|
KOMPAS,
08 Juli 2013
Sidang itsbat untuk menetapkan awal
Ramadhan 1434 H diadakan hari ini, Senin, 8 Juli 2013. Akan tetapi karena
ketinggian hilal masih rendah di atas ufuk, pemerintah yang menetapkan
berdasarkan hisab dan rukyat kemungkinan akan menetapkan awal puasa Ramadhan
jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013.
Ketetapan ini
berbeda dengan Muhammadiyah yang telah menetapkan awal Ramadhan jatuh pada
Selasa, 9 Juli 2013 (Kompas, 3/7).
Dalam memahami
dan menginterpretasikan hadis-hadis nabi seputar hisab-rukyat, umat Islam
mengalami perbedaan pendapat. Perbedaan tidak hanya dalam wacana, tetapi
sekaligus implikasinya dalam penetapan awal bulan kamariah.
Di Indonesia,
perbedaan itu sudah lama terjadi, sejak setengah abad yang lalu, sehingga
mengakibatkan keyakinan hisab rukyat telah mengakar kuat. Bahkan adakalanya perbedaan
dalam penetapan awal bulan kamariah tidak hanya selang sehari, tetapi bisa
hingga 3-4 hari.
Perbedaan
pendapat tentang hilal serta implikasinya dalam penetapan awal bulan kamariah
akhirnya memunculkan perselisihan di kalangan umat Islam. Keadaan ini memicu
terjadinya disharmonitas dan merusak ukhuwah Islamiah. Padahal, tidak ada
kebenaran mutlak atas sifat ijtihadiyah, sifatnya terkadang temporal dan
situasional.
Hisab dan rukyat
Diskursus
masalah hisab-rukyat selalu menghangat di setiap menjelang awal Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah. Permasalahan-permasalahan yang selalu jadi perdebatan
adalah mengenai legalitas hisab, uji validalitas antara hisab dan rukyat, serta
imkan rukyat dan wujudul hilal, hukum syari rukyat apakah
sebagai ta’abbudi ataukah ta’aqquli dan permasalahan ulil
amri kaitannya dengan ketetapan awal bulan versi pemerintah dalam pelaksanaan
sidang itsbat.
Di masa
Rasulullah, metode penetapan awal bulan kamariah didasarkan pada laporan
rukyat. Rukyat (observasi) merupakan metode dasar dalam disiplin ilmu ilmiah
alamiah, sehingga metode rukyat jadi pilihan rasional mengingat peradaban
bangsa Arab saat itu yang masih sangat sederhana.
Ini kemudian
dipahami sebagai illat atas hadis Nabi yang menerangkan sebagai
bangsa yang ummi. Rukyat pun dipahami sebagaita’aqquli karena rukyat
merupakan wasilah (sarana) dalam mengetahui eksistensi waktu dan bukan tujuan
ibadah itu sendiri. Adapun masalah ta’abbudi adalah prosesi
pelaksanaan puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Inilah yang mendasari pendapat hisab.
Permasalahan
hisab dan rukyat merupakan akibat perbedaan dalam memahami dan
menginterpretasikan hadits suumu liru’yatihiwaaftiru liru’yatihi.
Sebagian
memahami hilal secara tradisi, yaitu rukyat sebagai satu-satunya metode yang
digunakan dalam menetapkan awal bulan, sedangkan sebagian yang lain memahami
secara substansinya, yaitu hilal sebagai pedoman perhitungan kalender dan
mengetahui bilangan waktu ibadah.
”Ulil amri”
Permasalahan
lain yang selalu mengemuka dalam perdebatan adalah masalah ulil
amri (pemimpin). Sesungguhnya ketetapan mengikuti ulil
amri sudah jelas sebagai sebuah kewajiban karena sudah di-nash-kan secara
jelas. Namun, yang menjadi persoalan adalah dalam ranah praktis terkait
pemegang kekuasaan sebagai ulil amri.
Di sebagian
besar negara Islam atau dengan penduduk mayoritas Islam, ketetapan awal bulan
kamariah diambil kuasa oleh mufti. Mufti ditunjuk atas keunggulan
intelektualitas dalam agama serta keanggunan moralitas dalam beragama. Berbeda
dengan di Indonesia yang ditunjuk berdasarkan keputusan presiden, sehingga
pemegang otoritas tersebut adalah pejabat politik. Di Mesir, satu Syawal
diputuskan oleh Grand Mufti, sedangkan Menteri Agama hanya mengikuti.
Kaidah hukmul hakim ilzamun
wayarfatul khilaf tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan otoritas
agama menjadi milik Kementerian Agama dan kewajiban mengikuti ketetapan
Kemenag. Pasalnya, kaidah tersebut hanya berlaku di negara yang berbentuk
negara agama (negara Islam), sehingga jelas secara konstitusi otoritas agama
berada di tangan negara dan konstitusi dibuat berdasarkan syariat agama.
Selain itu
harus dipahami bahwa ketetapan Rasulullah SAW sebagai pusat tunggal dalam
pelaporan hasil rukyat dan mengumumkannya adalah sebagai nabi dan kepala
negara.
Dalam
konstitusi yang dianut Indonesia adalah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,
yang mengatur kebebasan beragama dalam pasal 29. Dengan kata lain, apabila
pemerintah hendak menetapkan kesatuan otoritas penetapan awal bulan, maka harus
terlebih dahulu mengubah UUD 1945 tentang kebebasan beragama (yang diakui
negara). Apalagi, menurut amendemen UUD 1945, MPR tidak lagi diposisikan
sebagai pemegang kedaulatan rakyat, tetapi di tangan rakyat berdasarkan UUD
1945.
Jadi jelas bahwa
sikap pengambilalihan otoritas keyakinan keagamaan yang seharusnya tidak boleh
diintervensi akan mencederai UUD 1945, terutama pasal 29. Selain itu, menarik
apabila orang yang tidak berpuasa saja tidak dilarang, mengapa yang berbeda
dalam memulai puasa dipermasalahkan?
Pemerintah
tidak dapat mengintervensi permasalahan pemahaman terhadap nash dan
keyakinan beragama karena bukan wilayahnya. Akan tetapi, bukan berarti
pemerintah tidak berwenang menyelenggarakan sidang itsbat dan memberikan
keputusan. Hanya saja, keputusan itu bukan yang bersifat mengikat sebagai
sebuah ketetapan tunggal, melainkan hanya sebatas kebutuhan administrasi negara
untuk menetapkan hari libur nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar