Minggu, 25 Agustus 2013

Berjalan Jauh Meninggalkan

Berjalan Jauh Meninggalkan
Rene L Pattiradjawane  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS, 25 Agustus 2013


Di tengah kemacetan Jakarta, kita pun akan berpikir keras dan tersenyum kecut ketika melihat gambar di truk atau stiker (bumper sticker) yang berbunyi, ”Piye...Kabare Bro...? Isih Penak Jamanku tooo...!” Gambar di belakang truk angkutan ini juga terpampang mantan Presiden Soeharto dengan seragam militer Jenderal Besar yang terlihat tegak memandang dan seolah berkata, ”Gimana... kabarnya, Bro? Masih enak zaman saya kan...?”

Situasi ekonomi dunia, termasuk Indonesia, memang memburuk bersamaan dengan membaiknya perekonomian dimulai dengan mengalir kembalinya mata uang dollar AS ke negeri pencetaknya. Berbeda dengan Krisis Keuangan Asia 1997, krisis yang melanda negara-negara non-Barat sekarang dihadapkan pada pilihan membela mata uangnya (termasuk rupiah yang terperosok melebihi Rp 11.000) atau membela pertumbuhan dalam negerinya. Ini memang pilihan sulit karena pilihan yang tersedia hanya satu dan menjadi tidak mungkin menjalankan keduanya.

Keputusan bank sentral AS Federal Reserve mengurangi pembelian obligasi sebagai bagian dari strategi quantitative easing (QE) untuk membawa AS keluar dari krisis keuangan global 2008. Langkah ini mengisyaratkan berakhirnya sebuah ekonomi global dengan uang murah dan mulai terjadinya arus keluar uang dalam jumlah besar dari negara-negara yang sedang membangun dan pertumbuhan tinggi di Asia dan Amerika Latin. Mata uang dan saham berjatuhan dan tergeletak tanpa daya, dari Brasil sampai Indonesia. Bahkan, India yang masif melakukan pembangunan di mana-mana pun terengah-engah.

Mungkin spanduk di daerah-daerah membayangkan ucapan almarhum Soeharto ada benarnya. Untuk kasus Indonesia, belum pernah perekonomian negara ini karut-marut dan berjalan auto-pilot ketika bahan pangan pokok naik drastis, seperti cabai, bawang, serta daging, dan didera kesengsaraan dengan anjloknya pasar saham dan pasar uang.

Saling terkait

Selama satu dekade terakhir, perekonomian global mungkin seperti digambarkan pada film layar lebar ”Elysium” mitologi Yunani tentang dunia nirwana. Asia adalah nirwana dengan segala macam pertumbuhan dalam ambivalensi membagi dunia dalam ghetto antara kelebihan populasi, persoalan lingkungan, dan kerontokan ekonomi. Ini yang terjadi di AS dan Eropa yang penuh dengan pengangguran, skandal perbankan, dan berbagai sisi jelek lainnya.

Di sisi lain, pejuang hak asasi AS Martin Luther King benar dengan menyatakan, ”Seluruh kehidupan saling terkait satu sama lain.” Artinya, apa yang terkait dengan kita juga akan terkait dengan lainnya dan kenyataan interkoneksi global tidak lagi bisa berjalan sendiri antara keinginan Ketua Federal Reserve AS Ben Bernanke, krisis zona euro, Abenomics, atau melambatnya perekonomian China.

Bagaimanapun, dunia sekarang ini seperti favela di Rio de Janeiro, Brasil, ketika berbagai penduduk hidup di atas penduduk lainnya, menyesuaikan dan membangun kebutuhan dasarnya atas persoalan utama keamanan energi dan pangan. Krisis ekonomi dan keuangan yang sekarang terjadi menjadi persoalan bersama, bukan lagi penguasaan segelintir negara atau bank sentral saja.

Krisis ekonomi dan keuangan yang dihadapi sekarang ini sebenarnya bukan saja akibat dari terjadinya realokasi kapital akibat kembalinya modal ke AS tingkat suku bunga yang lebih tinggi. Namun, disebabkan juga banyaknya pemerintahan dunia, termasuk Indonesia, yang tidak mampu melakukan reformasi menyeluruh secara utuh melaksanakan dan memperkenalkannya di tengah pertumbuhan pesat ekonomi 2003-2008.

Gambaran umumnya, termasuk yang terjadi di antara negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), pemerintahan berkuasa tidak mampu meliberalisasi pasar bagi buruh, energi, dan tanah. Pembangunan infrastruktur tidak dibenahi dengan benar, korupsi dan hambatan birokrasi berbagai tingkat merajalela dan memburuk.

Menghadapi turbulensi

Mata uang seperti rupee milik India, real dari Brasil, lira dari Turki, rand dari Afrika Selatan, dan rupiahnya Indonesia, semuanya melemah secara bersamaan , mengharuskan intervensi total berbagai pemerintahan. Dan yang paling desisif adalah tanggapan bank sentral Brasil yang melakukan program intervensi sebesar 60 miliar dollar AS hari Kamis (22/8).

Di kawasan Asia, di luar India yang sekarang kedodoran menghadapi arus balik modal dalam dollar AS, dua kekuatan ekonomi China dan Jepang juga disibukkan dengan penataan kebijakan fiskal masing-masing. Jepang terus memperdalam Abenomic melalui pelemahan yen melalui kebijakan quantitative easing dan meningkatkan stimulus ekonomi. China mulai memperketat kredit perbankan untuk mendisiplinkan praktik-praktik buruk yang dikangkangi BUMN dan para birokrat komunis yang berkuasa.

Kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia setelah AS ini, juga ikut memengaruhi jalannya globalisasi ketika mereka sama-sama melakukan reformasi domestik meningkatkan pertumbuhan yang melemah akibat menurunnya permintaan ekspor produk-produk yang dihasilkan kedua negara ini. Namun, ketegangan politik dan keamanan atas klaim tumpang tindih di antara keduanya menyebabkan inklinasi China-Jepang untuk melakukan investasi dan perdagangan menjadi terhambat.

Kita pun khawatir, ketidaksepahaman China-Jepang akan menyeret krisis ekonomi dan perdagangan di negara-negara Asia dan Amerika Latin akan berkepanjangan, mendorong pendulum perubahan dan perbaikan ekonomi global kembali ke negara-negara Barat. Banyak negara Asia-Amerika Latin menjadi sangat khawatir dengan peran sentral global mata uang dollar AS yang pasti akan menyebabkan permasalahan bagi ekonomi pasar yang sedang berkembang di berbagai kawasan.

Pilihan yang tersedia bagi negara kawasan, khususnya Asia Tenggara, adalah mulai memberlakukan dan kembali ke meja dialog menghadapi turbulensi terkendali, khususnya ketika kebijakan ekonomi, keuangan, dan perdagangan dilakukan unilateral oleh pengendali mata uang.


Warisan yang tersedia di kawasan ASEAN dari Krisis Keuangan Asia 1997 adalah Inisiatif Chiang Mai sebagai mekanisme pertukaran dollar AS multi-miliaran untuk menghadapi persoalan neraca pembayaran serta kesulitan likuiditas jangka pendek. Mekanismenya tersedia, strukturnya ada dalam AMRO (Asian Macroeconomic Research Office), sehingga kesepakatan para pemimpin Asia secara bersamaan bisa membawa dan mengatasi tujuan kita menuju jalan ke ”Elysium”. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar