Kamis, 04 Juli 2013

Quo Vadis Militer Mesir?

Quo Vadis Militer Mesir?
Dinna Wisnu ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 03 Juli 2013


Genap satu tahun sejak terpilih sebagai presiden Mesir, Muhammad Mursi yang awalnya dielu-elukan publik dan dititipi harapan oleh negara-negara lain untuk membawa angin segar di Timur Tengah, kini harus menghadapi penghakiman publik yang dramatis. 

Nasibnya sebagai pemimpin negara dan politisi berada di ujung tanduk. Dari tempat yang sama di mana Hosni Mubarak dipaksa mundur oleh kerumunan massa yang berdemo selama 18 hari, Mursi kini didesak untuk mundur karena dianggap gagal menjadi pemimpin bagi Mesir dengan segala ”warna-warninya” karena selama ini dipandang cuma menyuarakan kepentingan kelompoknya. 

Gerakan itu menamakan dirinya ”Tamarod” (Arabic for Rebellion) yang mengklaim sudah mengumpulkan 22 juta tanda tangan seantero Mesir yang menyatakan mosi tidak percaya terhadap Mursi. Adapun jumlah penduduk Mesir adalah 85,2 juta jiwa. Api desakan publik tadi seakan disiram bensin ketika Menteri Pertahanan Mesir mengeluarkan ultimatum atas nama pihak militer Mesir bahwa Presiden Mursi hanya punya waktu 2 x 24 jam untuk menyelesaikan kericuhan yang ada, mencari jalan keluar dengan cara berbagi kekuasaan dengan kelompok oposisi, atau pihak militer akan mengambil alih kekuasaan sesuai dengan peta jalan pengembangan Mesir ”yang seharusnya”.
Tekanan tersebut tentu menyesakkan bagi kubu Presiden Mursi karena setidaknya 6 orang menteri sudah menyatakan undur diri, termasuk menteri luar negeri. Artinya bahwa karier Mursi sebagai presiden hampir mati dan jalur komunikasi dari kabinetnya pada pihak di luar negeri pun terancam terputus, apalagi dengan kemunduran menteri luar negeri tadi. Sungguh perkembangan yang ironis.
Pada 10 Desember 2012 majalah Time memuat profil Muhammad Mursi di sampul depan dan menyebutnya sebagai The Most Important Man in The Middle East (orang paling penting di Timur Tengah). Kini, semua mata mengarah kepada Mursi. Apakah Mursi akan mengeluarkan lagi gaya kepemimpinan defensif yang justru dipandang publik sebagai menghalangi demokrasi serta menindas kelompok oposisi dan nasionalis-sekuler seperti ketika publik mengkritik keputusan Mursi untuk mendapatkan kekuasaan tak terbatas dalam mengambil keputusan dan tanpa diawasi lembaga yudisial? Atau Mursi justru akan mencari model pembagian kekuasaan antarkekuatan politik di Mesir? 

Nasi sudah menjadi bubur. Jika pihak militer sudah mengindikasikan hilangnya kepercayaan kepada Mursi, seperti yang kini terjadi, apalagi dengan sengaja pihak militer pamer akan putusnya komunikasi antara pihak militer dengan Mursi (termasuk bahwa Mursi tidak tahu bahwa akan ada skuadron helikopter yang berputar-putar di Alun-alun Tahrir untuk menyemangati pihak oposisi), maka kecil kemungkinan Mursi masih punya kesempatan untuk berkuasa dengan tenang. 

Di sini ada pelajaran menarik bagi Indonesia. Mursi selama ini menolak untuk bernegosiasi dengan pihak oposisi. Baginya ketika menang pemilu, ia punya hak untuk memilih cara dalam memimpin dan mengambil keputusan. Kepemimpinan dalam benaknya adalah pengambilan keputusan penuh supaya jelas pula tanggung jawabnya jatuh kepada siapa. 

Singkat kata, ”demokrasi” di benak Mursi semata berupa voting, pemilu, dan pengambilan suara untuk mengukur siapa yang lebih populer dan ”kuat” dibandingkan kelompok yang lain. Apakah kita pernah mendengar Mursi bicara tentang apa itu demokrasi dalam konteks Mesir yang terdiri atas berbagai kelompok kepentingan? Belum. Bandingkan kondisi itu dengan Indonesia dan di sinilah kita perlu bersyukur dan memperkuat nilai-nilai luhur bangsa yang sudah ada. 

Di Indonesia, kita punya sejarah panjang berdebat tentang apa itu keindonesiaan dan apa itu idealisme sebagai suatu negara yang terdiri atas berbagai kelompok, termasuk kelompok-kelompok minoritas yang kalau disandingkan suaranya dalam pemilu pasti akan selalu kalah dari segi jumlah. Ide-ide berdemokrasi tumbuh karena masyarakat sipil punya ragam gagasan, pengetahuan, idealisme, dan ruang berpolitik tidak didominasi satu dua pandangan saja. 

Gagasan dan praktik demokrasi kita dibangun melalui perjuangan para aktivis prodemokrasi yang memperjuangkan hak-hak sipil dan politik. Kita punya sejarah kelompok orangorang yang pernah dipenjara atau ditangkap karena mendiskusikan model-model alternatif kepemimpinan atau karena bicara soal hak dan perlindungan hak. Dari sana kita bisa melihat apa posisi para pemimpin Indonesia. Meskipun masih jauh dari gambaran demokrasi yang kita idealkan, kelompokkelompok masyarakat sipil di Indonesia relatif lebih hidup dan beragam dibandingkan di Mesir. 

Gagasan demokrasi di masyarakat mampu mencegah perang saudara dalam masa transisi demokrasi. Gagasan demokrasi di Mesir terjadi semata akibat protes dari publik karena para patron mereka, yakni kelompok-kelompok elite, tidak bisa bekerja sama satu dengan yang lainnya dan dampak negatifnya terasa sampai ke akar rumput. Pihak militer di Mesir ternyata juga bukan kelompok yang innocent (tak punya andil) dalam kericuhan di Mesir. 

Sejumlah tulisan menunjukkan kelompok militer di Mesir punya taruhan yang besar tiap kali ada pemimpin baru di negeri itu, yakni karena 5–40% perekonomian di Mesir dikelola dan dimiliki oleh militer. Urusan impor bahan baku untuk industri, konstruksi, produksi, bahkan bisnis real estat dipegang oleh orang-orang militer.
Trias Kuncahyono bahkan mencatat pola yang menarik, yakni bahwa Mursi berusaha menjaga kekuasaannya supaya tidak diusik kelompok militer dengan cara menyingkirkan Kepala Angkatan Bersenjata Hussein Tantawi, digantikan dengan Abdel Fattah al-Sisi yang dengan sigapnya langsung melengserkan lebih dari 200 perwira militer dari jabatan di pemerintahan. Hal itu membuatnya menjadi perwira militer paling senior di antara perwira lainnya.
Apakah kemudian penyudutan Mursi di Alun-alun Tahrir kali ini mengindikasikan pengkhianatan dari Sisi? Yang pasti bagi Sisi dan perwira militer lainnya, konflik antara nasionalis-sekuler dan Ikwanul Muslimin yang terjadi saat ini adalah pengalaman politik pertama mereka setelah melengserkan perwira-perwira tua. 
Mereka harus memutuskan apakah akan melanjutkan Mesir yang nasionalis-sekuler atau mengikuti garis politik Mursi yang didukung Ikwanul Muslimin. Keadaannya sangat genting buat mereka ketimbang saat krisis Mubarak. Saat ini mereka memegang otoritas untuk memutuskan, sementara pada waktu yang lalu mereka tergantung dari keputusan para perwira tua. Kita dan masyarakat Mesir mungkin juga tidak tahu apa langkah selanjutnya dari militer untuk mengakhiri krisis politik di Mesir. 

Mesir percaya militer adalah penjaga kestabilan demokrasi. Apakah militer akan mendukung garis politik Mursi atau mendukung nasionalis sekuler? Nasib kelangsungan transisi demokrasi di Mesir kini di tangan militer. Sayangnya, keterbatasan pengalaman dalam soal ide dan praktik demokrasi di Mesir akan membatasi pula opsi-opsi solusi yang demokratis dan tanpa melibatkan campur tangan militer. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar