Rabu, 21 Agustus 2013

Bagaimana Prospek Bank Nasional Semester II 2013?

Bagaimana Prospek Bank Nasional Semester II 2013?
Paul Sutaryono  ;   Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI, Pengurus Yayasan Bina Swadaya
KORAN SINDO, 21 Agustus 2013

Di tengah gerak liar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), beberapa bank nasional papan atas memamerkan kinerja kinclong per semester I/2013. 

Tetapi, bagaimana kinerja mereka pada semester II/2013 ketika inflasi tinggi yang menyulut kenaikan suku bunga kredit? Tengok saja kinerja berikut ini. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) mampu meraih laba bersih yang terbang tinggi 30,12% dari Rp3,28 triliun per Juni 2012 menjadi Rp4,28 triliun per Juni 2013. 

Kinerja cemerlang itu dibayangi laba bersih Bank Central Asia (BCA) yang melesat 19,39% dari Rp5,29 triliun menjadi Rp6,32 triliun, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (Bank BRI) 16,33% dari Rp8,61 triliun menjadiRp10,01triliun, PTBank Mandiri (Persero) Tbk (Bank Mandiri) 16,26% dari Rp7,40 triliun menjadi Rp8,60 triliun, Bank Internasional Indonesia (BII) 15,03% dari Rp592 miliar menjadi Rp681 miliar. 

Kemudian menyusul CIMB Niaga dengan laba bersih meningkat 7,58% dari Rp1,98 triliun menjadi Rp2,13 triliun dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (Bank BTN) 2,20% dari Rp658,85 miliar menjadi Rp673,35 miliar. Bank Danamon mampu meraih laba bersih Rp1,98 triliun per Juni 2013, tetapi menipis 1% dari Rp2 triliun per Juni 2012 (Harian Kontan, 12 Agustus 2013). 

Aneka Jurus Andalan 


Apakah bank nasional masih mampu menggapai laba bersih setinggi itu dalam pertum-buhan ekonomi nasional yang melambat? Pertama, menata suku bunga simpanan. Kenaikan BBM tidak dapat dibantah lagi telah membakar inflasi tahunan yang melesat jauh dari 5,90% per akhir Juni 2013 menjadi 8,61% per akhir Juli 2013. Jauh sebelumnya, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan BI Rate 25 basis poin (bps) atau 0,25% dari 5,75% sejak Februari 2012 menjadi 6% pada 13 Juni 2013. 

Lantas BI Rate naik lagi 50bps dari 6% menjadi 6,50% dan deposit facility (Fasilitas BI/FasBI) 50 bps dari 4,25% menjadi 4,75% pada 11 Juli 2013. Itu bertujuan supaya dana asing di pasar keuangan tidak lari (capital flight) ke pasar keuangan Amerika Serikat (AS) mengingat The Fed akan mengerem penggelontoran dana ke pasar keuangan (Quantitative Easing/QE). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun semakin lunglai hingga Rp10.569 pada 19 Agustus 2013. Padahal, sebelumnya BI meluncurkan lelang swap untuk menyerap valuta asing (valas) dengan berpedoman pada kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor). 

Pada lelang swap pada 1 Agustus 2013 BI menyerap valas USD1,2 miliar. Kenaikan inflasi setinggi itu mendorong bank nasional menata kembali suku bunga simpanan. Data menunjukkan bahwa suku bunga deposito berkisar 3,9% sampai 6% per tahun untuk tenor satu bulan. Angka ini amat dicemaskan terus meningkat untuk dapat menghimpun dana pihak ketiga (DPK) lebih tinggi. Pertempuran dalam merebut DPK akan makin membara. 

Kedua, mengerem kenaikan suku bunga kredit. Jangan lupa, kenaikan suku bunga simpanan pasti akan membuat biaya dana (cost of fund) meningkat. Inilah yang membuat suku bunga kredit akan terkerek naik. Sejauh mana perkembangan suku bunga kredit? Statistik Perbankan Indonesia (SPI), Juni 2013 yang terbit pada 16 Agustus 2013 mencatat rata-rata suku bunga kredit (rupiah) menipis dari 11,47% per Mei 2013 menjadi 11,42% per Juni 2013 untuk kredit modal kerja. 

Begitu pula rata-rata suku bunga kredit menipis dari 11,17% menjadi 11,14% untuk kredit investasi dan dari 13,20% menjadi 13,14% untuk kredit konsumsi pada periode yang sama. Namun, rata-rata suku bunga kredit itu diduga akan segera naik mulai Agustus 2013 yang berkisar 25 hingga 50 bps. Ini tentu saja menjadi kondisi yang sulit bagi bank nasional untuk tidak menaikkan suku bunga kredit. 

Tetapi, sangat diharapkan bank pemerintah sebagai agen pembangunan (agent of development) sanggup mengerem kenaikan suku bunga kredit. Artinya, bank pelat merah itu tidak mengerek suku bunga terlalu tinggi sebagaimana analisis penulis di harian ini pada 18 Juli 2013. Mengapa bank pemerintah perlu menekan kenaikan suku bunga kredit? Karena, selama ini bank persero itu menjadi trend setter sehingga dapat ikut membantu pemerintah dalam mengendalikan suku bunga kredit supaya tidak melesat terlalu jauh. 

Selain itu, bank pemerintah juga memiliki modal inti (tier 1) tinggi Rp169,90 triliun tertinggi kedua setelah Kelompok Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dengan modal inti Rp174,14 triliun. Coba bandingkan dengan modal inti kelompok bank lainnya yakni Kelompok Bank Asing Rp83,16 triliun, Kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) Rp34,90 triliun, Kelompok Bank Campuran Rp34,30 triliun, dan Kelompok BUSN Nondevisa Rp15,08 triliun masing-masing per Juni 2013. 

Ingat, kenaikan suku bunga kredit akan meningkatkan biaya modal (cost of capital) bagi sektor riil. Dengan bahasa lebih bening, sekor riil membutuhkan dana lebih tinggi untuk menikmati kredit perbankan nasional. Ini akan mendorong biaya produksi menjadi lebih tinggi sehingga harga jual produk menjadi lebih mahal. Masyarakat luas yang menjadi konsumen akhir akan terbebani dengan kenaikan harga produk tersebut. 

Untuk itu, kalau kenaikan suku bunga kredit tidak terkendali, penyerapan kredit oleh sektor riil akan berkurang jauh. Akibatnya, roda sektor riil atau dunia usaha tidak akan bergerak kencang. Inilah yang bakal menekan pertumbuhan kredit perbankan nasional pada semester II/2013. Bagaimana kiat untuk mendorong pertumbuhan pendapatan bunga krdit (interest income) agar tidak terlalu loyo? 

Tentu saja bank nasional papan atas juga diharapkan mau menekan penghasilan bunga bersih (net interest margin/NIM). Lihatlah, kini bank nasional kelas kakap masih menikmati NIM tinggi untuk tidak menyebut terlalu tinggi. NIM Bank Danamon mencapai 8,62%, BRI 8,08%, BNI 6,18%, BCA 5,95%, Bank Mandiri 5,42%, BTN 5,35%, dan BII 5,34%. Penipisan NIM akan memaksa suku bunga kredit tidak terlalu tinggi sehingga penyerapan kredit oleh sektor riil akan terdongkrak naik. 

Data SPI menunjukkan bahwa NIM bank umum sebagai representasi enam kelompok bank tampak menebal dari 5,41% per Mei 2013 menjadi 5,43% per Juni 2013. Angka itu dapat dianggap sebagai ratarata NIM bank nasional. Padahal tanpa henti BI menyampaikan imbauan kepada bank nasional untuk menekan NIM serendah mungkin untuk mendekati NIM bank-bank Thailand, Malaysia, dan Filipina sekitar 2-3%.

 Ke depan BI hendaknya memasang target NIM batas atas misalnya berkisar 5–6% menurut kelompok bank pada akhir Desember 2013 supaya imbauan BI tidak berhenti pada imbauan semata. Tetapi, imbauan bank sentral itu menjadi kenyataan sekaligus akan menipiskan suku bunga kredit karena bank nasional makin efisien. Ketiga, meningkatkan peran suku bunga dasar kredit (SBDK). 

BI telah menelurkan kebijakan SBDK efektif 31 Maret 2011 bagi sekitar 42 bank nasional dengan total aset minimal Rp10 triliun per 28 Februari 2011. SBDK merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam menentukan suku bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah. 

SBDK belum memuat premi risiko individual nasabah bank. Premi risiko mempresentasikan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitur yang antara lain mempertimbangkan kondisi keuangan debitur, jangka waktu kredit, dan prospek usaha yang dibiayai. SBDK belum tentu sama dengan suku bunga kredit yang dikenakan bank kepada debitur. 

Sudah sepatutnya, SBDK mampu menjadi alat bagi BI dalam mengendalikan gerak liar suku bunga kredit. Dengan aneka jurus andalan demikian, pertumbuhan kredit akan tetap subur pada level 18-20% pada Desember 2013 meskipun di bawah 22% per akhir Desember 2012. Sungguh! ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar