|
JAWA
POS, 05 Juli 2013
SUNGGUH dramatis
perjalanan sejarah kelompok Al Ikhwan Al Muslimun (Persaudaraan Muslim) di
Mesir. Hampir 90 tahun sejak didirikan (Maret 1928) oleh Hasan Al Banna bersama
enam buruh Terusan Suez, kelompok itu hampir selalu berada di pinggiran.
Bahkan, para penggeraknya keluar masuk penjara. Sampai-sampai ada rerasan,
Kairo itu terdiri atas kota di atas tanah dan kota di bawah tanah. "Kota
bawah tanah" (penjara) Kairo pada masa Mubarak dan rezim sebelumnya,
konon, dipenuhi orang-orang Ikhwan.
Layaknya kisah novel, kelompok itu kemudian menduduki tahkta istana Mesir. Pintunya terbuka lewat kejutan gelombang revolusi rakyat Mesir menggulingkan Husni Mubarak. Jejaring meluas Ikhwan membuat kelompok ini memasukkan Presiden Muhammad Mursi ke istana lewat pemilu demokratis. Popularitas itu tentu tak lepas dari kerja sosial dan keagamaan aktivis-aktivis mereka yang luar biasa dalam waktu panjang meskipun di bawah represi berbagai rezim.
Baru setahun lebih tiga hari berkuasa, presiden bergaya hidup sederhana itu dipaksa keluar dari istana. Kali ini yang memaksa mereka adalah mobilisasi massa besar yang juga didukung para oposan yang kalah dalam pemilu dan terutama militer (kudeta militer plus massa). Beberapa analis di Mesir menyebut keterlibatan AS. Kontak intensif antara Abdul Fatah Al Sisi, Menhan Mesir, dengan Menhan AS Chuck Hagel, menjelang pengggulingan Presiden Mursi dipandang sebagai salah satu bukti.
Ultimatum 48 jam Jenderal Al Sisi, 58, tersebut jelas sudah sangat berpihak kepada oposisi dan massa. Setelah itu, hubungan antara presiden dan pimpinan angkatan bersenjata yang notabene menterinya putus. Konon, militer yang semula dituding "main mata" dengan kelompok Ikhwan belakangan gelisah dengan sikap politik regional pemerintahan Mursi yang tak sejalan dengan agenda nasional. Mursi dinilai aktif mendukung kelompok Ikhwan dalam Hamas di Gaza dan kelompok pemberontak rezim Syria.
Setelah dipaksa keluar dari istana, bagaimana nasib sejarah kelompok ini, masih sulit ditebak. Yang pasti, menjelang pendongkelan Mursi, beberapa pimpinan Ikhwan telah menyatakan: jika Mursi dipaksa lengser, rakyat Mesir tak akan percaya lagi pada demokrasi. Rakyat Mesir, bahkan, akan mengafirkan demokrasi (tentu dengan risiko akan muncul diktator junta militer seperti Mubarak).
Apakah jalan itu yang kira-kira akan ditempuh Ikhwan? Mengabaikan janji militer yang akan mengadakan pemilu lagi? Menjadi gerakan bawah tanah kembali? Atau gerakan keagamaan yang berpusat di musala-musala dan pusat-pusat kegiatan sosial yang membuat popularitas mereka kokoh seperti masa-masa sebelum revolusi 2011?
Dalam waktu dekat ini, saya yakin mereka masih sangat emosional, merasa sangat terzalimi dan memberikan respons yang reaktif. Tetapi, mereka pasti kemudian berpikir rasional. Pimpinan Ikhwan rata-rata berpendidikan sangat tinggi (termasuk Mursi yang PhD dari University of Southern, California) dan mereka matang dalam organisasi. Daftar pimpinan Ikhwan (dalam partai resmi Partai Kebebasan dan Keadilan) itu seperti daftar tenaga pengajar pada pascasarjana universitas besar. Mereka memiliki potensi yang sangat besar dan popularitas yang sangat luas dan berpikir penuh nalar strategis.
Sebagian pemimpin Ikhwan mungkin akan berpikir jernih demi kemaslahatan kelompok itu dan Mesir secara keseluruhan ke depan. Mereka mungkin akan menunjukkan sikap rela berkorban (mengalah) saat ini. Hal tersebut tentu sebuah nestapa demokrasi, tetapi sikap mereka itu mungkin akan menjadi catatan emas. Rakyat Mesir akan mengenang, mereka tidak melawan dengan kekerasan meskipun juga mampu mengerahkan massa lebih besar jika dibandingkan dengan yang menjatuhkan mereka.
Mereka, sepertinya, tak menempuh jalan senjata seperti para aktivis FIS (Front Islamique du Salut, Front Penyelamatan Islam) yang kemenangannya dalam pemilu diaborsi militer Aljazair dan memicu perang saudara satu dasawarsa pada 1991-2002. Namun, Ikhwan harus menenangkan pendukungnya terlebih dahulu, terutama yang militan, yang siap mati. Mereka diperkirakan juga memiliki garda khusus (katiibah).
Persoalan yang memperumit adalah: selain Mursi yang ditahan di Kemenhan, beberapa pimpinan Ikhwan sudah ditangkap, misalnya, Rasyad Al Bayumi (wakil ketua) dan Saad Al Katatni (ketua Partai Kebebasan dan Keadilan yang juga ketua parlemen yang dibekukan). Orang-orang Ikhwan mulai digiring kembali ke "kota bawah tanah". Bukan itu saja. Stasiun TV pemerintah dan milik Ikhwan, bahkan kantor stasiun Al Jazeera di Kairo, juga ditutup.
Apalagi, militer diberitakan sudah membuat daftar penangkapan 300 tokoh Ikhwan. Itu bisa memantik sikap melawan para pemimpin Ikhwan dengan keras. Seruan militer untuk tidak menistakan "kelompok-kelompok islami" tentu dianggap omong kosong. Ini sangat berbahaya.
Di mata Ikhwan, apa yang terjadi sekarang adalah kudeta militer. Kudeta itu bukan hanya melibatkan partai-partai dan kelompok-kelompok gerakan liberal (termasuk pemenang Nobel Perdamaian El Baradei), ketua Mahkamah Dusturiyyah (Mahkamah Konstitusi), serta otoritas keagamaan Al Azhar dan Koptik, tetapi juga melibatkan pihak-pihak asing. ●
Layaknya kisah novel, kelompok itu kemudian menduduki tahkta istana Mesir. Pintunya terbuka lewat kejutan gelombang revolusi rakyat Mesir menggulingkan Husni Mubarak. Jejaring meluas Ikhwan membuat kelompok ini memasukkan Presiden Muhammad Mursi ke istana lewat pemilu demokratis. Popularitas itu tentu tak lepas dari kerja sosial dan keagamaan aktivis-aktivis mereka yang luar biasa dalam waktu panjang meskipun di bawah represi berbagai rezim.
Baru setahun lebih tiga hari berkuasa, presiden bergaya hidup sederhana itu dipaksa keluar dari istana. Kali ini yang memaksa mereka adalah mobilisasi massa besar yang juga didukung para oposan yang kalah dalam pemilu dan terutama militer (kudeta militer plus massa). Beberapa analis di Mesir menyebut keterlibatan AS. Kontak intensif antara Abdul Fatah Al Sisi, Menhan Mesir, dengan Menhan AS Chuck Hagel, menjelang pengggulingan Presiden Mursi dipandang sebagai salah satu bukti.
Ultimatum 48 jam Jenderal Al Sisi, 58, tersebut jelas sudah sangat berpihak kepada oposisi dan massa. Setelah itu, hubungan antara presiden dan pimpinan angkatan bersenjata yang notabene menterinya putus. Konon, militer yang semula dituding "main mata" dengan kelompok Ikhwan belakangan gelisah dengan sikap politik regional pemerintahan Mursi yang tak sejalan dengan agenda nasional. Mursi dinilai aktif mendukung kelompok Ikhwan dalam Hamas di Gaza dan kelompok pemberontak rezim Syria.
Setelah dipaksa keluar dari istana, bagaimana nasib sejarah kelompok ini, masih sulit ditebak. Yang pasti, menjelang pendongkelan Mursi, beberapa pimpinan Ikhwan telah menyatakan: jika Mursi dipaksa lengser, rakyat Mesir tak akan percaya lagi pada demokrasi. Rakyat Mesir, bahkan, akan mengafirkan demokrasi (tentu dengan risiko akan muncul diktator junta militer seperti Mubarak).
Apakah jalan itu yang kira-kira akan ditempuh Ikhwan? Mengabaikan janji militer yang akan mengadakan pemilu lagi? Menjadi gerakan bawah tanah kembali? Atau gerakan keagamaan yang berpusat di musala-musala dan pusat-pusat kegiatan sosial yang membuat popularitas mereka kokoh seperti masa-masa sebelum revolusi 2011?
Dalam waktu dekat ini, saya yakin mereka masih sangat emosional, merasa sangat terzalimi dan memberikan respons yang reaktif. Tetapi, mereka pasti kemudian berpikir rasional. Pimpinan Ikhwan rata-rata berpendidikan sangat tinggi (termasuk Mursi yang PhD dari University of Southern, California) dan mereka matang dalam organisasi. Daftar pimpinan Ikhwan (dalam partai resmi Partai Kebebasan dan Keadilan) itu seperti daftar tenaga pengajar pada pascasarjana universitas besar. Mereka memiliki potensi yang sangat besar dan popularitas yang sangat luas dan berpikir penuh nalar strategis.
Sebagian pemimpin Ikhwan mungkin akan berpikir jernih demi kemaslahatan kelompok itu dan Mesir secara keseluruhan ke depan. Mereka mungkin akan menunjukkan sikap rela berkorban (mengalah) saat ini. Hal tersebut tentu sebuah nestapa demokrasi, tetapi sikap mereka itu mungkin akan menjadi catatan emas. Rakyat Mesir akan mengenang, mereka tidak melawan dengan kekerasan meskipun juga mampu mengerahkan massa lebih besar jika dibandingkan dengan yang menjatuhkan mereka.
Mereka, sepertinya, tak menempuh jalan senjata seperti para aktivis FIS (Front Islamique du Salut, Front Penyelamatan Islam) yang kemenangannya dalam pemilu diaborsi militer Aljazair dan memicu perang saudara satu dasawarsa pada 1991-2002. Namun, Ikhwan harus menenangkan pendukungnya terlebih dahulu, terutama yang militan, yang siap mati. Mereka diperkirakan juga memiliki garda khusus (katiibah).
Persoalan yang memperumit adalah: selain Mursi yang ditahan di Kemenhan, beberapa pimpinan Ikhwan sudah ditangkap, misalnya, Rasyad Al Bayumi (wakil ketua) dan Saad Al Katatni (ketua Partai Kebebasan dan Keadilan yang juga ketua parlemen yang dibekukan). Orang-orang Ikhwan mulai digiring kembali ke "kota bawah tanah". Bukan itu saja. Stasiun TV pemerintah dan milik Ikhwan, bahkan kantor stasiun Al Jazeera di Kairo, juga ditutup.
Apalagi, militer diberitakan sudah membuat daftar penangkapan 300 tokoh Ikhwan. Itu bisa memantik sikap melawan para pemimpin Ikhwan dengan keras. Seruan militer untuk tidak menistakan "kelompok-kelompok islami" tentu dianggap omong kosong. Ini sangat berbahaya.
Di mata Ikhwan, apa yang terjadi sekarang adalah kudeta militer. Kudeta itu bukan hanya melibatkan partai-partai dan kelompok-kelompok gerakan liberal (termasuk pemenang Nobel Perdamaian El Baradei), ketua Mahkamah Dusturiyyah (Mahkamah Konstitusi), serta otoritas keagamaan Al Azhar dan Koptik, tetapi juga melibatkan pihak-pihak asing. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar