|
Perdebatan seputar Qanun No 3 Tahun 2013
tentang Lambang dan Bendera Aceh yang sempat memanas akhirnya diulur
penyelesaiannya. Pemerintah Pusat dan NAD bersepakat untuk memperpanjang masa cooling down dari tanggal 15 Agustus
2013 sampai 15 Oktober 2015. Selama masa cooling
down tersebut, pihak-pihak yang terkait mengambil langkah persuasif untuk
menjaga ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Qanun tersebut mengundang
reaksi cukup keras dari beberapa kalangan menyangkut penggunaan simbol yang
mirip dengan milik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk bendera Aceh.
Dinamika hubungan pemerintah pusat dan NAD pascapenandatangan nota kesepakatan perdamaian Helsinki (MoU Helsinki) tanggal 15 Agustus 2005 mewarnai perjalanan pembangunan perdamaian di Aceh selama delapan tahun. Salah satu periode cukup krusial saat pelaksanaan pilkada NAD kedua. Ketegangan terjadi saat Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 256 Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Pencabutan pasal tersebut menyebabkan dimungkinkannya calon independen kembali maju dalam pilkada Aceh. Keputusan MK membuat gusar beberapa kalangan di Aceh. Situasi politik memanas dengan diwarnai aksi-aksi kekerasan. Deadlock akhirnya diatasi dengan dikeluarkannya putusan sela Mahkamah Konstitusi No 1/SKLN-X/2012 yang memungkinkan penjadwalan ulang pilkada dan dibukanya kembali pendaftaran calon kepala daerah. Pilkada terlaksana secara damai pada bulan April 2012 dengan kemenangan Partai Aceh.
Pada akhir tahun 2012, terjadi juga perdebatan tentang Qanun Wali Nanggroe. Qanun tersebut dianggap memberi kewenangan terlalu luas bagi institusi adat hasil amanat MoU Helsinki. Syarat kefasihan berbahasa Aceh bagi anggota Wali Nanggroe mendapat protes dari kalangan masyarakat Gayo yang memiliki akar budaya dan bahasa yang berbeda dengan penduduk Aceh di wilayah lainnya.
Hubungan pasang-surut pusat dan daerah pascakonflik merupakan dinamika yang lazim di sebuah negara yang baru memasuki tahap pembangunan perdamaian. Bentuk otonomi khusus sebagai kompromi dari tuntutan pemisahan wilayah membuat tarik-menarik kepentingan menjadi cukup tajam. Berbeda dengan hubungan pusat-daerah dalam bingkai otonomi daerah, untuk wilayah pascakonflik, hubungan ini sering kali diwarnai sensitivitas isu kedaulatan.
Yang menarik untuk diamati selama masa cooling down qanun bendera ini berjalan, terjadi pembahasan dua Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden yang mengatur pembagian kewenangan antara NAD dan pemerintah pusat. Beberapa pembagian kewenangan tersebut menyangkut pengelolaan sumber daya minyak dan gas, kehutanan, dan pelabuhan bebas Sabang.
Craig Thorburn dalam artikelnya, "Building Block, Stumbling Block: Peacebuilding in Aceh, 2005-2009" menyebutkan pencapaian terpenting MoU Helsinki adalah transformasi dari the Aceh problem (masalah Aceh) menjadi the Aceh’s problem (masalah yang dihadapi masyarakat Aceh). Dinamika seputar masalah qanun bendera dan pembagian kewenangan ini sebenarnya merupakan irisan antara Aceh problem dan Aceh’s problem.
Bendera dengan lambang bulan bintang bagi beberapa pihak adalah pengakuan terhadap perjuangan yang ditebus dengan nyawa, harta benda dan kerugian immaterial lainnya. Walaupun banyak kalangan di Aceh menolak anggapan bahwa bendera dengan lambang mirip GAM tersebut merupakan indikasi kebangkitan kembali separatisme, kesan tersebut sulit ditepis.
Begitupun dengan Qanun Wali Nanggroe yang sangat sarat revitalisasi adat Aceh di masa lampau. Diskursus yang terjadi akhirnya berputar soal kedaulatan dan identitas Aceh dan hal-hal yang dekat pada Aceh problem, yang memandang NAD seolah entitas yang terpisah dari Indonesia.
Di sisi lain, PP dan Kepres tentang pembagian kewenangan pusat dan Aceh, seperti soal pengelolaan migas dan Pelabuhan Sabang adalah subjek dari Aceh’s problem. Problematika lain tentang cara meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh dalam bingkai Negara Republik Indonesia serta peningkatan kesejahteraan lewat optimalisasi sumber daya dan potensi geostrastregis Aceh.
Qanun bendera dan PP-Keppres tentang pembagian kewenenangan ini mencerminkan tarik-menarik antara Aceh problem dan Aceh’s problem. Didasarkan pada analisis Edward Azar tentang protracted social conflict, penyebab utama separatisme adalah proses marginalisasi politik dan ekonomi suatu kelompok etnis atau agama yang terjadi di sebuah negara.
Apabila proses marginalisasi itu didukung kuatnya etnosentrime dan kemampuan mobilisasi, akan terjadi gerakan separatis yang berdaya juang tinggi dan bertahan lama. Setelah memasuki fase perdamaian, maka upaya koreksi marginalisasi ini menjadi penting untuk dijaga keberlanjutannya.
Aceh telah mendapat hak partisipasi politik yang sangat baik lewat UUPA, terutama melalui keistimewaan untuk dapat membentuk partai politik lokal. Aceh juga memperoleh dana pembangunan yang besar. Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang diterima Aceh sebagai bentuk "peace dividend" sampai tahun 2013 sebesar 26,9 triliun rupiah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh tahun 2013 mencapai 11,784 triliun rupiah.
Terlepas dari pemenuhan aspirasi politik dan kucuran dana yang besar, pihak-pihak di Aceh masih memandang penting pemenuhan butir-butir kesepakatan dalam MoU Helsinski. Impelementasi isi MoU tersebut masih menjadi tolak ukur bagi "niat baik Jakarta" untuk konsisten pada proses perdamaian di Aceh.
Daerah pascakonflik pada umumnya akan kembali pada grievance atau ketidakpuasan yang berkaitan dengan identitas apabila mereka merasa bahwa pemenuhan kebutuhan politik atau ekonomi kurang diperhatikan. Penyusunan PP-Keppres tentang pembagian kewenangan pusat dan Aceh akan membantu menghindarkan kembalinya Aceh problem ke dalam proses pembangunan perdamaian yang tengah berjalan dan mentransformasikannya menjadi Aceh’s problem.
Pihak-pihak di Aceh akan teryakinkan pada niat baik Pemerintah Pusat untuk menjalankan MoU Helsinki dan UUPA secara komprehensif. Proses selanjutnya, bergantung pada kemampuan pemimpin Aceh bersama-sama segenap elemen masyarakatnya untuk menjalankan pembangunan yang menyejahterakan secara merata.
Gesekan seputar bendera dan lambang yang dapat memicu ketegangan antara pusat dan Aceh diharapkan tergantikan dengan energi untuk membangun Aceh menjadi lebih sejahtera. Apa pun lambang yang dipakai untuk bendera Aceh nanti, diharapkan untuk perjuangan kesejahteraan, bukan lagi bendera pengingat luka akibat konflik. ●
Dinamika hubungan pemerintah pusat dan NAD pascapenandatangan nota kesepakatan perdamaian Helsinki (MoU Helsinki) tanggal 15 Agustus 2005 mewarnai perjalanan pembangunan perdamaian di Aceh selama delapan tahun. Salah satu periode cukup krusial saat pelaksanaan pilkada NAD kedua. Ketegangan terjadi saat Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 256 Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Pencabutan pasal tersebut menyebabkan dimungkinkannya calon independen kembali maju dalam pilkada Aceh. Keputusan MK membuat gusar beberapa kalangan di Aceh. Situasi politik memanas dengan diwarnai aksi-aksi kekerasan. Deadlock akhirnya diatasi dengan dikeluarkannya putusan sela Mahkamah Konstitusi No 1/SKLN-X/2012 yang memungkinkan penjadwalan ulang pilkada dan dibukanya kembali pendaftaran calon kepala daerah. Pilkada terlaksana secara damai pada bulan April 2012 dengan kemenangan Partai Aceh.
Pada akhir tahun 2012, terjadi juga perdebatan tentang Qanun Wali Nanggroe. Qanun tersebut dianggap memberi kewenangan terlalu luas bagi institusi adat hasil amanat MoU Helsinki. Syarat kefasihan berbahasa Aceh bagi anggota Wali Nanggroe mendapat protes dari kalangan masyarakat Gayo yang memiliki akar budaya dan bahasa yang berbeda dengan penduduk Aceh di wilayah lainnya.
Hubungan pasang-surut pusat dan daerah pascakonflik merupakan dinamika yang lazim di sebuah negara yang baru memasuki tahap pembangunan perdamaian. Bentuk otonomi khusus sebagai kompromi dari tuntutan pemisahan wilayah membuat tarik-menarik kepentingan menjadi cukup tajam. Berbeda dengan hubungan pusat-daerah dalam bingkai otonomi daerah, untuk wilayah pascakonflik, hubungan ini sering kali diwarnai sensitivitas isu kedaulatan.
Yang menarik untuk diamati selama masa cooling down qanun bendera ini berjalan, terjadi pembahasan dua Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden yang mengatur pembagian kewenangan antara NAD dan pemerintah pusat. Beberapa pembagian kewenangan tersebut menyangkut pengelolaan sumber daya minyak dan gas, kehutanan, dan pelabuhan bebas Sabang.
Craig Thorburn dalam artikelnya, "Building Block, Stumbling Block: Peacebuilding in Aceh, 2005-2009" menyebutkan pencapaian terpenting MoU Helsinki adalah transformasi dari the Aceh problem (masalah Aceh) menjadi the Aceh’s problem (masalah yang dihadapi masyarakat Aceh). Dinamika seputar masalah qanun bendera dan pembagian kewenangan ini sebenarnya merupakan irisan antara Aceh problem dan Aceh’s problem.
Bendera dengan lambang bulan bintang bagi beberapa pihak adalah pengakuan terhadap perjuangan yang ditebus dengan nyawa, harta benda dan kerugian immaterial lainnya. Walaupun banyak kalangan di Aceh menolak anggapan bahwa bendera dengan lambang mirip GAM tersebut merupakan indikasi kebangkitan kembali separatisme, kesan tersebut sulit ditepis.
Begitupun dengan Qanun Wali Nanggroe yang sangat sarat revitalisasi adat Aceh di masa lampau. Diskursus yang terjadi akhirnya berputar soal kedaulatan dan identitas Aceh dan hal-hal yang dekat pada Aceh problem, yang memandang NAD seolah entitas yang terpisah dari Indonesia.
Di sisi lain, PP dan Kepres tentang pembagian kewenangan pusat dan Aceh, seperti soal pengelolaan migas dan Pelabuhan Sabang adalah subjek dari Aceh’s problem. Problematika lain tentang cara meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh dalam bingkai Negara Republik Indonesia serta peningkatan kesejahteraan lewat optimalisasi sumber daya dan potensi geostrastregis Aceh.
Qanun bendera dan PP-Keppres tentang pembagian kewenenangan ini mencerminkan tarik-menarik antara Aceh problem dan Aceh’s problem. Didasarkan pada analisis Edward Azar tentang protracted social conflict, penyebab utama separatisme adalah proses marginalisasi politik dan ekonomi suatu kelompok etnis atau agama yang terjadi di sebuah negara.
Apabila proses marginalisasi itu didukung kuatnya etnosentrime dan kemampuan mobilisasi, akan terjadi gerakan separatis yang berdaya juang tinggi dan bertahan lama. Setelah memasuki fase perdamaian, maka upaya koreksi marginalisasi ini menjadi penting untuk dijaga keberlanjutannya.
Aceh telah mendapat hak partisipasi politik yang sangat baik lewat UUPA, terutama melalui keistimewaan untuk dapat membentuk partai politik lokal. Aceh juga memperoleh dana pembangunan yang besar. Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang diterima Aceh sebagai bentuk "peace dividend" sampai tahun 2013 sebesar 26,9 triliun rupiah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh tahun 2013 mencapai 11,784 triliun rupiah.
Terlepas dari pemenuhan aspirasi politik dan kucuran dana yang besar, pihak-pihak di Aceh masih memandang penting pemenuhan butir-butir kesepakatan dalam MoU Helsinski. Impelementasi isi MoU tersebut masih menjadi tolak ukur bagi "niat baik Jakarta" untuk konsisten pada proses perdamaian di Aceh.
Daerah pascakonflik pada umumnya akan kembali pada grievance atau ketidakpuasan yang berkaitan dengan identitas apabila mereka merasa bahwa pemenuhan kebutuhan politik atau ekonomi kurang diperhatikan. Penyusunan PP-Keppres tentang pembagian kewenangan pusat dan Aceh akan membantu menghindarkan kembalinya Aceh problem ke dalam proses pembangunan perdamaian yang tengah berjalan dan mentransformasikannya menjadi Aceh’s problem.
Pihak-pihak di Aceh akan teryakinkan pada niat baik Pemerintah Pusat untuk menjalankan MoU Helsinki dan UUPA secara komprehensif. Proses selanjutnya, bergantung pada kemampuan pemimpin Aceh bersama-sama segenap elemen masyarakatnya untuk menjalankan pembangunan yang menyejahterakan secara merata.
Gesekan seputar bendera dan lambang yang dapat memicu ketegangan antara pusat dan Aceh diharapkan tergantikan dengan energi untuk membangun Aceh menjadi lebih sejahtera. Apa pun lambang yang dipakai untuk bendera Aceh nanti, diharapkan untuk perjuangan kesejahteraan, bukan lagi bendera pengingat luka akibat konflik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar