Sabtu, 06 Juli 2013

Militer Tentukan Masa Depan Mesir

Militer Tentukan Masa Depan Mesir
Musthafa Abd Rahman ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 05 Juli 2013


Massa penentang mantan Presiden Muhammad Mursi bersorak-sorai setelah mendengar siaran pernyataan militer lewat televisi dan radio pada Senin (1/7) sekitar pukul 16.30. Militer saat itu memberi ultimatum kepada semua kekuatan politik agar mencapai kesepakatan kompromi selambat-lambatnya dalam waktu 48 jam. Jika gagal mencapai kesepakatan dalam tenggat itu, militer akan menyampaikan peta jalan baru bagi masa transisi di Mesir. Massa penentang Mursi menilai ultimatum militer itu sebagai kemenangan karena militer dianggap memihak mereka.

Beberapa hari sebelum 30 Juni, massa penentang Mursi membangun puluhan tenda dan memasang spanduk di depan Kementerian Pertahanan di Distrik Abbasiah. Spanduk itu antara lain bertuliskan ”Mursi.. Pergi. Sisi... Presiden Kami”. Sisi, lengkapnya Abdel Fattah Sisi, adalah Menteri Pertahanan.
Tanggal 30 Juni merupakan peringatan satu tahun naiknya Mursi sebagai presiden yang juga dijadikan hari penggulingan Mursi oleh para penentangnya.

Butuh militer

Mengamati langsung di lapangan, gerakan massa penentang Mursi sejak menjelang 30 Juni hingga keluarnya ultimatum 48 jam dari militer pada hari Senin, mengesankan betapa massa penentang Mursi membutuhkan militer dalam pertarungan menghadapi Presiden Mursi dan Ikhwanul Muslimin (IM).

Sejak Revolusi 1952 yang mengubah sistem pemerintahan di Mesir dari monarki ke republik, militer telah tiga kali turun tangan mengembalikan keamanan.

Pertama, ketika meletus Intifada Roti tahun 1977 pada era Presiden Anwar Sadat. Saat itu, pemerintah menaikkan harga roti yang menjadi makanan pokok rakyat Mesir. Rakyat secara spontan menggelar unjuk rasa. Militer turun tangan mengembalikan keamanan dan pemerintah akhirnya menurunkan harga roti. Rakyat pun kembali tenang.

Kedua, ketika satuan keamanan anti-huru-hara memberontak pada 1986 di era Presiden Hosni Mubarak. Saat itu, Mubarak meminta militer turun tangan menghadapi satuan keamanan anti-huru-hara itu.
Ketiga, ketika Mubarak meminta militer turun tangan menghadapi aksi unjuk rasa luas pada 25 Januari 2011 yang akhirnya menumbangkan rezim Mubarak.

Kini, kubu penentang Mursi kembali meminta militer turun tangan. Ini bisa dipahami sebab militer adalah satu-satunya institusi di Mesir yang mampu menandingi kekuatan IM saat ini.

Itulah realitas yang terjadi. Ketika keluar ultimatum 48 jam dari militer, perimbangan kekuatan di lapangan mulai bergeser memihak ke kubu oposisi. Presiden Mursi dan IM mulai terjepit, hingga akhirnya Mursi dilengserkan pada Rabu malam.

Karena itu, krisis politik di Mesir pasca-keluarnya ultimatum 48 jam itu sesungguhnya menjadi pertarungan langsung IM-militer. Hal itu yang memang diinginkan kubu oposisi.

Jika melihat ke belakang, pertarungan IM-militer dalam krisis politik Mesir terakhir ini mengulang pertarungan IM-militer pasca-revolusi Mesir tahun 1952.

Menjelang Revolusi 1952, IM-militer bekerja sama berjuang melawan monarki di Mesir. Berkat kerja sama itu, militer dengan dukungan IM berhasil menumbangkan monarki pada Juli 1952 yang kemudian disebut Revolusi 1952.

Namun, pasca-keberhasilan Revolusi 1952, militer cenderung memonopoli kekuasaan tanpa melibatkan IM. IM marah besar karena merasa dikhianati.

Pada 1954, IM melakukan percobaan pembunuhan yang gagal terhadap Presiden Gamal Abdel Nasser yang berasal dari militer di kota Alexandria.

Sejak saat itu, konflik terbuka IM-militer dimulai. Militer memburu dan menangkap tokoh-tokoh IM pada era 1950-an dan 1960-an itu. Salah satu tokoh IM, Sayid Qutub, dihukum gantung oleh Presiden Gamal Abdel Nasser.

Bagi tokoh-tokoh IM saat itu hanya ada dua pilihan, dipenjara atau lari ke luar negeri. Banyak tokoh IM saat itu lari ke negara-negara Arab Teluk, seperti Kuwait, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.

Kembali pulih

Pasca-meninggalnya Presiden Gamal Abdel Nasser dan naiknya Anwar Sadat sebagai presiden Mesir pada 1970, hubungan IM-militer pulih.

Anwar Sadat meminta dukungan IM untuk memukul sisa-sisa loyalis Gamal Abdel Nasser yang menentang naiknya dia sebagai presiden.

Hubungan harmonis IM-Anwar Sadat (militer) terus berlanjut hingga kunjungan kontroversial Sadat ke Jerusalem tahun 1977. Puncak kerenggangan hubungan IM-Sadat terjadi ketika Sadat menandatangani kesepakatan damai dengan Israel di Camp David, Amerika Serikat, tahun 1979.

Saat itu banyak tokoh Islamis yang berfatwa menghalalkan darah Sadat. Itulah yang akhirnya membuat sejumlah aktivis Islamis bisa menyusup ke tubuh militer dan berhasil membunuh Sadat saat acara parade militer, Oktober 1981.

Pada era Presiden Hosni Mubarak, 1981-2011, hubungan militer-IM (kubu Islamis) selalu diwarnai ketegangan. Mubarak berusaha menurunkan ketegangan itu dengan mengizinkan aktivis IM ikut pemilu parlemen, tetapi usaha Mubarak gagal. Pada 1995, kelompok Islamis melakukan percobaan pembunuhan yang gagal terhadap Mubarak di Etiopia.

Tidak ada perbaikan hubungan antara Mubarak dan kubu Islamis, khususnya IM, hingga meletus revolusi 25 Januari 2011 yang mengempaskan rezim Mubarak.

Pada revolusi Mesir 2011 itu, lagi-lagi militer turun tangan memihak revolusi yang menumbangkan rezim Mubarak.

Pasca-Revolusi 2011, IM-militer bergandengan tangan, yang mengantarkan IM dengan mudah memenangi pemilu parlemen dan pemilu presiden dengan menempatkan kader IM, Muhammad Mursi, sebagai presiden Mesir. Hubungan harmonis IM-militer itu sempat memunculkan tuduhan dari kubu sekuler-liberal bahwa ada main mata antara IM dan militer.

Akan tetapi, kebijakan pemerintahan Mursi selama satu tahun terakhir ini—yang dianggap gagal memperbaiki ekonomi dan hubungan harmonisasi masyarakat Mesir—menyebabkan renggangnya kembali hubungan IM-militer.


Akhirnya, militer memihak massa penentang Mursi dengan menggulingkan sang presiden pada Rabu malam lalu. Hal itu menunjukkan bahwa penguasa de facto di Mesir adalah militer. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar