|
JAWA
POS, 22 Juli 2013
PUKUL 9.30 malam,
setelah menggembok sepeda, saya masuk ke sebuah bangunan di Kota Den Haag. Di
dinding luarnya tertulis "Laak Kapel". Saya lepaskan sandal buatan
Indonesia di pintu masuk. Tak ada air suci di pintu masuk. Saya langkahkan kaki
di atas karpet baru. Mata saya menerawang ke langit-langit dan dinding putih.
Pikiran sya teringat gereja Katolik di Indonesia. Tapi, tak ada kisah
penyalibanYesus di bangunan ini. Tak ada altar, hanya beberapa umat tua yang
menghadap dinding bekas salib yang sudah berganti jam dinding.
Pukul 10.05, setelah bersuci, kami beribadah malam. Tak ada orang Indonesia selain saya. Pukul 12.02, saya kembali bersuci setelah tertidur di lantai atas. Ini adalah ibadah malam yang kedua. "Apakah setelah ini ada ibadah lanjutan?" tanya saya ke beberapa umat Maroko. "Tidak," jawab mereka.
Saya melanjutkan ibadah sendiri menghadap pilar putih. Kali ini saya merasakan gerakan yang lambat. Khusyuk? Ah, mungkin karena badan saya lelah. Dalam sujud terakhir, saya doakan ibu, bapak, dan seluruh anggota keluarga. Sudah dini hari. Saya lepaskan gembok sepeda. Udara dingin Kota Den Haag menemani saya pulang ke rumah untuk bersiap bangun pukul 3.00, sahur!
Dulu di Indonesia ibu adalah orang yang pertama bangun. Beliau kemudian memasak menu sahur untuk seluruh anggota keluarga. Sahur kali ini, menu saya adalah ayam goreng yang saya beli di pusat Kota Den Haag. Harganya tiga euro (sekitar Rp 39 ribu), berisi dua potong ayam plus nasi kuning dan salad. Tapi, satu potong ayam sudah saya makan ketika siang hari. Jadi, tinggal satu potong yang saya masukkan ke microwave.
Tak ada suara azan di Belanda. Azan dikumandangkan dengan pengeras suara yang dipasang di dalam masjid seperti di bekas gereja "Laak" tempat saya menunaikan salat Magrib, Isya, dan Tarawih. Setelah membuang sisa makanan ke tempat sampah, saya melihat jam, sudah lewat pukul 3.30 pagi. Wah, artinya ketika sahur, azan subuh sudah berkumandang.
Lama puasa dalam sehari di Indonesia sekitar 13 jam. Di Belanda? Lebih dari 18 jam karena pas musim panas. Sejak beberapa hari lalu, cuaca panas di Den Haag membuat banyak orang menikmati kehidupan di luar rumah. Di puasa hari pertama ini (9 Juli 2013), saya diajak seorang sahabat Belanda untuk menikmati "Parade", sebuah acara hiburan rakyat di dekat pantai Scheveningen, Den Haag. Di depan pintu masuk, kami menunggu seorang teman Belanda yang berdarah Karibia.
Setelah bertemu, kami berkeliling tenda. Nuansanya mirip seperti pasar sekaten di Alun-Alun Kota Jogja. Bedanya: tempatnya tidak begitu luas, mayoritas yang datang adalah orang Belanda kulit putih, banyak tenda pertunjukan teater, beragam restoran dan kafe. Juga, tentu saja, bir! Saya persilakan teman saya untuk minum dan menikmati makan malam. Saya tahu mereka merasa tidak enak. Namun, jujur, saya tidak berkeberatan.
Pukul 9.30 malam, saya memasak nasi dan menumis sayur pakcoy. Pukul 10.10, saya berbuka puasa, terlambat lima menit, bukan karena tak ada suara azan, tapi karena terlalu asyik menulis pengalaman ini. Selamat berpuasa, Indonesia! ●
Pukul 10.05, setelah bersuci, kami beribadah malam. Tak ada orang Indonesia selain saya. Pukul 12.02, saya kembali bersuci setelah tertidur di lantai atas. Ini adalah ibadah malam yang kedua. "Apakah setelah ini ada ibadah lanjutan?" tanya saya ke beberapa umat Maroko. "Tidak," jawab mereka.
Saya melanjutkan ibadah sendiri menghadap pilar putih. Kali ini saya merasakan gerakan yang lambat. Khusyuk? Ah, mungkin karena badan saya lelah. Dalam sujud terakhir, saya doakan ibu, bapak, dan seluruh anggota keluarga. Sudah dini hari. Saya lepaskan gembok sepeda. Udara dingin Kota Den Haag menemani saya pulang ke rumah untuk bersiap bangun pukul 3.00, sahur!
Dulu di Indonesia ibu adalah orang yang pertama bangun. Beliau kemudian memasak menu sahur untuk seluruh anggota keluarga. Sahur kali ini, menu saya adalah ayam goreng yang saya beli di pusat Kota Den Haag. Harganya tiga euro (sekitar Rp 39 ribu), berisi dua potong ayam plus nasi kuning dan salad. Tapi, satu potong ayam sudah saya makan ketika siang hari. Jadi, tinggal satu potong yang saya masukkan ke microwave.
Tak ada suara azan di Belanda. Azan dikumandangkan dengan pengeras suara yang dipasang di dalam masjid seperti di bekas gereja "Laak" tempat saya menunaikan salat Magrib, Isya, dan Tarawih. Setelah membuang sisa makanan ke tempat sampah, saya melihat jam, sudah lewat pukul 3.30 pagi. Wah, artinya ketika sahur, azan subuh sudah berkumandang.
Lama puasa dalam sehari di Indonesia sekitar 13 jam. Di Belanda? Lebih dari 18 jam karena pas musim panas. Sejak beberapa hari lalu, cuaca panas di Den Haag membuat banyak orang menikmati kehidupan di luar rumah. Di puasa hari pertama ini (9 Juli 2013), saya diajak seorang sahabat Belanda untuk menikmati "Parade", sebuah acara hiburan rakyat di dekat pantai Scheveningen, Den Haag. Di depan pintu masuk, kami menunggu seorang teman Belanda yang berdarah Karibia.
Setelah bertemu, kami berkeliling tenda. Nuansanya mirip seperti pasar sekaten di Alun-Alun Kota Jogja. Bedanya: tempatnya tidak begitu luas, mayoritas yang datang adalah orang Belanda kulit putih, banyak tenda pertunjukan teater, beragam restoran dan kafe. Juga, tentu saja, bir! Saya persilakan teman saya untuk minum dan menikmati makan malam. Saya tahu mereka merasa tidak enak. Namun, jujur, saya tidak berkeberatan.
Pukul 9.30 malam, saya memasak nasi dan menumis sayur pakcoy. Pukul 10.10, saya berbuka puasa, terlambat lima menit, bukan karena tak ada suara azan, tapi karena terlalu asyik menulis pengalaman ini. Selamat berpuasa, Indonesia! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar