|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Apakah sekarang ini saat yang
menyedihkan bagi dunia cetak dengan terjadinya evolusi digital? Sirkulasi
menurun, penerbit lain semisal ”Newsweek” yang sudah berusia 80 tahun
meninggalkan edisi cetak. Banyak perusahaan di media cetak mengurangi jumlah
karyawan sejalan dengan munculnya tablet iPad. Bahkan, puluhan media cetak
tutup, dan mesin cetak dijual murah di Amerika.
Era digital untuk media massa
dimulai tahun 1990-an ketika pemakaian internet bertambah populer. Media cetak
lantas memanfaatkan teknologi internet itu menjangkau pembaca yang lebih luas
dan beragam. Makin hari perkembangan teknologi digital makin tak terbatas.
Menjangkau semua aspek kehidupan. Era digital yang sangat masif ini, bagi yang
bisa memanfaatkan, sangat menguntungkan dan mengefisienkan kehidupan. Sepuluh
tahun yang lalu, membayar tagihan telepon seluler mungkin bisa mencapai jutaan
rupiah.
”Sekarang, dengan banyaknya
aplikasi gratis di Android dan IOS, saya dapat berkomunikasi SMS maupun telepon
dengan istri saya yang berada di Surabaya secara gratis. Paling saya hanya
habis Rp 100.000 untuk smartphone,” kata Dwi Kumoro, karyawan swasta di
Jakarta, yang sehari-hari memakai telepon pintar HTC.
Dua tahun lalu, setelah memiliki
telepon pintar itu, Dwi lantas mengenal Skype, Facebook, dan Yahoo untuk
melakukan komunikasi gratis tanpa batas. Terakhir, dia juga mengunduh aplikasi
Viber, Tango, dan Line.
Di dunia internasional, banyak yang
mengenal desainer media cetak Mario Garcia yang menjadi konsultan dari lebih
dari 500 penerbitan cetak. Bagi Garcia, gangguan-gangguan digital (digital disruptions), begitu istilah
James McQuivey, yang terjadi sekarang ini sungguh menggairahkan.
”Saya sudah berkecimpung di
industri pers ini selama 40 tahun. Saya lahir sebagai orang yang menggeluti
media cetak, tetapi bahkan seandainya di dalam darah Anda mengalir tinta, saat
ini momentum terbaik untuk perkembangan media,” katanya ketika berbicara dalam Forum Editor Dunia di Kiev, Ukraina,
tahun lalu.
Kemajuan teknologi informasi yang
dinikmati masyarakat modern memunculkan tantangan dan cara baru dalam berpikir.
Karena itu, lanjut Garcia, penting bagi editor untuk meninjau ulang bagaimana
cara pembaca atau audiens mengonsumsi
konten surat kabar.
”Mungkin sekali pelanggan mulai
dengan membaca berita di koran cetak pagi hari di rumah, meneruskan bacaan itu
dengan membuka telepon pintar selama perjalanan ke kantor, dan mengakhiri
bacaan itu di sela-sela kesibukan pekerjaan dengan membuka desktop PC
(personal computer),” ujarnya.
Pola membaca tersebut tentu saja
berbeda-beda di setiap negara. Untuk negara maju seperti negara-negara di Eropa
dan Amerika Serikat yang mempunyai infrastruktur internet memadai dan moda
transportasi massa yang nyaman, gaya hidup seperti yang dikatakan Garcia bisa
jadi sesuai. Di Asia atau Afrika, konsep tersebut perlu disesuaikan dengan
bagaimana masyarakat dan pemerintahan mereka menyerap kemajuan teknologi
digital.
Mei lalu, sekelompok kecil editor
senior WAN (World Association of
Newspapers and News Publishers) IFRA mengunjungi salah satu koran
Swedia, Aftonbladet. Koran ini sudah melakukan reorganisasi serta restrukturisasi newsroom dengan prioritas platform digital. Redaktur pelaksana
koran berbentuk tabloid dengan oplah 310.000 eksemplar per hari itu, Marica
Finnsiö, mengungkapkan, ada kegairahan besar para wartawan yang kini bekerja
secara multitasking untuk
mencari berita sekaligus video.
”Kami terus melakukan pendidikan
untuk meningkatkan keterampilan reporter. Selain menulis berita, banyak
reporter yang melengkapi dengan video dan mengedit serta memberi suara,” kata
Finnsiö.
Aftonbladet merupakan salah satu
contoh koran Eropa yang berhasil memanfaatkan digital disruptions. Tahun 2012, pelanggan digital sudah
mencapai 160.000 orang dan pendapatan iklan online meningkat 18 persen. Sukses menuju digital yang dinikmati media yang lahir tahun 1830 ini tidak melalui
jalan mulus. Mereka melakukan banyak trial
and error dan selalu menyesuaikan dengan keadaan lingkungan.
Menurut Annelies van den Belt, CEO
SUP Digital, media online yang berbasis di Moskwa, ”Digital is not the goal, it is all about
the journey (digital bukan
merupakan tujuan akhir, semua itu mengenai penjelajahan).”
Ia bilang begitu karena masuk dalam
dunia digital itu berarti harus berani jatuh dan bangun, bangkit lagi mencari
jalan yang terbaik terus-menerus.
Van den Belt tahun 1990, saat
menjabat sebagai pemimpin umum di Moskow Times, berpikir keras
tentang persoalan konten gratis atau berbayar di online, sesuatu yang
sampai sekarang terus menjadi perdebatan.
”Kita perlu menimbang dengan
saksama kualitas konten yang kita buat dan terutama apa yang akan kita produksi
apabila kita memakai sistem berbayar (paywall), dan akhirnya kita memutuskan
untuk memakai paywall.”
Tahun 2000-2005, Van den Belt
memimpin divisi online The Times dan Sunday Times di
Inggris, waktu itu dia menyatukan dua situs online tersebut. ”Yang
menarik, sekarang mereka terpisah lagi.”
Dalam dunia digital, semua
merupakan penjelajahan yang disertai dengan usaha tak kenal putus asa untuk
menemukan jalan terbaik. Digital memang menantang. Semua ini kembali pada
mereka yang masih setia di dunia media cetak, mampukah mereka menemukan jalan
kreatif agar bisa memanfaatkan peluang yang diciptakan digital disruptions. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar