnya pada dua atau lebih jabatan lain. Dari sudut pendekatan public relations politik dan publisitas politik penyelenggara konvensi akan menuai keuntungan politik. 

Kita bisa menengok pengalaman sebelumnya saat Golkar menyelenggarakan konvensi di 2004. Sejumlah nama populer masuk mendaftarkan diri antara lain Nurcholish Madjid, Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo Subianto, Surya Paloh, Hamengkubuwono X dan Agum Gumelar. Di penghujung cerita tepatnya Rabu 21 April 2004 Wiranto keluar sebagai pemenang mengalahkan Akbar Tanjung. 

Meskipun Wiranto sendiri kalah saat pemilu presiden lawan SBY, tapi yang pasti, Golkar mengantongi kemenangan pemilu legislatif dengan perolehan suara 21,58 persen. Salah satu penyumbang citra positif Golkar saat itu tentunya adalah konvensi. Memang tak sedikit yang mengkritik model konvensi Golkar sebagai konvensi yang rawan terjadinya praktik money politic. 

Sekali lagi, terlepas dari plus minusnya penyelenggaraan konvensi tersebut, fakta politiknya konvensi turut member insentif elektoral terutama bagi partai penyelenggaranya Secara normatif, konvensi menguntungkan dalam tiga hal. Pertama, partai penyelenggara konvensi memiliki momentum membangun relasi politik dengan publik. Fokus pendekatan ini pada proses identifikasi, pencarian dan pengaturan hubungan dengan tokoh-tokoh kunci (key persons) dan bisa membentuk citra kekinian yang positif. Caranya, partai menyerap energi kreatif dari sejumlah figur yang dikenal publik dan memiliki reputasi untuk memperbaiki persepsi pemilih dari antipati ke netral ke positif. Oleh karena itu, konvensi mensyaratkan sejumlah figur yang terlibat sebagai kandidat adalah orang-orang yang punya kapasitas, profesionalitas, dan modal sosial berbentuk trust.
Kedua, penyelenggara punya kesempatan mempraktikkan pendekatan grunigian. Inti pendekatan ini, partai bisa menciptakan pemahaman bersama (mutual understanding) antara organisasi dengan publik internal dan eksternalnya.  Ke dalam, konvensi berpeluang menciptakan kohesivitas, ke luar bisa menjadi jembatan untuk membangun good will dan understanding. Menurut Grunig dan Hunt dalam bukunya Managing Public Relations (1984), tindakan pokoknya adalah bagaimana mengembangkan mutual benefit (keuntungan bersama). Tentu konvensi akan “dijual” citranya sebagai terobosan penting dalam konteks pelembagaan politik partai di Indonesia.

Ketiga, menjadi momentum hype politik. Pendekatan ini biasanya dengan mudah bisa memanfaatkan publisitas di media massa. Sebagai contoh konvensi Demokrat yang secara praktis akan digelar selama delapan bulan, yakni dari September 2013 hingga April 2014. Selama rentang waktu tersebut, Demokrat bisa melakukan free ride publicity melalui isu konvensi. Akan muncul “panggung” bagi Demokrat melalui reportase dan sejumlah talkshow di berbagai media. Ini menjadi sangat berarti dalam pengelolaan opini publik. 

Merujuk pada pendapat Alexis S Tan, dalam Mass Communication Theories and Research (1991), bahwa meningkatnya nilai penting suatu topik pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting topik tersebut pada khalayak. Dua tahapan konvensi Demokrat September– Desember 2013 serta Januari– April 2014 bisa dikapitalisasi sebagai momentum politik Demokrat. 

Catatan Kritis 

Ketiga keuntungan tadi sesungguhnya baru menjadi potensi keuntungan bagi pihak Demokrat. Dalam bahasa lain, konvensi menjadi instrumen manajemen reputasi politik. Lantas publik dapat apa? Di situlah letak kritisisme yang harus dibangun oleh masyarakat. Kita jangan terkecoholeh kemasan wah bernama konvensi Demokrat! Terlebih model konvensi yang digunakan Demokrat adalah mirip-mirip reality show. 

Seluruh peserta konvensi akan bersama-sama dipajang di etalase bernama konvensi. Publik bisa melihat dan berpartisipasi melalui sejumlah suara yang disurvei. Dalam industri media, meminjam terminologi Denis McQuail. Model ini dikenal sebagai model ekspresi, yakni khalayak diperkenalkan pada suatu program dan mereka seintensif mungkin dilibatkan secara psikologis sehingga bisa muncul kepuasan bersama. 

Etalase citra itu harus diposisikan tidak berlebihan, bahkan perlu kehati-hatian terutama bagi konsumen dan “pemasok produk” yang akan mengisi etalase. Bagi kandidat yang akan bertarung di konvensi, mereka harus memastikan terlebih dahulu bahwa prosedur dan aturan mainnya jelas, transparan, dan akuntabel. Jangan sampai terjebak pada permainan politik yang hanya menjadikan mereka sebagai objek pelengkap penderita atau pemeran figuran di alur cerita setingan.

 Bagi pemilih yang akan menjadi konsumen dalam pemilu, jangan mudah termanipulasi oleh realitas pulasan. Jika konvensi penuh kepura-puraan maka kita bisa melabeli etalase tersebut dengan tulisan besar “kepalsuan yang otentik!”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar