|
SUARA
KARYA, 06 Juli 2013
Broadband dapat
diartikan sebagai infrastruktur dalam konteks pembangunan multi-sektor untuk
meningkatkan daya saing suatu negara. Menurut data firma riset bidang pasar
teknologi global, ABI Research,
tercatat angka 120 miliar dolar AS dari proyeksi nilai transaksi global pada
tahun 2015 akan diperoleh hanya dari bisnis mobile commerce, yang merupakan
salah satu bisnis turunan dari sektor telekomunikasi, informasi dan komunikasi
(TIK).
Hal ini merupakan peluang bagi
Indonesia yang memiliki jumlah populasi penduduk keempat terbesar di dunia,
dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan proporsi penduduk muda (10-24 tahun)
yang mencapai lebih dari 20%. Namun, harus diakui, pembangunan broadband
Indonesia masih dalam tahap awal yang harus didorong pertumbuhannya. Menurut data
World Economic Forum, tingkat penetrasi layanan fixed broadband tahun 2011 baru
mencapai 1,1% dan mobile broadband mencapai 22,2% dari populasi.
Saat ini, dunia usaha masih
memimpin pembangunan broadband nasional dengan mengacu prinsip universal yang berarti
layanan broadband harus dapat diakses dan dimanfaatkan oleh seluruh lapisan
masyarakat tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, pemerintah mengambil tindakan
nyata dalam bentuk intervensi re-gulasi/deregulasi untuk menekan regulatory
cost yang bersifat menghambat dan de-bottlenecking tanpa mengambil alih peran
atau bersaing dengan penyelenggara. Hal ini semata ditujukan untuk meningkatkan
efisiensi dan menghindari terjadinya kegagalan pasar. Sikap pemerintah ini
dilatarbelakangi oleh keterbatasan ruang gerak fiskal APBN untuk menyokong
pembangunan broadband nasional.
Saat ini dukungan pendanaan
pemerintah untuk pembangunan broadband nasional masih bergantung kepada
penggunaan dana Universal Service Obligation (USO) yang dibebankan kepada
penyelenggara jasa telekomunikasi. Tercatat saldo kas USO tahun 2011 mencapai
Rp 3,1 triliun, jauh di bawah kontribusi internet terhadap ekonomi Indonesia,
yang menurut data firma akuntan internasional Delloite, mencapai 1.6% dari
produk domestik bruto atau setara dengan Rp 166 triliun pada tahun yang sama.
Dalam implementasinya, sikap
pemerintah diwujudkan melalui kesepakatan dengan dunia usaha untuk menyusun Rencana Pembangunan Pita Lebar Indonesia
atau Indonesia Broadband Plan. Demi
sukses program itu, diperlukan komitmen kuat dan sinergis tidak hanya antara
pemerintah dan dunia usaha, khususnya antar jajaran eksekutif dan yudikatif,
namun perlu pula didukung oleh institusi lain dalam pemerintahan (bukan hanya
Kemenkominfo). Dukungan institusi lain saat ini dirasakan belum bersinergi
secara baik. Ini dapat dilihat pada kasus Indosat-IM2 yang tengah berjalan
proses persidangannya di Pengadilan Tipikor, yang tampak jelas absennya
keselarasan pandang antara Kemenkominfo dan Kejaksaan Agung sebagai institusi
organ pemerintahan.
Tuduhan Kejaksaan Agung atas
penyalahgunaan pita frekuensi 2.1 GHz untuk penyelenggaraan internet 3G dalam
kerja sama antara Indosat dan IM2 dinilai tidak rasional serta dapat menghambat
pertumbuhan bisnis TIK di Indonesia. Kemenkominfo sebagai regulator dan
Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) sebagai wadah pemangku kepentingan
industri TIK menyatakan bahwa bentuk kerja sama serupa juga diterapkan di lebih
dari 280 penyelenggara jasa internet (ISP) lainnya.
Bila kasus kerja sama Indosat-IM2
dipersalahkan oleh Kejaksaan Agung, diperkirakan akan banyak operator
telekomunikasi maupun ISP yang bersiap-siap dipidanakan dan gulung tikar karena
melakukan kerja sama yang sama dengan Indosat-IM2. Ancaman dan denda yang
disangkakan pada kasus Indosat-IM2 tidak mungkin dipenuhi oleh operator dan
ISP. Maka, Indonesia harus siap-siap terisolir dari dunia internet, karena
tidak ada operator dan ISP yang berani menyediakan layanan internet.
Bila hal ini
terjadi, tentu sebuah ironi pembangunan yang sangat memalukan. Di satu sisi,
internet berbasis jaringan wireless adalah salah satu senjata ampuh untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan teknologi broadband, tapi di
sisi lain ancaman kriminalisasi siap menerkam pelaku usaha.
Tidak dapat
dipungkiri, berdasarkan UU No.36/ 1999 tentang Telekomunikasi, pembayaran biaya
hak penggunaan (BHP) frekuensi oleh Indosat kepada pemerintah dinilai tepat
karena Indosat adalah pemenang tender penyelenggara frekuensi. Dalam rangka
meningkatkan utilitas jaringan wireless milik Indosat, jaringan wireless dapat
digunakan oleh operator lain dalam bentuk interkoneksi atau disewakan kepada
pihak lain, yang dalam hal ini adalah IM2, maka pihak penyewa yang menggunakan
jaringan tidak berkewajiban membayar BHP lagi kepada pemerintah.
Gugatan Kejaksaan Agung ini
merupakan wujud kriminalisasi korporasi yang menjadi ancaman besar bagi
kelanjutan pembangunan broadband nasional. Jika tidak ada komitmen nasional
yang kuat dan konsisten dalam hal ini, maka begitu banyak potensi kerugian ada
di depan mata. Proyeksi optimis Asian Development Bank (ADB) atas pertumbuhan
ekonomi Indonesia sebesar 6.2% dan 6.6% untuk tahun 2013 dan 2014 bisa meleset
karena target capaian untuk menjadi negara berpendapatan tinggi tahun 2025 akan
sulit direalisasikan tanpa keberhasilan pembangunan broadband nasional.
Oleh
karena itu, untuk menjamin terlaksananya pembangunan broadband nasional secara
berkelanjutan dibutuhkan adanya jaminan kepastian penegakan hukum di Indonesia.
Jangan sampai pemerintah menggigit lidahnya sendiri, mengundang partisipasi
dunia usaha yang kemudian dijerat dengan berbagai pasal yang dengan gampang
diputarbalikkan oleh sistem peradilan yang minim kepastian. Bila institusi
peradilan sebagai organ pemerintah, salah mengambil langkah, maka kasus
kriminalisasi kerja sama Indosat-IM2 bisa berbalik menjadi bumerang yang
mencoreng reputasi Indonesia di dunia internasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar