Kamis, 18 Juli 2013

Tak Berdaya atau Tak Berupaya Kendalikan Inflasi

Tak Berdaya atau Tak Berupaya Kendalikan Inflasi
Iman Sugema ;  Ekonom
REPUBLIKA, 15 Juli 2013


Saya sebetulnya sudah hampir bosan membicarakan inflasi, terutama di dalam seminar. Paling banter saya hanya mau bicara inflasi dengan mahasiswa di ruangan kuliah. Bosan karena waktu habis untuk menerangkan kenapa inflasi di Indonesia cenderung liar dibandingkan negara-negara tetangga.

Mengapa inflasi mudah sekali naik dan turun dengan tiba-tiba. Mengapa pemerintah selalu membusungkan dada ketika inflasi turun dan tak pernah merasa bersalah ketika inflasi naik. Mengapa ketika menghadapi puasa dan Lebaran harga-harga cenderung meroket, pada hal di negara-negara maju justru diskon besar-besaran diberikan menjelang Natal dan Tahun Baru.

Tapi, kebosanan itu sirna begitu saya menghadapi pertanyaan yang menggelitik dari seorang peserta di sebuah seminar. Pertanyaannya sederhana, apakah pemerintah tidak berdaya ataukah tak berupaya untuk mengendalikan inflasi?

Pertanyaanya sih sederhana, tetapi jawabannya yang justru sangat rumit. Kesimpul an akhirnya terserah Anda, saya hanya menyajikan beberapa fakta di mana pemerintah tidak berupaya serius dalam mengendalikan inflasi.

Fakta yang pertama, terlalu sedikit barang yang harganya `diatur' oleh pemerintah. Di negeri tetangga Malaysia, ada sekitar 2.015 jenis barang yang harganya diatur pemerintah. Pemerintah paling banter mengatur beberapa harga saja, yaitu bahan bakar minyak (BBM), listrik, angkutan bus, angkutan pedesaan, dan angkutan kota. Di luar itu, kita sulit menemukan adanya pengaturan harga oleh pemerintah. Bahkan, beras sekalipun lebih sering tidak terkendali harganya. Pengalaman di negeri jiran tersebut menunjukkan bahwa rendahnya inflasi bisa dilakukan hanya jika pemerintah bekerja keras untuk menjaga berbagai harga barang tetap stabil.

Fakta yang kedua, pemerintah sendiri justru mencip- takan inflasi. Polemik yang berkepanjangan mengenai kenaikan harga BBM justru telah memicu dua rangkaian inflasi. Rangkaian yang pertama terjadi sebelum keputusan kenaikan harga diumumkan, terutama akibat adanya spekulasi. Yang kedua terjadi sebagai reaksi terhadap kenaikan harga BBM, yaitu berupa kenaikan harga barang-barang secara serentak. Kalaupun ingin menaikkan harga BBM, dampak inflasinya mesti dikelola dengan baik. Minimal rangkaian dam pak yang pertama bisa dihindari. Pengalaman menunjukkan, terlalu berte-telenya pengambilan keputusan merupakan penyebab terjadinya inflasi.

Fakta yang ketiga, dalam beberapa kasus, kebijakan yang tadinya bertujuan untuk mengendalikan inflasi justru menghasilkan hal yang sebaliknya. Contohnya adalah kenaikan harga daging sapi, bawang merah, dan bawang putih. Agar harga tidak melonjak maka pemerintah membuka keran impor daging sapi dan bawang putih. Namun apa yang terjadi? Harga domestik dikendalikan oleh para importir. Kelangkaan artifisial sengaja dicipta kan agar harga terus melambung.

Barang tetap ditumpuk di gudang dan di pelabuhan agar terkesan terjadi kelangkaan. Mengapa begitu? Karena, para importir diperas oleh para penguasa yang Anda tahu sendiri beberapa di antara nya sudah "disekolahkan" di KPK. Karena harus menanggung biaya pemerasan maka para importir kemudian membebankannya kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga.

Fakta yang keempat, beberapa komponen inflasi memiliki sifat siklikal musiman. Sebagai contoh adalah kenaikan harga barang menjelang Lebaran, kenaikan harga pangan pada musim kemarau, kenaikan harga sayuran pada saat musim penghujan, dan banyak hal lainnya lagi. Karena ada komponen siklikal maka kita dapat dengan mudah memperkirakan kapan inflasi akan terjadi. Karena kita tahu kapan maka kita dapat membuat kebijakan antiinflasi sebelum inflasi itu sendiri terjadi. Tapi, apa yang terjadi? Setiap menjelang Lebaran, pasti harga melonjak. Setiap musim kering harga padi-padian pasti meroket. Setiap musim basah pasti harga cabai dan bawang melonjak.

Beberapa bulan terakhir dan beberapa bulan yang akan datang, tampaknya tekanan inflasi akan terus melangsung. Bermula dari kenaikan harga daging dan bawang putih yang dipicu kongkalikong impotir dengan penguasa, disusul dengan kenaikan harga BBM, dampak dari puasa dan Lebaran, tahun ajaran baru, dan musim basah yang ber kepanjangan. Semua itu bu kan karena pemerintah tidak berdaya, tapi memang hampir tanpa upaya. Belum lagi di tambah dengan kegagalan Bank Indonesia dalam mengendalikan nilai kurs yang cenderung mengalami pelemahan.

Seringkali kita di kampus memberikan pelatihan dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Tapi, saya sendiri sebagai orang kampus lupa bahwa yang paling substantif adalah "memberdayakan dan menggerakkan" pemerintah. Bagaimana kita bisa memberdayakan masyarakat kalau pemerintahnya sendiri tidak mau bergerak? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar