|
Wacana tentang
”pemilih pemula” akhir-akhir ini menandai geliat Pemilihan Umum 2014 yang kian
dekat. Aneka asumsi, prediksi, kalkulasi tentang mereka seakan memberikan
harapan cerah pada dunia politik ke depan, terutama terkait partisipasi politik
dan hak kewargaan.
Jika
partisipasi dan kesadaran hak politik tinggi, dipastikan pesta Pemilu 2014 akan
diramaikan pemilih pemula berusia 17-20 tahun, Menurut data Komisi Pemilihan
Umum (KPU), jumlah pemilih pemula sekitar 14 juta orang, kebanyakan pelajar,
mahasiswa, dan pekerja muda.
Istilah
”pemilih pemula” mengonotasikan para pemilih minim pengalaman, labil, dan
miskin pengetahuan politik sehingga tak punya acuan pasti dalam menentukan
pilihan politik. Namun, sebutan ”pemula” (beginner)
tak berarti mereka akan tumbuh jadi pemilih intermediate atau bahkan advanced, mengikuti generasi pemilih sebelumnya. Sebab mereka
adalah generasi baru abad informasi, yang memiliki persepsi, kesadaran, dan
”kultur politik” berbeda.
Generasi Y
Para politisi
dan partai politik harus mengembangkan strategi komunikasi, psikologi, dan
semiotika politik khusus untuk menarik para pemilih pemula ini ke dalam pusaran
orbit politik. Ini karena mereka bagian dari generasi dengan ”budaya demokrasi”
berbeda, yaitu ”demokrasi digital”, di mana setiap komunikasi, wacana,
pertukaran, negosiasi, transaksi, dan keputusan politik berlangsung secara
digital.
Para pemilih
pemula adalah kelompok anak muda generasi internet (the net generation) atau generasi Y, yang tumbuh di era informasi
digital: internet, Facebook, dan Twitter. Mereka lahir, tumbuh, dan dibentuk
dalam bingkai ”budaya digital”, yang menentukan cara berpikir, kebiasaan
mental, dan pandangan dunia mereka: lebih terbuka, dinamis, toleran, smart,
dan fleksibel. Budaya ini membentuk ulang posisi mereka dalam aneka institusi,
khususnya institusi politik.
Pemilih pemula
ini anak kandung media sosial. Mereka mengembangkan ”yang politik” berdasarkan
”ideologi” versi mereka, melalui kendaraan komunitas virtual di luar ranah
formal parpol. Isu keseharian mereka bukan tentang tokoh politik atau parpol,
melainkan segala sesuatu yang mampu memberikan perhatian, keterpesonaan,
hiburan, tantangan, dan kejutan pada mereka. Alhasil, mereka mungkin lebih
akrab dengan bintang pop atau tokoh avatar ketimbang tokoh politik.
Budaya digital
memengaruhi budaya demokrasi itu sendiri, yang kini bertransformasi menjadi
”demokrasi digital”. Di dalamnya, komunitas politik tak dapat lagi dibangun
melalui ruang-ruang publik politik atau agora konvensional, tetapi meluas ke
ruang publik politik digital. Di dalam ruang publik politik digital ini,
komunikasi, persuasi, seduksi dan semiotisasi politik berlangsung secara
digital.
Di ruang
demokrasi digital, relasi kekuasaan tak pernah mencapai keseimbangan, tetapi
bersifat instan, seketika, cair, labil, tak terduga, berpindah, dan bertahan
seketika. Karena itu, diperlukan strategi ”mencuri perhatian” atau ”seduksi”
tanpa jeda, berupa aneka bentuk artifice, penampakan luar, dan permainan
tanda. Ini adalah ”kekuatan” sekaligus ”kelemahan” demokrasi digital, yang
fondasinya rapuh, dengan tingkat durabilitas dan konsistensi rendah (Bard dan Soderqvist, 2002).
Para politisi
dan parpol harus merangkul generasi muda di ruang demokrasi berfondasi rapuh
ini, yang mengandalkan kecepatan dan kesegeraan. Di dalamnya, paket-paket
komunikasi ”ringkas”, ”hemat”, ”cepat saji”, dan tak rumit lebih diminati.
”Simplisitas” dirayakan di atas ”kompleksitas”. Politik berjalan di atas
fondasi konstelasi temporer, di mana segala sesuatu muncul dan menghilang
secara kilat (perhatian, gaya, isu, tokoh) sehingga perlu kerja updating tanpa
jeda.
Para pemilih
pemula juga anak kandung era ”industri kreatif”, di mana ”kreativitas” menjadi
magnet yang dapat mengikat mereka. Mereka mungkin tak tertarik lagi dengan
komunikasi politik konvensional dan miskin kreativitas, seperti spanduk, banner,
poster, atau billboard. Mereka mungkin dapat dirangkul melalui ide-ide
kreatif. Karena itu, para politisi dan parpol dituntut melakukan tugas
ganda-paradoksal menawarkan gagasan kreatif di dunia ”sesaat” itu, sambil tetap
membangun identitas politik yang bisa bertahan lama.
Jurang politik
Demokrasi
digital menciptakan aneka jurang antara budaya pemilih muda dan budaya parpol;
antara budaya digital dan budaya politik ruang nyata; antara pemahaman politik
generasi internet dan pemahaman porpol. Jurang ini membawa institusi politik
pada kondisi paradoks: di satu pihak harus melayani spirit instan dan tak bertahan
lama budaya digital; di pihak lain membangun identitas politik yang tetap,
stabil, dan bertahan lama.
Paradoks itu
membawa pada kondisi pengambilan keputusan politik yang sulit. Jika masuk
terlalu jauh ke ruang politik digital, ada perangkap ”politik instan”;
sebaliknya, jika tak masuk, tak bisa merangkul para pemilih pemula. Selain itu,
ada pula jurang pemahaman ”yang politik” antara generasi internet dan institusi
politik formal. Di dalam ruang demokrasi digital generasi muda ini
mengembangkan versi mereka tentang ”yang politik”, melalui komunitas virtual
sebagai kendaraan pertarungan ”ideologi”.
”Yang politik”
kini meluas sehingga per- tarungan kekuasaan, dominasi, hegemoni tak hanya
melalui kendaraan parpol, tetapi melalui aneka gerakan ”ekstra-politik”:
gerakan perempuan, ekologis, buruh, yang mencoba membangun identitas politik
dan mengartikulasikan diri mereka sebagai ”kita” atau ”warga” (Mouffe, 1993).
”Yang politik”
hanya ada jika di ruang politik ada perjuangan ”bagian dari orang yang tak mendapatkan
bagian”, yaitu orang-orang terpinggirkan karena tak memiliki ”kualifikasi”
politik. Karena dalam sistem demokrasi tetap saja ada orang yang ”tak dapat
bagian”, di sinilah politik bekerja, yaitu membangun ”subyektivikasi politik”
dan ”komunitas politik” untuk memperjuangkan bagian (Ranciere, 1995). Generasi digital memperjuangkan ”bagian” melalui
subyektivikasi di luar institusi formal politik.
Karena itu, di
dunia digital, ”partisipasi politik” harus didefinisi ulang, yang tak lagi
”langsung”, ”eksplisit” dan ”pasti”, tetapi melalui ”ruang antara”, yaitu ruang
”partisipasi digital” nonpolitik: dari komunitas musik, seni, tanaman herbal,
hingga konten-konten bermuatan parodi, kelucuan atau surprise. Kekuatan
”komunitas virtual” ini secara cerdas dapat digerakkan jadi ”kekuatan politik
nyata” seperti diperlihatkan Jokowi pada pemilihan gubernur DKI, atau Ridwan
Kamil dalam pemilihan wali kota Bandung.
Pemilu 2014
adalah pesta demokrasi abad digital, di mana ada para pemilih pemula, yang
lebih terbuka, cair, fleksibel, dinamis, dengan identitas cenderung tak
bertahan lama. Di pihak lain, institusi formal politik harus mengembangkan
strategi komunikasi, psikologi, dan semiotika politik yang cerdas agar dapat
merangkul mereka. Kondisi ini menghadapkan politik pada sebuah paradoks:
membangun komunitas politik (digital) dengan risiko mengancam identitas politik
yang stabil. Bukankah paradoks adalah masa depan ”identitas politik” kita? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar