Jumat, 23 Agustus 2013

Depresiasi Rupiah

Depresiasi Rupiah
Andi Irawan ;   Peminat Telaah Ekonomi-Politik Indonesia
KORAN TEMPO, 22 Agustus 2013


Tetapi yang selalu kita abaikan adalah memperbaiki kondisi fundamental rupiah yang lebih berjangka menengah-panjang. Bahwa suplai valas yang fundamental adalah dari kekuatan nasional melalui kekuatan ekspor dan daya tarik penanaman modal asing (foreign direct investment), bukan modal portofolio yang sarat dengan spekulasi dan gambling.
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), Senin malam (19 Agustus), menggelar rapat mendadak menyikapi dua isu penting, salah satunya adalah nilai tukar rupiah yang terus melemah (depresiasi) beberapa waktu terakhir. FKSSK adalah forum yang terdiri atas Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan LPS.
Sebagaimana yang diketahui, depresiasi rupiah sehingga mencapai angka di atas 10 ribu per dolar AS telah terjadi sejak pekan ketiga Juli tahun ini. Pelemahan ini terus terjadi, bahkan sempat menembus angka 10.600 (19 Agustus) per dolar, bandingkan dengan kurs satu bulan yang lalu (18 Juli) yang sebesar 10.059 per dolar.
Untuk mengoreksi depresiasi rupiah tersebut, BI telah berupaya menstabilisasi melalui intervensi suku bunga dengan menaikkan suku bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FasBI Rate) atau deposit facility dan intervensi di pasar valas dengan mengeluarkan kebijakan melelang swap valas atau FX Swap yang dilakukan setiap minggu. Tetapi tampaknya jurus-jurus bank sentral tersebut belum mampu menstabilkan rupiah di angka yang diharapkan, yakni jika merujuk pada asumsi makroekonomi Nota Keuangan dan RAPBN 2014 yang sebesar 9.750 per dolar.
Mengapa kita perlu khawatir atas melemahnya rupiah ini? Pertama, karena ia menghadirkan inflasi. Hal ini karena sekarang kita butuh lebih banyak rupiah untuk harga dolar yang sama dari suatu barang dan jasa di pasar internasional. Ketika barang itu adalah barang modal, ia menimbulkan inflasi karena menaikkan biaya produksi (cost-pushed inflation). Sebagaimana yang diketahui, impor bahan baku kita mencapai 77 persen dari total impor. Sedangkan ketika yang diimpor itu adalah barang konsumsi, inflasi terjadi akibat kenaikan langsung harga barang itu ketika dinilai dengan rupiah (import inflation).
Dan inflasi selalu tidak disukai, karena dia adalah pajak yang dikenakan kepada kita secara curang. Dikatakan curang karena rupiah yang Anda miliki tergerus karena inflasi. Pendapatan riil Anda berkurang karena dipotong inflasi, tapi tidak ada kompensasi yang diberikan kepada kita dari pengurangan pendapatan riil tersebut. Bandingkan dengan ketika kita kena pajak, pendapatan riil kita memang berkurang, tetapi kita mendapatkan kompensasi ketika uang pajak dikembalikan lagi kepada kita dalam bentuk barang-barang publik yang disediakan negara (infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain).
Dampak lain, bisa menimbulkan kontraksi ekonomi. Pada kondisi di mana barang-barang modal mayoritas bersumber dari impor, depresiasi rupiah berimplikasi naiknya biaya pembelian barang-barang modal tersebut. Ketika biaya produksi ini naik dan tidak bisa ditutupi oleh penerimaan perusahaan, hal ini bisa berimplikasi kolapsnya sebagian perusahaan. Dan implikasi lanjutannya bisa berdampak bertambahnya angka pengangguran.
Melemahnya rupiah terjadi ketika suplai dolar yang masuk lebih rendah daripada dolar yang keluar dari dalam negeri. Kita bangsa yang gandrung impor itulah yang menyebabkan neraca transaksi berjalan kita defisit. Defisit sebesar US$ -1,69 miliar pada triwulan IV 2011 dan berlanjut sepanjang 2012 dengan defisit sebesar US$ -24,18 miliar. Inilah penyebab utama depresiasi rupiah.
Ditambah pula, transaksi modal dan finansial terganggu karena rencana bank sentral AS (The Fed) yang akan menghentikan kebijakan pemberian stimulus sehingga mengganggu aliran dana dari AS. Hal ini berimplikasi suplai dolar di dalam negeri kita semakin langka.
Secara teori, depresiasi ini akan menguntungkan. Hal ini karena harga-harga komoditas domestik relatif lebih murah dari harga-harga di pasar internasional yang dampaknya akan memacu kenaikan ekspor dan selanjutnya memperbaiki neraca pembayaran dan menguatkan kembali rupiah. Dengan naiknya ekspor, pertumbuhan ekonomi kembali meningkat dan selanjutnya bisa mengurangi angka pengangguran.
Tetapi proses yang demikian itu jarang terjadi dalam waktu singkat. Yang umum terjadi adalah fenomena Marshall Lerner Condition. Fenomena ini mengilustrasikan depresiasi rupiah dalam jangka waktu tertentu yang menyebabkan kondisi defisit neraca pembayaran tidak membaik, malah memburuk. Jadi, implikasi depresiasi seperti inflasi dan kontraksi pertumbuhan ekonomi akan kita rasakan cukup panjang. Pengalaman negara-negara maju, depresiasi berakibat memburuknya defisit neraca pembayaran selama berkisar 6 bulan sampai 1 tahun. Pengalaman depresiasi rupiah ketika krisis ekonomi Indonesia 1998, semua ketidaknyamanan ekonomi yang ditimbulkan dari depresiasi rupiah kita rasakan mencapai 2-3 tahun.
Untuk kasus kita, fenomena Marshall Lerner Condition bisa terjadi karena komoditas yang umumnya kita impor adalah komoditas dengan elastisitas permintaan yang in elastik, di mana perubahan harga pasar relatif tidak mengurangi jumlah barang yang dibutuhkan. Kita impor bahan pangan, bahan baku industri, dan bahan bakar minyak yang merupakan barang-barang yang sangat dibutuhkan bagi perekonomian Indonesia.
Apa yang dilakukan BI sebagai otoritas yang bertugas menjaga stabilitas rupiah, sebagaimana yang kita ungkapkan di atas, sudah tepat sebagai solusi jangka pendek. 
Tetapi yang selalu kita abaikan adalah memperbaiki kondisi fundamental rupiah yang lebih berjangka menengah-panjang. Bahwa suplai valas yang fundamental adalah dari kekuatan nasional melalui kekuatan ekspor dan daya tarik penanaman modal asing (foreign direct investment), bukan modal portofolio yang sarat dengan spekulasi dan gambling.

Membangun kekuatan ekspor, berarti kita membangun kekuatan ekonomi nasional yang bersumber dari kekuatan domestik untuk dijual di pasar dunia. Meningkatkan penanaman modal asing berarti menjadikan Indonesia investment darling yang meningkatkan gairah investor asing untuk menanam modalnya di sektor riil di negara ini. Kekuatan sisi suplai valas ini memang belum hadir, karena selalu terganjal masalah klasik, seperti faktor inefisiensi kelembagaan ekonomi pasar yang berbiaya tinggi akibat sarat dengan perburuan rente, infrastruktur, dan SDM dengan kualitas yang lemah. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar