Senin, 01 Juli 2013

Saat Paling Menantang bagi Surat Kabar

Saat Paling Menantang bagi Surat Kabar
Bambang Sigap Sumantri ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 28 Juni 2013


Apakah sekarang ini saat yang menyedihkan bagi dunia cetak dengan terjadinya evolusi digital? Sirkulasi menurun, penerbit lain semisal ”Newsweek” yang sudah berusia 80 tahun meninggalkan edisi cetak. Banyak perusahaan di media cetak mengurangi jumlah karyawan sejalan dengan munculnya tablet iPad. Bahkan, puluhan media cetak tutup, dan mesin cetak dijual murah di Amerika.

Era digital untuk media massa dimulai tahun 1990-an ketika pemakaian internet bertambah populer. Media cetak lantas memanfaatkan teknologi internet itu menjangkau pembaca yang lebih luas dan beragam. Makin hari perkembangan teknologi digital makin tak terbatas. Menjangkau semua aspek kehidupan. Era digital yang sangat masif ini, bagi yang bisa memanfaatkan, sangat menguntungkan dan mengefisienkan kehidupan. Sepuluh tahun yang lalu, membayar tagihan telepon seluler mungkin bisa mencapai jutaan rupiah.

”Sekarang, dengan banyaknya aplikasi gratis di Android dan IOS, saya dapat berkomunikasi SMS maupun telepon dengan istri saya yang berada di Surabaya secara gratis. Paling saya hanya habis Rp 100.000 untuk smartphone,” kata Dwi Kumoro, karyawan swasta di Jakarta, yang sehari-hari memakai telepon pintar HTC.

Dua tahun lalu, setelah memiliki telepon pintar itu, Dwi lantas mengenal Skype, Facebook, dan Yahoo untuk melakukan komunikasi gratis tanpa batas. Terakhir, dia juga mengunduh aplikasi Viber, Tango, dan Line.
Di dunia internasional, banyak yang mengenal desainer media cetak Mario Garcia yang menjadi konsultan dari lebih dari 500 penerbitan cetak. Bagi Garcia, gangguan-gangguan digital (digital disruptions), begitu istilah James McQuivey, yang terjadi sekarang ini sungguh menggairahkan.

”Saya sudah berkecimpung di industri pers ini selama 40 tahun. Saya lahir sebagai orang yang menggeluti media cetak, tetapi bahkan seandainya di dalam darah Anda mengalir tinta, saat ini momentum terbaik untuk perkembangan media,” katanya ketika berbicara dalam Forum Editor Dunia di Kiev, Ukraina, tahun lalu.
Kemajuan teknologi informasi yang dinikmati masyarakat modern memunculkan tantangan dan cara baru dalam berpikir. Karena itu, lanjut Garcia, penting bagi editor untuk meninjau ulang bagaimana cara pembaca atau audiens mengonsumsi konten surat kabar.

”Mungkin sekali pelanggan mulai dengan membaca berita di koran cetak pagi hari di rumah, meneruskan bacaan itu dengan membuka telepon pintar selama perjalanan ke kantor, dan mengakhiri bacaan itu di sela-sela kesibukan pekerjaan dengan membuka desktop PC (personal computer),” ujarnya.

Pola membaca tersebut tentu saja berbeda-beda di setiap negara. Untuk negara maju seperti negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat yang mempunyai infrastruktur internet memadai dan moda transportasi massa yang nyaman, gaya hidup seperti yang dikatakan Garcia bisa jadi sesuai. Di Asia atau Afrika, konsep tersebut perlu disesuaikan dengan bagaimana masyarakat dan pemerintahan mereka menyerap kemajuan teknologi digital.

Mei lalu, sekelompok kecil editor senior WAN (World Association of Newspapers and News Publishers) IFRA mengunjungi salah satu koran Swedia, Aftonbladet. Koran ini sudah melakukan reorganisasi serta restrukturisasi newsroom dengan prioritas platform digital. Redaktur pelaksana koran berbentuk tabloid dengan oplah 310.000 eksemplar per hari itu, Marica Finnsiö, mengungkapkan, ada kegairahan besar para wartawan yang kini bekerja secara multitasking untuk mencari berita sekaligus video.

”Kami terus melakukan pendidikan untuk meningkatkan keterampilan reporter. Selain menulis berita, banyak reporter yang melengkapi dengan video dan mengedit serta memberi suara,” kata Finnsiö.

Aftonbladet merupakan salah satu contoh koran Eropa yang berhasil memanfaatkan digital disruptions. Tahun 2012, pelanggan digital sudah mencapai 160.000 orang dan pendapatan iklan online meningkat 18 persen. Sukses menuju digital yang dinikmati media yang lahir tahun 1830 ini tidak melalui jalan mulus. Mereka melakukan banyak trial and error dan selalu menyesuaikan dengan keadaan lingkungan.

Menurut Annelies van den Belt, CEO SUP Digital, media online yang berbasis di Moskwa, ”Digital is not the goal, it is all about the journey (digital bukan merupakan tujuan akhir, semua itu mengenai penjelajahan).”

Ia bilang begitu karena masuk dalam dunia digital itu berarti harus berani jatuh dan bangun, bangkit lagi mencari jalan yang terbaik terus-menerus.

Van den Belt tahun 1990, saat menjabat sebagai pemimpin umum di Moskow Times, berpikir keras tentang persoalan konten gratis atau berbayar di online, sesuatu yang sampai sekarang terus menjadi perdebatan.
”Kita perlu menimbang dengan saksama kualitas konten yang kita buat dan terutama apa yang akan kita produksi apabila kita memakai sistem berbayar (paywall), dan akhirnya kita memutuskan untuk memakai paywall.”

Tahun 2000-2005, Van den Belt memimpin divisi online The Times dan Sunday Times di Inggris, waktu itu dia menyatukan dua situs online tersebut. ”Yang menarik, sekarang mereka terpisah lagi.”


Dalam dunia digital, semua merupakan penjelajahan yang disertai dengan usaha tak kenal putus asa untuk menemukan jalan terbaik. Digital memang menantang. Semua ini kembali pada mereka yang masih setia di dunia media cetak, mampukah mereka menemukan jalan kreatif agar bisa memanfaatkan peluang yang diciptakan digital disruptions. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar