Kamis, 04 Juli 2013

Hilirisasi Pertambangan

Hilirisasi Pertambangan
Hilmy Konstantinus ;   Pekerja Bidang Pertambangan
SINAR HARAPAN, 02 Juli 2013


Jauh dari ingar-bingar pemberitaan media massa, arah dan masa depan pertambangan Indonesia mulai mengundang tanda tanya besar.

Awal tahun 2013 ini kita memasuki tahun baru dengan harapan pertumbuhan ekonomi lebih baik lagi dari tahun-tahun sebelumnya di semua sektor, tak terkecuali sektor pertambangan. Aktivitas pertambangan sejak dahulu hingga hari ini merupakan industri yang strategis dan vital dalam perekonomian suatu negara.

Tak terkecuali di Indonesia, industri pertambangan memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Arah dan masa depan pertambangan oleh pemerintah telah ditetapkan akan bergerak ke hilir. Kita tidak boleh terus-menerus menjadi bangsa yang mengekspor barang mentah ke luar negeri. Tentunya sebuah komitmen yang patut diapresiasi semua pihak.

Merujuk pada Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) Nomor 4 Tahun 2009, memasuki tahun 2014 adalah awal dari sejarah baru pertambangan Indonesia. Tidak ada lagi barang tambang mentah yang dijual ke luar negeri, semua harus diolah menjadi komoditas setengah jadi atau jadi yang memiliki nilai tambah.

Permen Nomor 7 Tahun 2012 juga kemudian disusul dengan kebijakan verifikasi dan penataan kembali Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah dikeluarkan. Menurut data Kementerian ESDM, total IUP yang sudah dikeluarkan mencapai 10.640. Dari total tersebut IUP yang telah memiliki status clean and clear mencapai 4.834 dan IUP yang belum clear and clean sebanyak 5.806 (Oktober/2012).

Resistensi

Berpijak dari realita yang berkembang saat ini, apakah niat luhur ini dapat terwujud dalam dunia pertambangan Indonesia tahun 2014 nanti? Beberapa saat setelah Menteri ESDM mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 7 Tahun 2012, yang mengatur tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral, peraturan ini segera mendapat kritik dan perlawanan dari sejumlah asosiasi pengusaha tambang.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan. Pertama, peraturan itu dinilai menghambat kinerja ekspor serta merugikan para pengusaha pertambangan. Konon, para pengusaha tambang rugi hingga triliunan. Kebijakan ini tentu menjadi pukulan hebat bagi industri pertambangan nasional, sejumlah perusahaan akibatnya gulung tikar dan puluhan ribu karyawan tambang akhirnya dirumahkan.

Kedua para pengusaha menganggap belum siapnya infrstruktur dan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, ditambah lagi kondisi pasar domestik belum mampu menyerap produksi hasil pengelolaan barang tambang.

Merespons gelombang penolakan dari sejumlah kalangan, agar tidak terlalu membebani para pengusaha tambang, sempat terbit Permen Nomor 11 Tahun 2012, sebagai revisi Permen Nomor 7 Tahun 2012.
September 2012, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan yang cukup mengejutkan, dengan mengabulkan tuntutan para pengusaha untuk membatalkan larangan ekspor mentah barang tambang yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012.

Mahkamah Agung membatalkan empat pasal di dalam Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian mineral. Beberapa pasal yang dibatalkan oleh MA adalah Pasal 21, Pasal 8 Ayat (3), Pasal 9 Ayat (3) serta Pasal 10 Ayat (1). Dengan pembatalan empat pasal tersebut, terutama Pasal 21, larangan untuk melakukan ekspor mineral dalam bentuk ore (barang mentah) dibatalkan.

Keputusan MA ini tentu tidak selaras dengan spirit hilirisasi industri pertambangan yang telah digaungkan pemeritah jauh-jauh hari. Para pengusaha bisa saja sedikit bernafas lega karena dibatalkannya Permen Nomor 7 Tahun 2012.

Tapi bila kita melihat jarum jam, tentu waktu kita tidak banyak menyambut implementasi UU Minerba tahun 2014 mendatang. Artinya, kurang dari satu tahun, siap tidak siap kebijakan hilirisasi pertambangan harus tetap dijalankan.

Eksklusif

Industri pertambangan adalah industri yang eksklusif, artinya tidak semua orang dapat terlibat dalam industri ini. Selain butuh modal besar, infrastruktur, pembangkit listrik, pabrik pengolahan, jalan, dan kantor, industri pertambangan juga membutuhkan teknologi tingkat tinggi, riset berkelanjutan, serta sumber daya manusia yang kompeten.

Kedua, industri pertambangan adalah industri yang daya destruktifnya sangat besar terhadap ekologi dan lingkungan. Tambang dapat dengan cepat mengubah bentang alam secara drastis.

Hal ini tentu bukan menjadi alasan untuk menolak kehadiran industri tambang di suatu wilayah. Oleh sebab itu butuh komitmen tinggi dalam menjaga lingkungan dan ekologi yang ada di sekitar wilayah pertambangan dan pengawasan ketat dari pemerintah terhadap dampak-dampak kehadiran sebuah perusahaan tambang terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Mampukah kita semua mempersiapkan semuanya dalam waktu satu tahun yang tersisa? Berdasarkan data dari Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian, paling tidak terdapat belasan perusahaan tambang yang sudah mengajukan proposal untuk mendirikan pabrik pengolahan barang tambang (smelter) di Tanah Air. Semoga data ini tidak hanya menjadi “angin surga” dan nantinya benar-benar dapat terealisasi dan membawa manfaat ekonomi yang lebih besar.

Kebijakan dan komitmen pemerintah untuk membawa industri pertambangan bergerak ke hilir patut kita apresiasi dan kita dukung. Suatu perubahan besar pastinya diiringi resistensi dari kelompok-kelompok yang nyaman dan enggan berpikir jauh ke depan, ke arah yang lebih baik.

Jangan sampai keengganan dan kemalasan kita untuk berpikir dan bekerja lebih keras menjadi penghalang untuk meningkatkan nilai tambah barang-barang tambang. Jangan sampai ketika UU Minerba berlaku, barang-barang tambang yang hendak diolah sudah habis terkuras. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar