|
SUARA
KARYA, 03 Juli 2013
Ada ungkapan miring dalam
masyarakat, saat ini susah mencari polisi jujur. Kalau pun ada, pastilah itu
polisi tidur dan patung polisi. Bagi anggota Polri yang jujur dan mengabdi
sepenuhnya, tudingan itu jelas menyakitkan. Tetapi, tudingan itu terpaksa
diterima karena hampir setiap hari publik merasakan dan menyaksikan oknum-oknum
polisi melakukan pungutan liar, tak peduli itu di jalan atau di tempat
pelayanan surat izin mengemudi (SIM).
Pada peringatan hari Bhayangkara 1
Juli 2013, publik dikejutkan oleh temuan Tim Direktorat Tindak Pidana Korupsi,
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) uang sebesar Rp 200 juta di dalam tas yang
dibawa dua perwira menengah Polri saat berkunjung di Mabes Polri pada Jumat
(21/6/2013).
Keduanya diduga akan menyuap
pejabat Polri untuk memuluskan keinginannya mendapat jabatan sekaligus promosi
untuk naik pangkat menjadi kombes. Tetapi seperti kebiasaan lama, Mabes Polri
melalui Kepala Divisi Humas Polri masih mengelak kalau hal itu merupakan
operasi tangkap tangan oleh Tim Tipikor Bareskrim. Alasannya, belum ada fakta
dan perbuatan tindak pidana sehingga status tersangka belum dikenakan kepada
dua perwira menengah itu.
Boleh jadi niat sudah ada, tetapi
belum diwujudkan lantaran lebih dahulu ditangkap. Namun, temuan itu akan
semakin menjatuhkan citra dan wibawa Polri di mata rakyat, jika pimpinan Polri
terus mengelak dari fakta adanya temuan uang dalam tas perwira Polri. Sebab
secara logika, untuk apa uang sebesar itu dibawa ke Mabes Polri kalau tidak ada
maksud tertentu (mens rea), meskipun belum kesampaian.
Setidaknya ada indikasi ke arah
itu, sebab selama ini Polri selalu disorot berkaitan dengan rekrutmen, mutasi,
dan penentuan jabatan bagi anggota Polri yang tidak transparan. Kondisi
demikian membuka peluang terjadinya penyelewengan wewenang yang hampir tidak
pernah disebabkan dari bawah. Penyimpangan anggota Polri tidak selalu
disebabkan oleh watak individu bawahan, tetapi mencontoh pada perilaku
pimpinan, atau terpaksa mengikuti keinginan atasan melalui pemberikan upeti.
Permintaan setoran bagi bawahan
agar lulus pendidikan atau meraih jabatan tertentu, selalu dilakukan di ruang
gelap. Hanya dengan operasi khusus yang bisa membongkarnya. Hal ini sangat
memengaruhi psikologis bawahan yang setiap hari bersentuhan dengan masyarakat.
Mereka akan terbebani oleh kondisi internal di kantor yang kurang memberi ruang
untuk berperilaku jujur.
Reformasi Polri
Salah satu fakta penyimpangan di
jalan bisa disaksikan dalam tayangan video YouTube. Dua oknum anggota polisi
Polda Bali mengajak "damai" seorang turis asal Belanda yang ditangkap
saat mengendarai sepeda motor karena tidak pakai helm. Oknum polisi itu meminta
uang sebesar Rp 200 ribu agar tidak ditilang. Bahkan, sebagian dari uang itu
dipakai membeli bir dan mengajak sang turis untuk ikut minum, seolah-olah
sebagai salam persahabatan.
Dua peristiwa di atas boleh jadi
hanya gambaran dari sebuah gunung es. Jika berhasil dibongkar, akan lebih
banyak lagi perilaku aneh yang menodai institusi Polri. Apalagi warga
masyarakat begitu mudah merasakan kekuasaan besar polisi yang hampir-hampir
susah dilawan, karena selalu dibalut dengan penertiban dan penegakan hukum.
Kasus pungli saat razia sepeda motor atau narkoba, pengurusan surat-surat
kendaraan bermotor, SIM, dan pelanggaran di jalan raya, sudah sangat lama
diketahui publik. Sopir truk dan kendaraan umum selalu mengeluhkan gencarnya
pungli dari oknum polisi.
Menengok ke jajaran atas, budaya
suap juga tidak jauh beda, malah lebih mencengangkan. Sejumlah jenderal polisi
sudah terbukti terlibat korupsi, baik yang sudah dijatuhi pidana maupun yang
sedang menjalani proses peradilan. Saat ini, Irjen Djoko Susilo, mantan Kepala
Koordinator Lalu Lintas Polri didakwa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dalam kasus korupsi simulator SIM.
Padahal, reformasi tahap kedua
Polri sudah berjalan sampai tahun 2014 dengan sasaran membangun kerja sama yang
erat (partnership building) dengan
berbagai komponen masyarakat, tetapi belum menuai hasil. Sebab itu, reformasi
Polri perlu didesain secara totalitas dengan sasaran membersihkan institusi
Polri, mulai dari tahap rekrutmen anggota Polri, hingga menyingkirkan polisi
yang bermental korup.
Polisi juga mesti memahami
aspirasi dan rasa keadilan masyarakat, serta senantiasa mengawal gerakan
reformasi agar tidak hancur di tengah jalan. Paradigma reformasi yang bermaksud
menumbuhkan kesadaran dan pemahaman tentang betapa pentingnya perubahan hidup,
merupakan buah dari kian progresifnya cara berpikir rakyat. Arah reformasi
Polri harus diluruskan, karena reformasi adalah proyek bersama rakyat Indonesia
yang melampaui sekat agama, sekat etnis, sekat golongan, dan jenis kelamin.
Polisi mesti mengupayakan agar
masyarakat memahami urgennya penegakan hukum sesuai tuntutan zaman. Semakin
besar peranan dan partisipasi warga masyarakat dalam membina kamtibmas dan
penegakan hukum, akan semakin mendukung pelaksanaan tugas-tugas polisi. Jangan
sampai rakyat merasa tidak nyaman jika bersentuhan dengan polisi karena takut
dimintai uang, sehingga menjadi saksi sekalipun tidak bersedia.
Memperingati hari Bhayangkara 1
Juli 2013 lalu, kita berharap agar Polri lebih gesit menata diri dan menjadi
lebih dekat dengan masyarakat. Seperti ungkapan di awal tulisan ini, rakyat
selalu terobsesi pada sosok pimpinan polisi yang jujur, bersih, dan berwibawa
seperti Hoegeng Imam Santoso yang menjadi kepala Polri pada 1968-1971. Dirgahayu Polisi Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar