|
JAWA
POS, 01 Juli 2013
"Budaya
ingin dilayani saat mengadakan kunjungan kedinasan menjadi bukti tidak
terbantahkan. Anggota pontang-panting menyediakan akomodasi, ini dan itu yang
sifatnya seremonial maupun nonseremonial yang tidak terdukung oleh anggaran
dinas."
BERITA Jawa Pos 25 Juni 2013 dengan judul Bareskrim Tangkap Pamen Polda Jateng membuat saya jengah. Diberitakan, seorang perwira menengah Polda Jateng ditangkap tangan tim Bareskrim Mabes Polri karena diduga hendak melakukan suap terkait dengan jabatan. Kelanjutan dari penangkapan ini memang tidak jelas karena si pembawa uang tunai Rp 200 juta itu dilepas.
Pimpinan
Polri sebenarnya telah menabuh genderang perang terhadap KKN di tubuh Polri
sejak pascareformasi. Namun, memang belum sepenuhnya diamini oleh jajaran
anggota Polri. Isu bahwa untuk mendapatkan jabatan, anggota harus menyuap
menjadi bagian "budaya polisi" yang belum terkikis. Kejadian ini
menjadi pil pahit korps Bhayangkara yang memeringati hari ulang tahunnya 1 Juli
ini.
Sejatinya, Polri bertekad untuk berubah. Karena itu, munculah tiga bentuk
perubahan yang dituangkan dalam grand
strategy Polri. Perubahan
tersebut dirumuskan dalam perubahan di bidang instrumen, struktural, dan
kultural. Banyak indikator yang bisa dilihat, dirasakan, ataupun diukur secara
kuantitas. Misalnya, masih adanya perilaku menyimpang yang mengarah pada abuse of power atau penyalahgunaan wewenang dalam
kapasitas sebagai penyidik ataupun sebagai pejabat polisi.
Peran yang diamanatkan oleh UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, yaitu
sebagai alat negara yang memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, pelayan
pelindung dan pengayom masyarakat, serta sebagai penegak hukum, di usianya yang
ke-67 ini masih diliputi pertanyaan. Pertanyaan ini misalnya benarkah polisi
sudah mampu memelihara kamtibmas negeri ini mengingat banyak kejadian dan
gangguan keamanan yang tiba-tiba muncul sebagai bentuk kontijensi atau
pendadakan yang tidak terditeksi atau terpetakan sebelumnya oleh polisi. Atau
munculnya bentuk-bentuk kejahatan konvensional dengan modus yang kian berani
menantang profesionalisme polisi. Misalnya, ulah perampokan di siang bolong,
penodongan di keramaian massa, pencurian 250 batang dinamit, hingga aksi
kejahatan bersenjata dengan latar belakang terorisme.
Belum lagi munculnya konflik sosial yang berlakamgan sudah dipetakan oleh
Mabes Polri, yaitu sekitar 2.781 potensi konflik sosial di Indonesia, menjadi
sebuah pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah, serta menjadi tantangan serius
Polri di masa mendatang.
Bagaimana relevansi tantangan tadi dengan budaya (culture set)
polisi yang mengalami stagnasi perubahan jika dibandingan dengan perubahan
lain, yaitu di bidang instrumen dan struktural? Jawabnya tiada lain perubahan
budaya tidak lepas dari mind
set dan attitude atau perilaku yang sudah mendarah
daging sebagai polisi yang terbentuk dari basis militeristik. Ini yang susah
untuk diubah dalam kurun waktu sepuluh tahun reformasi Polri. Walaupun secara
kelembagaan sudah disuarakan semangat perubahan, namun belum sepenuhnya
terwujud dalam aplikasi di lapangan.
Unsur pimpinan yang kerap menyuarakan perubahan belum bisa menyingkirkan
makna perubahan secara nyata di hadapan anak buahnya. Budaya ingin dilayani
saat mengadakan kunjungan kedinasan menjadi bukti tidak terbantahkan. Anggota
pontang-panting menyediakan akomodasi, ini dan itu yang sifatnya seremonial maupun
nonseremonial yang tidak terdukung oleh anggaran dinas. Bila sudah demikian,
pertanyaannya adalah dari mana sumber pengadaan segala tetek bengek tadi? Padahal, dalam beberapa
kesempatan. Kapolri menekankan pola kepemimpinan yang melayani atau servant leadhership.
Ini baru satu contoh sederhana atas belum berubahnya mindset dari budaya pimpinan yang ingin
dilayani bawahan. Inilah salah satu kendala mengapa budaya atau culture set yang didengungkan perubahannya oleh
Mabes Polri masih terkesan dan dirasakan jalan di tempat. Hilangkan gap-gap dalam Polri yang memberikan kesan ada
bagian basah dan kering, yang memunculkan potensi suap untuk mendapatkan
jabatan. Jabatan sejatinya harus diberikan kepada mereka yang kompetitif dan
memang mampu, bukan karena hal-hal lainnya.
Max Weber menyebutkan bahwa perilaku individu cenderung mencari untung
dari sebuah organisasi sehingga ia tidak memedulikan apakah perilakunya
sebenarnya jahat atau tidak. Di sinilah letak dari pentingnya perubahan mindset atas culture
set atau budaya polisi
saatnya berubah bagi polisi. Masyarakat jenuh melihat polisi berubah dalam
bentuk banner atau slogan, apabila itu semua kosong
dalam kenyataan. ●
BERITA Jawa Pos 25 Juni 2013 dengan judul Bareskrim Tangkap Pamen Polda Jateng membuat saya jengah. Diberitakan, seorang perwira menengah Polda Jateng ditangkap tangan tim Bareskrim Mabes Polri karena diduga hendak melakukan suap terkait dengan jabatan. Kelanjutan dari penangkapan ini memang tidak jelas karena si pembawa uang tunai Rp 200 juta itu dilepas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar