Kamis, 04 Juli 2013

Mencolek Bakal Caleg

Mencolek Bakal Caleg
David Krisna Alka ;   Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity,
Anggota PP Pemuda Muhammadiyah
MEDIA INDONESIA, 03 Juli 2013


BUKAN hanya mesin partai yang mampu menjadikan sebuah partai politik (parpol) dapat memenangi pertarungan pada Pemilu Legislatif 2014 nanti. Integritas dan kualitas bakal calon anggota badan legislatif (caleg) turut menjadi kunci untuk memenangkan suara parpol. Bagi bakal caleg, sistem pemilu dengan keterpilihan berdasarkan suara terbanyak menjadi tantangan. Apalagi, antarkader partai pun akan bertarung merebut suara.

Belum lagi, fenomena akhir-akhir ini, potret buruk perilaku sebagian politikus kian tidak mengundang simpati. Bila tidak ada perubahan dan gebrakan bakal caleg yang dapat meraih simpati publik, niscaya masyarakat akan ragu atau tidak mau memilih. Karena, sedari awal, publik melihat seolah parpol menjadi arena tawar-menawar antara penjual dan pembeli, jual-beli suara dan posisi.

Bermacam orang dengan latar belakang diri dan profesi mendaftar menjadi bakal caleg. Padahal, menjadi bakal caleg atau menjadi politikus itu bukan cuma asal menjadi saja. Ketika disebut sebagai politikus, orang tersebut adalah orang yang berkecimpung dalam bidang politik, ahli politik, dan ahli kenegaraan. Artinya, berpolitik bukan sembarang berkecimpung, melainkan mesti mengerti soal seluk-beluk kenegaraan.

Selain itu, siasat bakal caleg dalam merebut simpati publik bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Namun, bersiasat untuk memenangkan suara rakyat, kesejahteraan rakyat, dan keadilan rakyat sesuai dengan mekanisme konstitusional. Oleh sebab itu, bakal caleg tidak amnesia terhadap kebajikan politik. Sebab diperlukan kesungguhan aksi nyata bakal caleg untuk kebaikan publik. Soalnya, siklus politik republik ini sudah letih selalu dicibir dan dicaci.

Kebaikan politik

Dalam pandangan David E Apter (1987:20), para politikus adalah wiraswasta dalam pasar politik. Mereka memancarkan kalkulator yang sangat cepat dalam menghitung untung-rugi dan menang-kalah. Untuk memenangi suatu kekuasaan, seorang politikus yang sukses harus mampu menangani masalah-masalah yang rumit. Selain itu, dia juga harus mampu memecahkan persoalan dalam situasi-situasi yang sulit dengan akal sehat yang mantap. Hal terpenting dalam langkahnya adalah tidak menambah kesengsaraan rakyat dan menjadikan kebaikan publik sebagai pilar utama dalam berpolitik.

Alhasil, calon-calon politikus mesti bekerja keras untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap politisi dan parpol. Politisi perlu bersiasat dengan cantik untuk mendapatkan simpati publik. Selain itu, politisi yang akan berlaga menjadi calon legislatif butuh mental politik tahan banting, apalagi politisi yang tak memiliki ongkos politik.

Barangkali, seorang politikus butuh ‘tongkat ajaib’ supaya masyarakat benarbenar percaya bahwa politisi adalah penyambung suara rakyat. ‘Tongkat ajaib’ itu adalah tonggak-tonggak kebaikan politik dan tonggak kebajikan publik yang dapat memengaruhi alam pikir masyarakat tentang pentingnya berpolitik dan menyalurkan hak suaranya. Bila tidak ada kebaikan dan kebajikan politik, putuslah rantai kebajikan antara politisi dan partainya, antara rakyat dan wakilnya, dan antara pemerintahan dan warganya.

Di samping itu, bagi politisi yang menganggap politik sekadar menjadi tumpukan kekecewaan, politisi itu dapat dipastikan bukan politisi harapan masa depan politik di negeri ini. Sejatinya, politikus mesti memiliki rasa kemanusiaan yang lapang, bukan cuma rasa ingin cepat dapat jabatan atau menjadi politisi yang pendendam gara-gara `dagangan' tidak laris di pasaran.

Daniel Dhakidae (1978) pernah mengutarakan bahwa perselisihan di dalam politik adalah perselisihan dengan perhitungan, diatur oleh konstitusi, hukum, otoritas, dan kekuasaan. Orang memilih cara dan saluran yang tepat untuk mencapai tujuannya. Bila pranata politiknya berjalan, perselisihan merupakan ventilasi yang sehat, orang bermain dalam perselisihan. Namanya permainan politik, berjalan menurut mekanisme konstitusional.


Akhirnya, politik tak sekadar siasat unjuk kekuatan menjual dan membeli. Berpolitik memerlukan arkeologi emosional, spiritual, dan intelektual. Bukan menjadi politikus atau menjadi bakal caleg sembarang. Namun, menjadi politikus yang autentik berikhtiar untuk kepentingan publik yang mencintai bangsa dan mencintai keadilan. Demikian, sekadar opini untuk ‘mencolek’ bakal caleg yang akan bertarung dalam Pemilu 2014. Selamat berjuang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar