Senin, 08 Juli 2013

Mendorong Pembangunan Broadband

Mendorong Pembangunan Broadband
Gunawan Wibisono  ;  Ahli Teknologi Broadband dan Regulasi Telekomunikasi, Dosen Teknik Elektro Fakultas Teknik UI
SUARA KARYA, 06 Juli 2013


Broadband dapat diartikan sebagai infrastruktur dalam konteks pembangunan multi-sektor untuk meningkatkan daya saing suatu negara. Menurut data firma riset bidang pasar teknologi global, ABI Research, tercatat angka 120 miliar dolar AS dari proyeksi nilai transaksi global pada tahun 2015 akan diperoleh hanya dari bisnis mobile commerce, yang merupakan salah satu bisnis turunan dari sektor telekomunikasi, informasi dan komunikasi (TIK).

Hal ini merupakan peluang bagi Indonesia yang memiliki jumlah populasi penduduk keempat terbesar di dunia, dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan proporsi penduduk muda (10-24 tahun) yang mencapai lebih dari 20%. Namun, harus diakui, pembangunan broadband Indonesia masih dalam tahap awal yang harus didorong pertumbuhannya. Menurut data World Economic Forum, tingkat penetrasi layanan fixed broadband tahun 2011 baru mencapai 1,1% dan mobile broadband mencapai 22,2% dari populasi.

Saat ini, dunia usaha masih memimpin pembangunan broadband nasional dengan mengacu prinsip universal yang berarti layanan broadband harus dapat diakses dan dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, pemerintah mengambil tindakan nyata dalam bentuk intervensi re-gulasi/deregulasi untuk menekan regulatory cost yang bersifat menghambat dan de-bottlenecking tanpa mengambil alih peran atau bersaing dengan penyelenggara. Hal ini semata ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan menghindari terjadinya kegagalan pasar. Sikap pemerintah ini dilatarbelakangi oleh keterbatasan ruang gerak fiskal APBN untuk menyokong pembangunan broadband nasional.

Saat ini dukungan pendanaan pemerintah untuk pembangunan broadband nasional masih bergantung kepada penggunaan dana Universal Service Obligation (USO) yang dibebankan kepada penyelenggara jasa telekomunikasi. Tercatat saldo kas USO tahun 2011 mencapai Rp 3,1 triliun, jauh di bawah kontribusi internet terhadap ekonomi Indonesia, yang menurut data firma akuntan internasional Delloite, mencapai 1.6% dari produk domestik bruto atau setara dengan Rp 166 triliun pada tahun yang sama.

Dalam implementasinya, sikap pemerintah diwujudkan melalui kesepakatan dengan dunia usaha untuk menyusun Rencana Pembangunan Pita Lebar Indonesia atau Indonesia Broadband Plan. Demi sukses program itu, diperlukan komitmen kuat dan sinergis tidak hanya antara pemerintah dan dunia usaha, khususnya antar jajaran eksekutif dan yudikatif, namun perlu pula didukung oleh institusi lain dalam pemerintahan (bukan hanya Kemenkominfo). Dukungan institusi lain saat ini dirasakan belum bersinergi secara baik. Ini dapat dilihat pada kasus Indosat-IM2 yang tengah berjalan proses persidangannya di Pengadilan Tipikor, yang tampak jelas absennya keselarasan pandang antara Kemenkominfo dan Kejaksaan Agung sebagai institusi organ pemerintahan.

Tuduhan Kejaksaan Agung atas penyalahgunaan pita frekuensi 2.1 GHz untuk penyelenggaraan internet 3G dalam kerja sama antara Indosat dan IM2 dinilai tidak rasional serta dapat menghambat pertumbuhan bisnis TIK di Indonesia. Kemenkominfo sebagai regulator dan Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) sebagai wadah pemangku kepentingan industri TIK menyatakan bahwa bentuk kerja sama serupa juga diterapkan di lebih dari 280 penyelenggara jasa internet (ISP) lainnya.

Bila kasus kerja sama Indosat-IM2 dipersalahkan oleh Kejaksaan Agung, diperkirakan akan banyak operator telekomunikasi maupun ISP yang bersiap-siap dipidanakan dan gulung tikar karena melakukan kerja sama yang sama dengan Indosat-IM2. Ancaman dan denda yang disangkakan pada kasus Indosat-IM2 tidak mungkin dipenuhi oleh operator dan ISP. Maka, Indonesia harus siap-siap terisolir dari dunia internet, karena tidak ada operator dan ISP yang berani menyediakan layanan internet.

Bila hal ini terjadi, tentu sebuah ironi pembangunan yang sangat memalukan. Di satu sisi, internet berbasis jaringan wireless adalah salah satu senjata ampuh untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan teknologi broadband, tapi di sisi lain ancaman kriminalisasi siap menerkam pelaku usaha.

Tidak dapat dipungkiri, berdasarkan UU No.36/ 1999 tentang Telekomunikasi, pembayaran biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi oleh Indosat kepada pemerintah dinilai tepat karena Indosat adalah pemenang tender penyelenggara frekuensi. Dalam rangka meningkatkan utilitas jaringan wireless milik Indosat, jaringan wireless dapat digunakan oleh operator lain dalam bentuk interkoneksi atau disewakan kepada pihak lain, yang dalam hal ini adalah IM2, maka pihak penyewa yang menggunakan jaringan tidak berkewajiban membayar BHP lagi kepada pemerintah.

Gugatan Kejaksaan Agung ini merupakan wujud kriminalisasi korporasi yang menjadi ancaman besar bagi kelanjutan pembangunan broadband nasional. Jika tidak ada komitmen nasional yang kuat dan konsisten dalam hal ini, maka begitu banyak potensi kerugian ada di depan mata. Proyeksi optimis Asian Development Bank (ADB) atas pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6.2% dan 6.6% untuk tahun 2013 dan 2014 bisa meleset karena target capaian untuk menjadi negara berpendapatan tinggi tahun 2025 akan sulit direalisasikan tanpa keberhasilan pembangunan broadband nasional.

Oleh karena itu, untuk menjamin terlaksananya pembangunan broadband nasional secara berkelanjutan dibutuhkan adanya jaminan kepastian penegakan hukum di Indonesia. Jangan sampai pemerintah menggigit lidahnya sendiri, mengundang partisipasi dunia usaha yang kemudian dijerat dengan berbagai pasal yang dengan gampang diputarbalikkan oleh sistem peradilan yang minim kepastian. Bila institusi peradilan sebagai organ pemerintah, salah mengambil langkah, maka kasus kriminalisasi kerja sama Indosat-IM2 bisa berbalik menjadi bumerang yang mencoreng reputasi Indonesia di dunia internasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar