Kamis, 18 Juli 2013

Sanggup Menguasai Diri

Sanggup Menguasai Diri
Bre Redana  ;   Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 14 Juli 2013


Memasuki bulan puasa jadi ingat peristiwa setahun lalu, di mana persis pada bulan puasa pula, kami warga Persatuan Gerak Badan Bangau Putih menyelenggarakan retreat di Pantai Nyanyi, Tabanan, Bali. Acara waktu itu diikuti 150 peserta, sebagian besar berasal dari negara lain, seperti Jerman, Perancis, Italia, Amerika, dan Australia.
Para pelatih dari pusat perguruan di Bogor hampir semuanya berpuasa. Puasa tak menghalangi para pelatih memimpin latihan silat dengan intensitas tinggi. Berlangsung selama hampir dua minggu, setiap hari latihan dari pagi sampai sore. Malam selalu ada diskusi, biasanya dilanjutkan dengan reriungan sampai tengah malam.
Teringat, puasa justru menemukan bentuk operasionalnya yang konkret lewat olah tubuh berupa apa yang disebut sebagai pengendalian diri, pengendalian emosi. Kematangan sejumlah gerak hanya bisa dicapai dengan prasyarat terkuasainya emosi. Dalam doktrin perguruan: sanggup menguasai diri.
Lewat latihan berpasangan, bisa terpahami, usaha menjatuhkan pasangan berlatih melalui baik tangan, pundak, pinggang, maupun kaki akan sia-sia jika disertai ambisi berlebihan. Paduan isi-kosong, refleksi kesadaran atas alam, yakni ruang dan waktu, itulah asasnya. Seperti paradoks kehidupan: kosong itu isi, isi itu kosong. Mana ada kesempatan lebih baik, melakukan itu semua tatkala berpuasa, di pantai yang sangat indah, Pantai Nyanyi.
Pengendalian diri, dengan sesuatu yang sangat empirik, yaitu tubuh (adakah yang lebih empirik dari tubuh kita?), makin terasa relevan kalau mengingat betapa makin sempit apa yang namanya jarak sekarang ini. Dikarenakan oleh kemajuan teknologi, Thomas Friedman menyebut ”the world is flat”. Tak ada beda waktu lagi antara Trenggalek dan New York.
Sejatinya, menyempitnya jarak tidak terbatas pada sekadar jarak fisik seperti disimpulkan oleh Friedman, melainkan juga jarak keinginan manusia. Kita hidup dalam lingkungan yang menjejali kita dengan kesadaran baru bahwa segala sesuatu sebaiknya terselenggara seketika. Mau jadi kaya ikutlah segala hal yang mengandung kegiatan berhadiah jutaan rupiah. Mau bukti efektivitas keyakinan, ikut kursus motivasi dan pengembangan kepribadian. Tahu bintang bola Cristiano Ronaldo di Bali, segeralah berangkat ke Bali. Siapa tahu bisa numpang ngetop.
Selain menjadikan manusia makin dangkal, ketiadaan jarak antara keinginan dan terpenuhinya keinginan membuat orang mengabaikan proses. Sejumlah pemikir sudah mengingatkan ini jutaan kali. Dulu untuk memiliki baju baru orang menunggu Lebaran. Sepatu baru nunggu naik kelas. Banyak di antara kita masih mengalami ini, tapi sebagian lagi sudah hanyut oleh arus konsumsi, jorjoran kemewahan seperti ditunjukkan dalam wujud paling banal oleh para pengacara, artis, dan politisi.
Saya jadi ingat buku Our Posthuman Future oleh Francis Fukuyama. Ia mengutip Brave New World oleh Aldous Huxley yang terbit tahun 1932. Huxley waktu itu memberikan gambaran masa depan manusia, di mana proses benar-benar sudah tak ada lagi. Kemajuan teknologi dilukiskannya telah membuat hidup manusia enak belaka: sakit sirna, merana karena rindu hilang, depresi lenyap, seks tersedia kapan saja. Gambarannya, tanpa keterdebaran menanti.
Apakah dengan itu—begitu berbagai ulasan yang muncul setelah buku tadi terbit—hidup manusia berarti lebih baik? Apakah bukan sebaliknya, manusia justru kehilangan kemanusiaannya? Tak berlebihan, Fukuyama mengutip untuk membuka bukunya, yang membahas masa depan manusia di tengah konsekuensi kemajuan bioteknologi.
Agar kemanusiaan selamat, menurut hemat saya yang bodoh ini, manusia perlu puasa untuk bisa merasakan nikmatnya makan, perlu sesekali sakit biar tahu manfaat sehat, perlu kesepian biar sadar ada yang kita cintai yang tengah di luar kota, dan seterusnya. Itu semua niscaya hanya terpahami dengan penghayatan terhadap proses. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar