|
REPUBLIKA,
02 Juli 2013
Beberapa
pekan terakhir, nama Jokowi terus digaungkan untuk maju sebagai calon presiden pada
Pemilihan Umum 2014. Gaung tersebut bukan hanya dimunculkan oleh beberapa
media dan lembaga penelitian yang mencoba menelaah potensi elektabilitas
beberapa tokoh kaliber nasional, melainkan juga oleh para `simpatisan' Jokowi
yang tersebar di berbagai wilayah.
Sabtu, 15
Juni 2013 yang lalu, misalnya, `simpatisan' Jokowi yang tergabung dalam wadah
Relawan Jokowi Sedu nia menggelar kongres yang intinya mendukung orang nomor
satu di DKI Jakarta itu untuk maju pada Pilpres 2014.
Argumentasi yang dibangun oleh penggagas kongres itu adalah kerinduan rakyat
terhadap perubahan kondisi sosial yang konkret di mana Jokowi merupakan sosok
yang dinilai tepat untuk mewujud- kan perubahan yang diidam-idamkan itu.
Dengan
kesederhanaan dan pelaksanaan kebijakan secara direct-down to earth itulah, Jokowi dinilai tepat untuk mengusung
harapan rakyat Indonesia masa kini. Menilik proses dan hasil Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi DKI Jakarta yang lalu, tampaknya tidak
terlalu berlebihan jika kehadiran Jokowi cukup menghentak dunia perpolitikan
Indonesia.
Ia,
dengan seluruh gaya dan ciri khasnya, telah membalikkan banyak sisi: pengamatan
politik, prediksi survei, tekanan politik, kuasa money politics, hingga stereotip sosial dan politik. Pada gilirannya
sebagian rakyat Indonesia merasa bahwa figur seperti Jokowi merupakan sosok
yang tepat untuk merespons berbagai tuntutan karena ia mampu masuk dalam nadi
kehidupan rakyat secara langsung. Singkatnya, Jokowi adalah jawaban dari
kerinduan rakyat terhadap perubahan dan krisis kepemim pinan saat ini.
Tetapi,
gaung tersebut tidak serta-merta diamini oleh seluruh kelompok masyarakat.
Meskipun sosok Jokowi yang mencengangkan tersebut sulit ditampik, namun
dorongan dan `paksaan' untuk memajukan Jokowi sebagai Calon Presiden 2014
merupakan keinginan yang terlalu dini. Alasan yang mengemuka adalah ketidaktepatan
waktu pencalonan dan kondisi Jokowi saat ini yang baru menduduki kursi nomor
satu di DKI Jakarta. Persoalannya, masyarakat DKI Jakarta sendiri masih menunggu
realisasi janji-janji Jokowi yang ingin menjelmakan sebuah Jakarta Baru yang
dapat dinikmati secara nyaman oleh seluruh komponen masyarakat DKI.
Merengkuh 2019
Menyikapi
hal-ihwal Jokowi dan kaitannya dengan perhelatan nasional 2014, sebaiknya
hiruk-pikuk terhadapnya sedikit ditepikan. Hal ini bukan karena Jokowi tidak
pantas menjadi calon orang nomor satu di republik ini, melainkan lebih karena
sikap menghargai `para pemilih, pengagum, dan pengharapnya yang lebih dahulu
menempatkannya di kursinya saat ini'.
Siapa pun
mengerti bahwa Jokowi selalu berpandangan bahwa ia, sebagaimana keyakinan Bung
Karno -- terlepas Jokowi membaca keyakinan itu atau tidak-- merasa "lebih
baik mendatangi langsung rakyat dan membakar hati mereka." Justru karena
itulah, sama sekali tidak terlalu naif jika ia tidak dipaksa atau memaksa diri
terjun dalam kancah pertarungan politik 2014.
Meskipun
pandangan ini dapat melukai para pengagum Jokowi yang sudah telanjur menggalang
penahbisannya untuk maju pada Pilpres 2014, tetapi akan semakin terasa lebih
arif jika Jokowi diusung untuk merengkuh 2019. Terdapat beberapa argumentasi
yang layak dipertimbangkan mengapa Jokowi sebaiknya mengubur impian untuk 2014
dan lebih memilih menundanya hingga 2019.
Pertama,
hal mendasar yang akan menjadi pertimbangan banyak kalangan bahwa saat ini
Jokowi masih baru menduduki dan mengemban amanat untuk membentuk Jakarta Baru
sesuai dengan janji-janji kampanye dan juga harapan masyarakat DKI. Meskipun tidak
dapat ditampik bahwa porsi terbesar politik adalah kekuasaan, tetapi hal
tersebut dapat menjadi pemangsa bagi Jokowi sendiri jika meninggalkan kursinya
saat ini dan beralih menuju orang nomor satu di Indonesia.
Sudut-pandang
sebagian rakyat Indonesia masa kini yang mulai rapuh terhadap politik kepemimpinan
di negeri ini dapat diperkeruh dengan kenyataan baru jika Jokowi benar-benar
terbukti maju. Dalam konteks ini, menjadi lebih bijaksana bagi Jokowi jika ia
merampungkan ragam gagasannya untuk membenahi seluruh kerumitan DKI untuk
dipersembahkan sebagai kado istimewa bagi masyarakat, sehingga dengan itu ia
tidak akan kehilangan kebesarannya sampai kapan pun.
Kedua,
tahun 2014 diprediksi sebagai waktu dan ruang kontestasi politik terpanas bagi
para `tokoh tua' di republik ini. Para `tokoh tua' tersebut, yang diyakini memiliki
modal ekonomi dan politik yang cukup kuat akan habis-habisan mempertaruhkan dan
mempertarungkan seluruh modal yang dimiliki untuk meraih kursi nomor satu
Republik Indonesia karena mereka merasa bahwa tahun 2014 adalah waktu terakhir
untuk bertanding. Kondisi ini akan membuat Jokowi kesulitan menembus kekuatan
modal para `tokoh tua' itu dan pada gilirannya membuat Jokowi putar-badan atau
malah `mati\' mengenaskan secara politik.
Ketiga,
tahun 2019 akan menjadi ajang pertarungan para tokoh muda di mana Jokowi akan
kesulitan mencari lawan-tanding. Hal tersebut disebabkan oleh kekuatan
investasi sosial-politik yang telah ditanamkan olehnya sejak beberapa tahun
belakangan sehingga para lawan politiknya --yang sampai saat ini baru beberapa
yang terendus nama-namanya-- dinilai tidak akan mampu menandingi kekuatannya
pada 2019.
Artinya, peluang Jokowi maju pada 2019 jauh lebih memungkinkan dibanding
2014.
Dengan
mempertimbangkan ketiga argumentasi tersebut, tampaknya menjadi sangat realistis
jika menempatkan Jokowi sebagai sosok yang lebih proyektif untuk diusung
sebagai calon presiden pada 2019. Kekaguman dan semangat yang menggebu-gebu
untuk memaksa Jokowi maju pada Pilpres 2014 bukan hanya akan memperberat
langkah Jokowi yang saat ini sedang dipacu untuk mewujudkan harapan dan amanat
politik yang diembannya, melainkan juga dapat membuat citra politik semakin
moreng dan rakyat bertambah enggan untuk menentukan pilihan, tak terkecuali
terhadap Jokowi sendiri. Memprihatinkan, bukan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar