|
KORAN
TEMPO, 23 Juli 2013
“Kita harus
menolak segala bentuk pemikiran kerdil dari negarawan gadungan dan mengkhianati
reformasi serta ingin memutar arah jarum jam dengan mendelegitimasi KPK demi
menutup borok sejumlah petinggi partainya yang terlibat korupsi.”
Seiring dengan semakin kuatnya komitmen untuk membangun
peradaban berkualitas, setiap elemen yang mampu berkontribusi, berprestasi
dalam mendukung kemajuan peradaban, lazimnya diberi penghargaan (reward). Sebaliknya, pihak yang
bertindak kontraproduktif dan menghambat proses kemapanan umumnya diganjar
dengan hukuman (punishment). Namun
formulasi universal ini tampaknya mengalami pembiasan kalau bukan penyimpangan
dalam pemberantasan korupsi. Betapa tidak, sebab, ketika Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) mengemban tugas dengantegas dan prestisius, tidak hanya tak
mendapatkan reward, tapi malah mendapat cacian, hujatan, bahkan ancaman
penggembosan, pemangkasan wewenang, hingga pembubaran.
Jika memang suara sumbang itu tercetus dari para koruptor
dan agen mafia hukum, tentu dapat dimengerti. Namun sangat ironis jika sikap
sinis seperti itu justru lahir dari sejumlah legislator yang dalam orasi
politiknya mengklaim diri sebagai pro-pemberantasan korupsi. Mereka
berkonspirasi untuk melemahkan KPK dengan agenda mengubah UU Nomor 30 Tahun
2002 tentang KPK. Salah satu dosa besar KPK, menurut mereka, adalah penekanan
penggunaan otoritas di bidang penindakan tak berbanding lurus dengan menurunnya
angka korupsi. Dengan skema pengejawantahan fungsi seperti ini, KPK dinilai
gagal mewujudkan pemberantasan korupsi, tetapi malah mengobarkan api permusuhan
dengan lembaga penyelenggara negara lainnya, lantaran sejumlah fungsionaris
lembaga dimaksud terjerat pukat KPK.
Tak hanya itu, kewenangan KPK dalam bentuk superbody dianggap kebablasan, terjadi
penumpukan kekuasaan yang sangat besar. Di mana hal seperti ini rentan terjadi
abuse of power. Karena itu, mereka menuntut agar fungsi pencegahan lebih
dioptimalkan ketimbang bidang penindakan. Tuntutan seperti ini penulis nilai
diskriminatif dan tendensius, karena bukankah kewenangan DPR sendiri
pasca-reformasi jauh lebih dominan daripada eksekutif. Fakta menunjukkan bahwa
tingkat penyalahgunaan wewenang dalam bentuk rekayasa legislasi dan budgeting
justru terjadi di lingkungan legislatif.
Demikian pula dalam bidang penegakan hukum secara umum,
juga mengalami hal yang sama. Tengoklah tingkat kejahatan, khususnya narkoba
dan terorisme, yang justru semakin meningkat ketika lembaga penegak hukum
seperti BNN dan Densus 88 dibentuk. Tapi mengapa hanya KPK yang menjadi sasaran
tembak? Padahal, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, masyarakat di semua
tingkatan merasakan betapa buruknya kinerja Polri, kejaksaan, maupun pengadilan
dalam penegakan hukum. Bahkan sudah menjadi rahasia umum terpotret sejumlah
kasus yang ditangani ketiga penegak hukum tersebut sarat dengan intrik
permainan, di mana kasus itu berlanjut, diperberat atau sebaliknya, ditentukan
oleh kompromi yang berlapiskan transaksi.
Jika mereka memang konsisten menegakkan hukum berbalut
keadilan dan HAM, maka yang paling layak dipersoalkan adalah penegakan hukum
atas terorisme dan narkoba. Selain memperlakukan tersangka, khususnya teroris,
sangat tak manusiawi, putusan pengadilan terbukti sangat keras. Tak sedikit
yang divonis pidana mati, paling ringan hukuman penjara 4 tahun. Bandingkan
dengan pemberantasan korupsi, kita belum pernah mendengar ada koruptor yang
divonis mati, apalagi ditembak di tempat seperti tersangka teroris atau
narkoba.
Jika mangkir dari panggilan KPK, mereka malah dijemput
dengan kendaraan yang terbilang mewah untuk menempati sel tahanan KPK dengan
fasilitas yang jauh berbeda dengan tahanan terorisme atau narkoba. Celakanya,
karena kebijakan luhur KPK seperti itu, malah dianggap tak adil. Mereka
mendekonstruksi kewenangan KPK, karena memperlakukan koruptor seperti pencuri.
Di sinilah terjadi kerancuan. Sebab, maling ayam saja sering menerima vonis
secara berganda, tapi mengapa koruptor yang mencuri uang rakyat dengan skala
besar justru mendapat vonis ringan?
Paradoksnya, karena KPK tetap dituntut untuk berfokus ke
bidang pencegahan dan memperkecil penindakan. Padahal sudah sering terdengar
suara ketidakpuasan publik terhadap kinerja sejumlah lembaga negara, seperti
Komnas HAM, Kompolnas, KPAI, dan Komnas Perempuan. Lembaga-lembaga ini tak
dapat mewujudkan ekspektasi publik secara optimal, karena kewenangan untuk
melakukan penanganan kasus cenderung dibatasi hanya pada tingkat prevensi.
Komisi Yudisial, yang pernah menjadi primadona bagi hakim "nakal",
kini lesu dan tak bergigi ketika Mahkamah Konstitusi menghilangkan kewenangan represifnya
dalam UU Nomor 22 Tahun 2004. Lantas, di mana relasi urgensitas komitmen
pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya jika KPK hanya berbekal kewenangan
di bidang prevensi? Bukankah tugas seperti itu lebih produktif dan efektif jika
diperankan oleh LSM seperti ICW (Indonesia
Corruption Watch).
Boleh jadi, gagasan penghilangan bidang penindakan demi
memperkuat fungsi pencegahan pada KPK memang bertujuan untuk meng-LSM-kan KPK
sebagaimana lembaga-lembaga negara lainnya. Dengan formasi seperti itu, seluruh
agenda yang menjadi kepentingan penggagas yang cenderung korup berlangsung
mulus, aman tanpa ada yang merecoki. Jika demikian halnya, kita pun patut
menuntut reformasi di lingkup legislatif dengan tekanan pada penguatan
kedudukan Dewan Perwakilan Daerah sebagai majelis tinggi dengan wewenang
menolak atau menerima undang-undang yang telah disahkan oleh DPR. Dengan
struktur otoritas seperti ini, kewenangan DPR yang sangat besar dapat
diimbangi.
Namun penulis yakin gagasan seperti ini pasti ditolak
mayoritas legislator DPR, karena mereduksi kewenangannya. Mereka tak ingin ada
lembaga negara seperti KPK menandingi kekuasaan, apalagi jika berani
mengkriminalkannya. Karena ingin tetap mempertahankan kekuasaan tanpa predator,
tak mengherankan jika kebanyakan legislator bersikap arogan, egois, dan
kebablasan. Hal ini tercermin dalam talkshow
yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta pada 9 Juli lalu. Sang
legislator yang dikenal vokal tampil all
out dengan lontaran tuduhan kepada KPK yang bernada sumbang dan sombong.
Kita semua tentu merasa geli menyaksikan tipikal legislator yang cenderung
temperamen serta hanya memanfaatkan jabatan untuk membela secara membabi-buta
koleganya yang tersandung jerat KPK.
Anehnya, ia menghantam KPK dengan kutipan ayat suci sebagai
pembuka aib, padahal ia sendiri juga melanggar ayat yang sama dengan ikut
mencaci-maki KPK. Parahnya lagi, ia menolak KPK sebagai lembaga yang bebas dari
intrik, tapi lupa bahwa petinggi partainya tak luput dari sifat manusia yang
bisa korup. Apakah legislator yang agamis ini lupa akan hadis nabi tentang
ancaman potong tangan bagi Fatimah, jika terbukti mencuri, meski Fatimah putri
Nabi. Kita harus menolak segala bentuk pemikiran kerdil dari negarawan gadungan
dan mengkhianati reformasi serta ingin memutar arah jarum jam dengan
mendelegitimasi KPK demi menutup borok sejumlah petinggi partainya yang
terlibat korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar