Kamis, 04 Juli 2013

Mencari Polisi Jujur

Mencari Polisi Jujur
Marwan Mas ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SUARA KARYA, 03 Juli 2013


Ada ungkapan miring dalam masyarakat, saat ini susah mencari polisi jujur. Kalau pun ada, pastilah itu polisi tidur dan patung polisi. Bagi anggota Polri yang jujur dan mengabdi sepenuhnya, tudingan itu jelas menyakitkan. Tetapi, tudingan itu terpaksa diterima karena hampir setiap hari publik merasakan dan menyaksikan oknum-oknum polisi melakukan pungutan liar, tak peduli itu di jalan atau di tempat pelayanan surat izin mengemudi (SIM).

Pada peringatan hari Bhayangkara 1 Juli 2013, publik dikejutkan oleh temuan Tim Direktorat Tindak Pidana Korupsi, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) uang sebesar Rp 200 juta di dalam tas yang dibawa dua perwira menengah Polri saat berkunjung di Mabes Polri pada Jumat (21/6/2013).

Keduanya diduga akan menyuap pejabat Polri untuk memuluskan keinginannya mendapat jabatan sekaligus promosi untuk naik pangkat menjadi kombes. Tetapi seperti kebiasaan lama, Mabes Polri melalui Kepala Divisi Humas Polri masih mengelak kalau hal itu merupakan operasi tangkap tangan oleh Tim Tipikor Bareskrim. Alasannya, belum ada fakta dan perbuatan tindak pidana sehingga status tersangka belum dikenakan kepada dua perwira menengah itu.

Boleh jadi niat sudah ada, tetapi belum diwujudkan lantaran lebih dahulu ditangkap. Namun, temuan itu akan semakin menjatuhkan citra dan wibawa Polri di mata rakyat, jika pimpinan Polri terus mengelak dari fakta adanya temuan uang dalam tas perwira Polri. Sebab secara logika, untuk apa uang sebesar itu dibawa ke Mabes Polri kalau tidak ada maksud tertentu (mens rea), meskipun belum kesampaian.

Setidaknya ada indikasi ke arah itu, sebab selama ini Polri selalu disorot berkaitan dengan rekrutmen, mutasi, dan penentuan jabatan bagi anggota Polri yang tidak transparan. Kondisi demikian membuka peluang terjadinya penyelewengan wewenang yang hampir tidak pernah disebabkan dari bawah. Penyimpangan anggota Polri tidak selalu disebabkan oleh watak individu bawahan, tetapi mencontoh pada perilaku pimpinan, atau terpaksa mengikuti keinginan atasan melalui pemberikan upeti.

Permintaan setoran bagi bawahan agar lulus pendidikan atau meraih jabatan tertentu, selalu dilakukan di ruang gelap. Hanya dengan operasi khusus yang bisa membongkarnya. Hal ini sangat memengaruhi psikologis bawahan yang setiap hari bersentuhan dengan masyarakat. Mereka akan terbebani oleh kondisi internal di kantor yang kurang memberi ruang untuk berperilaku jujur.

Reformasi Polri

Salah satu fakta penyimpangan di jalan bisa disaksikan dalam tayangan video YouTube. Dua oknum anggota polisi Polda Bali mengajak "damai" seorang turis asal Belanda yang ditangkap saat mengendarai sepeda motor karena tidak pakai helm. Oknum polisi itu meminta uang sebesar Rp 200 ribu agar tidak ditilang. Bahkan, sebagian dari uang itu dipakai membeli bir dan mengajak sang turis untuk ikut minum, seolah-olah sebagai salam persahabatan.

Dua peristiwa di atas boleh jadi hanya gambaran dari sebuah gunung es. Jika berhasil dibongkar, akan lebih banyak lagi perilaku aneh yang menodai institusi Polri. Apalagi warga masyarakat begitu mudah merasakan kekuasaan besar polisi yang hampir-hampir susah dilawan, karena selalu dibalut dengan penertiban dan penegakan hukum. Kasus pungli saat razia sepeda motor atau narkoba, pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, SIM, dan pelanggaran di jalan raya, sudah sangat lama diketahui publik. Sopir truk dan kendaraan umum selalu mengeluhkan gencarnya pungli dari oknum polisi.

Menengok ke jajaran atas, budaya suap juga tidak jauh beda, malah lebih mencengangkan. Sejumlah jenderal polisi sudah terbukti terlibat korupsi, baik yang sudah dijatuhi pidana maupun yang sedang menjalani proses peradilan. Saat ini, Irjen Djoko Susilo, mantan Kepala Koordinator Lalu Lintas Polri didakwa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi simulator SIM.

Padahal, reformasi tahap kedua Polri sudah berjalan sampai tahun 2014 dengan sasaran membangun kerja sama yang erat (partnership building) dengan berbagai komponen masyarakat, tetapi belum menuai hasil. Sebab itu, reformasi Polri perlu didesain secara totalitas dengan sasaran membersihkan institusi Polri, mulai dari tahap rekrutmen anggota Polri, hingga menyingkirkan polisi yang bermental korup.

Polisi juga mesti memahami aspirasi dan rasa keadilan masyarakat, serta senantiasa mengawal gerakan reformasi agar tidak hancur di tengah jalan. Paradigma reformasi yang bermaksud menumbuhkan kesadaran dan pemahaman tentang betapa pentingnya perubahan hidup, merupakan buah dari kian progresifnya cara berpikir rakyat. Arah reformasi Polri harus diluruskan, karena reformasi adalah proyek bersama rakyat Indonesia yang melampaui sekat agama, sekat etnis, sekat golongan, dan jenis kelamin.

Polisi mesti mengupayakan agar masyarakat memahami urgennya penegakan hukum sesuai tuntutan zaman. Semakin besar peranan dan partisipasi warga masyarakat dalam membina kamtibmas dan penegakan hukum, akan semakin mendukung pelaksanaan tugas-tugas polisi. Jangan sampai rakyat merasa tidak nyaman jika bersentuhan dengan polisi karena takut dimintai uang, sehingga menjadi saksi sekalipun tidak bersedia.


Memperingati hari Bhayangkara 1 Juli 2013 lalu, kita berharap agar Polri lebih gesit menata diri dan menjadi lebih dekat dengan masyarakat. Seperti ungkapan di awal tulisan ini, rakyat selalu terobsesi pada sosok pimpinan polisi yang jujur, bersih, dan berwibawa seperti Hoegeng Imam Santoso yang menjadi kepala Polri pada 1968-1971. Dirgahayu Polisi Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar