|
KOMPAS,
14 Juli 2013
Memasuki bulan
puasa jadi ingat peristiwa setahun lalu, di mana persis pada bulan puasa pula, kami
warga Persatuan Gerak Badan Bangau Putih menyelenggarakan retreat di
Pantai Nyanyi, Tabanan, Bali. Acara waktu itu diikuti 150 peserta, sebagian
besar berasal dari negara lain, seperti Jerman, Perancis, Italia, Amerika, dan
Australia.
Para pelatih
dari pusat perguruan di Bogor hampir semuanya berpuasa. Puasa tak menghalangi
para pelatih memimpin latihan silat dengan intensitas tinggi. Berlangsung
selama hampir dua minggu, setiap hari latihan dari pagi sampai sore. Malam
selalu ada diskusi, biasanya dilanjutkan dengan reriungan sampai tengah malam.
Teringat, puasa
justru menemukan bentuk operasionalnya yang konkret lewat olah tubuh berupa apa
yang disebut sebagai pengendalian diri, pengendalian emosi. Kematangan sejumlah
gerak hanya bisa dicapai dengan prasyarat terkuasainya emosi. Dalam doktrin
perguruan: sanggup menguasai diri.
Lewat latihan
berpasangan, bisa terpahami, usaha menjatuhkan pasangan berlatih melalui baik
tangan, pundak, pinggang, maupun kaki akan sia-sia jika disertai ambisi
berlebihan. Paduan isi-kosong, refleksi kesadaran atas alam, yakni ruang dan
waktu, itulah asasnya. Seperti paradoks kehidupan: kosong itu isi, isi itu
kosong. Mana ada kesempatan lebih baik, melakukan itu semua tatkala berpuasa,
di pantai yang sangat indah, Pantai Nyanyi.
Pengendalian
diri, dengan sesuatu yang sangat empirik, yaitu tubuh (adakah yang lebih
empirik dari tubuh kita?), makin terasa relevan kalau mengingat betapa makin
sempit apa yang namanya jarak sekarang ini. Dikarenakan oleh kemajuan
teknologi, Thomas Friedman menyebut ”the world is flat”. Tak ada beda waktu
lagi antara Trenggalek dan New York.
Sejatinya,
menyempitnya jarak tidak terbatas pada sekadar jarak fisik seperti disimpulkan
oleh Friedman, melainkan juga jarak keinginan manusia. Kita hidup dalam lingkungan
yang menjejali kita dengan kesadaran baru bahwa segala sesuatu sebaiknya
terselenggara seketika. Mau jadi kaya ikutlah segala hal yang mengandung
kegiatan berhadiah jutaan rupiah. Mau bukti efektivitas keyakinan, ikut kursus
motivasi dan pengembangan kepribadian. Tahu bintang bola Cristiano Ronaldo di
Bali, segeralah berangkat ke Bali. Siapa tahu bisa numpang ngetop.
Selain
menjadikan manusia makin dangkal, ketiadaan jarak antara keinginan dan
terpenuhinya keinginan membuat orang mengabaikan proses. Sejumlah pemikir sudah
mengingatkan ini jutaan kali. Dulu untuk memiliki baju baru orang menunggu
Lebaran. Sepatu baru nunggu naik kelas. Banyak di antara kita masih
mengalami ini, tapi sebagian lagi sudah hanyut oleh arus konsumsi, jorjoran
kemewahan seperti ditunjukkan dalam wujud paling banal oleh para pengacara,
artis, dan politisi.
Saya jadi ingat
buku Our Posthuman Future oleh
Francis Fukuyama. Ia mengutip Brave
New World oleh Aldous Huxley yang terbit tahun 1932. Huxley waktu itu
memberikan gambaran masa depan manusia, di mana proses benar-benar sudah tak
ada lagi. Kemajuan teknologi dilukiskannya telah membuat hidup manusia enak
belaka: sakit sirna, merana karena rindu hilang, depresi lenyap, seks tersedia
kapan saja. Gambarannya, tanpa keterdebaran menanti.
Apakah dengan
itu—begitu berbagai ulasan yang muncul setelah buku tadi terbit—hidup manusia
berarti lebih baik? Apakah bukan sebaliknya, manusia justru kehilangan
kemanusiaannya? Tak berlebihan, Fukuyama mengutip untuk membuka bukunya, yang
membahas masa depan manusia di tengah konsekuensi kemajuan bioteknologi.
Agar
kemanusiaan selamat, menurut hemat saya yang bodoh ini, manusia perlu puasa
untuk bisa merasakan nikmatnya makan, perlu sesekali sakit biar tahu manfaat
sehat, perlu kesepian biar sadar ada yang kita cintai yang tengah di luar kota,
dan seterusnya. Itu semua niscaya hanya terpahami dengan penghayatan terhadap
proses. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar