|
KORAN
SINDO, 05 Juli 2013
Penderitaan kaum muslimin penganut
paham Syiah korban kerusuhan sektarian di Sampang, Madura Agustus 2012, semakin
bertambah.
Setelah mengungsi di GOR Tenis Wijaya Kusuma Sampang, 27 Agustus 2012, karena diusir dari kampung halamannya, rumahnya dibakar, dan harta bendanya dirampok, pada 20 Juni 2013 lalu, mereka kembali untuk kedua kalinya terusir dari tanah kelahirannya. Sebanyak 162 orang pengungsi Syiah, yang pascakerusuhan Sampang mendiami GOR Wijaya Kusuma, pada Kamis (20/6) secara tidak langsung diusir secara paksa dari GOR tersebut.
Pada saat itu, ribuan menggelar acara istighasah di tempat pengungsian kaum Syiah tersebut. Kegiatan itu diprakarsai sejumlah tokoh dari Badan Silaturahmi Pondok Pesantren se-Madura (Bassra). Namun tampaknya kegiatan istighasah tersebut hanyalah alat (modus?) untuk mengusir secara halus warga Syiah yang berada di tempat pengungsiannya itu. Bagaimana tidak, di hadapan ribuan orang seusai mengikuti istighasah, salah satu perwakilan Bassra melakukan orasi terbuka yang bernada provokatif.
Dalam orasinya, mereka menolak keyakinan warga Syiah yang menurut persepsi sektariannya sebagai ajaran sesat. Siapa pun bisa menduga terkait tuduhan mereka sebagai ajaran sesat. Apalagi, sebagaimana diberitakan sejumlah koran, mereka menuntut pembersihan Madura dari paham yang dibawa Tajul Muluk (pemimpin kaum Syiah di Sampang). Dampaknya, tidak lama setelah aksi pengusiran secara halus tersebut, terjadi evakuasi terhadap pengungsi dan kemudian direlokasi menuju Rusunawa Pasar Induk Agribisnis (PIA) Jemundo, Sidoarjo.
Tragisnya, relokasi ini ternyata juga belum memberikan kepastian akhir dari penderitaan mereka. Mereka tidak diperlakukan secara normal sebagai warga masyarakat sebagaimana masyarakat lainnya. Aktivitas mereka masih dibatasi, di antaranya tidak diperkenankan keluar dari area pengungsian.
Toleransi yang Tergadaikan
Pengusiran secara halus yang berujung dengan relokasi terhadap penganut Syiah di Madura ke Sidoarjo tersebut sangat disayangkan. Kebijakan merelokasi warga Syiah ke Sidoarjo merupakan gambaran kegagalan pemerintah (khususnya Pemkab Sampang) dalam menegakkan sendi-sendi toleransi, sekaligus bukti ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi tekanan kelompok antitoleransi.
Tidak berlebihan jika kemudian Kelompok Kerja Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Pokja AKBB) Jawa Timur menyebut tindakan relokasi warga Syiah oleh Pemkab Sampang sebagai tindakan yang keji (www.beritasatu.com, 20/06/2013). Dalam persoalan ini, pemerintah secara nyata tidak mampu tampil sebagai pemerintahan adil, yang mau dan mampu mengayomi semua pihak.
Komentar senada juga dilontarkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Dien Syamsuddin. Relokasi bukanlah jalan keluar (solusi) yang tepat. Dalam perspektif konstitusi, rakyat memiliki hak untuk menetap di mana saja di wilayah Tanah Air, apalagi di tanah kelahirannya. Dijelaskan oleh Presiden Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) tersebut, “relokasi secara sepihak dan terpaksa adalah pengabaian dan pengingkaran terhadap prinsip konstitusi.
Seyogianya pemerintah mencari solusi yang berkeadilan. Walaupun warga Syiah berbeda keyakinan dan paham keagamaan dengan mayoritas penduduk, mereka adalah warga negara yang memiliki hakhak yang sama dengan warga negara lain” (Koran Jakarta, 22/06/2013). Mencermati persoalan Sampang ini, dapat disimpulkan bahwa persoalan toleransi, khususnya masalah keyakinan, masih menjadi persoalan serius di Pulau Garam. Karenanya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya harus lebih serius belajar tentang substansi toleransi, kemudian mengajarkan kepada masyarakat yang dipimpinnya tentang pemahaman toleransi yang sebenarbenarnya.
Toleransi bukan sekadar klisedan penghias katakata, toleransi adalah komitmen untuk hidup bersama secara harmonis dan natural. Toleransi bukan sekedar katakata dan basa basi. Pemerintah patut malu dengan meledaknya peristiwa menyakitkan ini, dan sepantasnya pula secara terbuka meminta maaf kepada korban relokasi atas kebijakan sesat yang telah dilakukannya.
Kegagapan Elite Agama
Tak dipungkiri bahwa pemicu libido penguasa Sampang untuk segera mengusir penganut Syiah pergi dari tanah kelahirannya tersebut adalah provokasi dari sejumlah tokoh elite paham keagamaan hegemonik yang ada di Pulau Garam itu. Dengan beberapa dalih yang kemudian dijadikan dalil, beberapa elite agama tersebut menebar paham kebencian dengan memanfaatkan agama sebagai tameng pembenaran.
Dalih yang selanjutnya dijadikan dalil memberikan gambaran adanya kegagapan elite agama di dalam menyikapi perbedaan. Padahal semestinya elite-elite agama berkewajiban untuk memberi pencerahan kepada masyarakat agar tidak menjadi umat yang terkungkung dan jumud. Elite agama bersungguh-sungguh membina umatnya masingmasing untuk menjadi generasi yang siap menerima perbedaan secara lapang dada.
Tidak ada jalan lain bagi pemerintah untuk menghapus dosanya kepada warga Syiah Sampang yang terusir dari kampung halamannya, kecuali mengembalikan mereka ke rumahnya masing-masing dan menjamin keamanan mereka. Baik keamanan dalam menjalani kehidupan seharihari, maupun keamanan dalam menjalankan keyakinannya. Yang lebih penting lagi, sudah saatnya para elite agama berkomitmen tidak menjadikan agama sebagai alat untuk menindas kelompok yang dianggap minoritas.
Akhirnya, marilah kita tegakkan budaya toleransi. Jangan lagi ada klaim kebenaran secara monolitik dengan memandang rendah dan memarginalisasi terhadap pemeluk keyakinan yang berbeda. ●
Setelah mengungsi di GOR Tenis Wijaya Kusuma Sampang, 27 Agustus 2012, karena diusir dari kampung halamannya, rumahnya dibakar, dan harta bendanya dirampok, pada 20 Juni 2013 lalu, mereka kembali untuk kedua kalinya terusir dari tanah kelahirannya. Sebanyak 162 orang pengungsi Syiah, yang pascakerusuhan Sampang mendiami GOR Wijaya Kusuma, pada Kamis (20/6) secara tidak langsung diusir secara paksa dari GOR tersebut.
Pada saat itu, ribuan menggelar acara istighasah di tempat pengungsian kaum Syiah tersebut. Kegiatan itu diprakarsai sejumlah tokoh dari Badan Silaturahmi Pondok Pesantren se-Madura (Bassra). Namun tampaknya kegiatan istighasah tersebut hanyalah alat (modus?) untuk mengusir secara halus warga Syiah yang berada di tempat pengungsiannya itu. Bagaimana tidak, di hadapan ribuan orang seusai mengikuti istighasah, salah satu perwakilan Bassra melakukan orasi terbuka yang bernada provokatif.
Dalam orasinya, mereka menolak keyakinan warga Syiah yang menurut persepsi sektariannya sebagai ajaran sesat. Siapa pun bisa menduga terkait tuduhan mereka sebagai ajaran sesat. Apalagi, sebagaimana diberitakan sejumlah koran, mereka menuntut pembersihan Madura dari paham yang dibawa Tajul Muluk (pemimpin kaum Syiah di Sampang). Dampaknya, tidak lama setelah aksi pengusiran secara halus tersebut, terjadi evakuasi terhadap pengungsi dan kemudian direlokasi menuju Rusunawa Pasar Induk Agribisnis (PIA) Jemundo, Sidoarjo.
Tragisnya, relokasi ini ternyata juga belum memberikan kepastian akhir dari penderitaan mereka. Mereka tidak diperlakukan secara normal sebagai warga masyarakat sebagaimana masyarakat lainnya. Aktivitas mereka masih dibatasi, di antaranya tidak diperkenankan keluar dari area pengungsian.
Toleransi yang Tergadaikan
Pengusiran secara halus yang berujung dengan relokasi terhadap penganut Syiah di Madura ke Sidoarjo tersebut sangat disayangkan. Kebijakan merelokasi warga Syiah ke Sidoarjo merupakan gambaran kegagalan pemerintah (khususnya Pemkab Sampang) dalam menegakkan sendi-sendi toleransi, sekaligus bukti ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi tekanan kelompok antitoleransi.
Tidak berlebihan jika kemudian Kelompok Kerja Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Pokja AKBB) Jawa Timur menyebut tindakan relokasi warga Syiah oleh Pemkab Sampang sebagai tindakan yang keji (www.beritasatu.com, 20/06/2013). Dalam persoalan ini, pemerintah secara nyata tidak mampu tampil sebagai pemerintahan adil, yang mau dan mampu mengayomi semua pihak.
Komentar senada juga dilontarkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Dien Syamsuddin. Relokasi bukanlah jalan keluar (solusi) yang tepat. Dalam perspektif konstitusi, rakyat memiliki hak untuk menetap di mana saja di wilayah Tanah Air, apalagi di tanah kelahirannya. Dijelaskan oleh Presiden Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) tersebut, “relokasi secara sepihak dan terpaksa adalah pengabaian dan pengingkaran terhadap prinsip konstitusi.
Seyogianya pemerintah mencari solusi yang berkeadilan. Walaupun warga Syiah berbeda keyakinan dan paham keagamaan dengan mayoritas penduduk, mereka adalah warga negara yang memiliki hakhak yang sama dengan warga negara lain” (Koran Jakarta, 22/06/2013). Mencermati persoalan Sampang ini, dapat disimpulkan bahwa persoalan toleransi, khususnya masalah keyakinan, masih menjadi persoalan serius di Pulau Garam. Karenanya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya harus lebih serius belajar tentang substansi toleransi, kemudian mengajarkan kepada masyarakat yang dipimpinnya tentang pemahaman toleransi yang sebenarbenarnya.
Toleransi bukan sekadar klisedan penghias katakata, toleransi adalah komitmen untuk hidup bersama secara harmonis dan natural. Toleransi bukan sekedar katakata dan basa basi. Pemerintah patut malu dengan meledaknya peristiwa menyakitkan ini, dan sepantasnya pula secara terbuka meminta maaf kepada korban relokasi atas kebijakan sesat yang telah dilakukannya.
Kegagapan Elite Agama
Tak dipungkiri bahwa pemicu libido penguasa Sampang untuk segera mengusir penganut Syiah pergi dari tanah kelahirannya tersebut adalah provokasi dari sejumlah tokoh elite paham keagamaan hegemonik yang ada di Pulau Garam itu. Dengan beberapa dalih yang kemudian dijadikan dalil, beberapa elite agama tersebut menebar paham kebencian dengan memanfaatkan agama sebagai tameng pembenaran.
Dalih yang selanjutnya dijadikan dalil memberikan gambaran adanya kegagapan elite agama di dalam menyikapi perbedaan. Padahal semestinya elite-elite agama berkewajiban untuk memberi pencerahan kepada masyarakat agar tidak menjadi umat yang terkungkung dan jumud. Elite agama bersungguh-sungguh membina umatnya masingmasing untuk menjadi generasi yang siap menerima perbedaan secara lapang dada.
Tidak ada jalan lain bagi pemerintah untuk menghapus dosanya kepada warga Syiah Sampang yang terusir dari kampung halamannya, kecuali mengembalikan mereka ke rumahnya masing-masing dan menjamin keamanan mereka. Baik keamanan dalam menjalani kehidupan seharihari, maupun keamanan dalam menjalankan keyakinannya. Yang lebih penting lagi, sudah saatnya para elite agama berkomitmen tidak menjadikan agama sebagai alat untuk menindas kelompok yang dianggap minoritas.
Akhirnya, marilah kita tegakkan budaya toleransi. Jangan lagi ada klaim kebenaran secara monolitik dengan memandang rendah dan memarginalisasi terhadap pemeluk keyakinan yang berbeda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar