|
MEDIA
INDONESIA, 08 Juli 2013
"Those who educate children well are more to be honored than
parents; for these only gave life, those the art of living well." Aristoteles (384-322
SM)
TIDAK diragukan, guru berperan
penting dalam seluruh proses pendidikan. Dalam banyak hal, mutu pendidikan
ditentukan oleh kualitas guru. Kurikulum, yang menyulut polemik nasional itu,
hanyalah faktor sekunder. Sebab, pelaksanaan kurikulum pun bergantung pada
guru. Sungguh, peran guru sedemikian vital dalam kegiatan pembelajaran, yang
berpengaruh langsung pada tinggi-rendahnya kinerja pendidikan. Filsuf
pendidikan terpandang, John Dewey (1938), suatu kali berujar: buku merupakan sumber ilmu pengetahuan,
tetapi melalui gurulah ilmu pengetahuan dapat ditransmisikan kepada peserta
didik.
Tamsil klasik mengatakan buku adalah rumah ilmu, sedangkan guru
adalah kunci pembukanya. Sering pula dikatakan guru adalah jendela ilmu
pengetahuan bagi para murid. Jelas, guru dengan kompetensi tinggi berpengaruh
langsung pada hasil belajar murid-muridnya, yang tecermin pada pencapaian
akademik tinggi.
Namun, pendidikan di Indonesia justru dihadapkan pada
masalah rendahnya kualitas guru. Menurut data Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) 2012, dari total sekitar 2,7 juta guru, sebanyak 1,7
juta (62%) sudah berkualifi kasi D-4 hingga S-1 atau lebih sebagaimana
disyaratkan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sebanyak 1,5 juta (55%) sudah
mengikuti program sertifi kasi kompetensi. Itu berarti mereka telah besertifi kat
sebagai guru profesional. Namun, status ’guru profesional’ tidak serta-merta terpantul
pada kompetensi dalam mengajar.
Hasil uji kompetensi guru (UKG) yang diselenggarakan Kemendikbud
menunjukkan, gabungan kompetensi profesional dan pedagogi guruguru yang diuji
(sekitar 878 ribu orang) rata-rata hanya 45,85%, sangat jauh di bawah kemampuan
ideal menurut standar guru profesional. Hasil UKG itu dengan gamblang
menjelaskan betapa guru-guru yang direkrut berkompetensi rendah, bukan hanya
dalam hal pemahaman ilmu didaktikpedagogik, melainkan juga dalam hal penguasaan
bidang mata pelajaran.
Data berikut memperlihatkan bahwa kita memang sedang
menghadapi masalah yang sangat serius terkait dengan kualitas guru yang rendah.
Pada 2004, diadakan rekrutmen guru untuk seluruh bidang mata pelajaran.
Terdapat 1 juta orang pendaftar yang bersaing memperebutkan (hanya) 64 ribu
lowongan guru PNS. Dapat dibayangkan betapa ketat persaingan di antara para
pelamar. Hasil tes rekrutmen guru ini sungguh mencemaskan masa depan pendidikan
di Indonesia (lihat tabel).
Memilukan
Untuk
calon guru SD diberikan sebanyak 100 soal mengenai pengetahuan umum dan kemampuan
elementer bagi pendidik yang akan bertugas mengajar di jenjang pendidikan dasar.
Para calon guru yang bisa menjawab benar rata-rata hanya 37,8 soal, ada yang
bisa menjawab benar hanya 5 soal, tapi ada pula yang bisa menjawab benar 77
soal. Untuk mata pelajaran matematika diberikan 40 soal; rata-rata jawaban
benar hanya 14,3 soal, ada juga yang benar 2 soal saja, meskipun ada pula yang
bisa menjawab benar 36 soal.
Untuk mata pelajaran fisika, diberikan sebanyak 40
soal; rata-rata jawaban benar hanya 13,2 soal,
jawaban
benar terendah 1 soal, dan tertinggi 38 soal. Untuk mata pelajaran
biologi, dari 40 soal yang diberikan, rata-rata jawaban benar 19 soal, jawaban
benar terendah 5 soal, dan tertinggi 39 soal. Untuk mata pelajaran kimia, dari
40 soal yang diberikan, rata-rata jawaban benar 22,3 soal, jawaban benar
terendah 8 soal, dan tertinggi 30 soal. Untuk mata pelajaran bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris, rata-rata jawaban benar masing-masing 20,5 soal dan 23,4
soal, se dangkan jawaban benar terendah masing-masing 2 soal dan 1 soal, serta
jawaban benar tertinggi masing-ma sing 36 soal dan 39 soal (Teacher Certification in Indonesia, 2009).
Sungguh
terasa pilu melihat profil guru dengan kemampuan penguasaan bidang mata
pelajaran yang demikian rendah. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk
memperbaiki kualitas guru melalui program peningkatan kualifi kasi dan sertifi
kasi kompetensi jelas sangat berat. Aneka program tersebut belum membuahkan
hasil nyata, bahkan tak kunjung mengubah keadaan. Kesejahteraan guru memang
mengalami peningkatan yang sangat berarti, setelah pemberian tunjangan profesi
bagi guru-guru yang lulus sertifikasi kompetensi. Namun, hampir tak terlihat
ada perubahan signifi kan terkait perbaikan kinerja para guru dalam mengajar,
yang tecermin pada hasil belajar murid (student’s
learning outcome), setelah mereka menempuh program peningkatan kualifikasi
dan sertifi kasi kompetensi. Meskipun demikian, langkah-langkah perbaikan tetap
harus dilakukan secara berkelanjutan dan konsisten.
Pertama, upaya peningkatan mutu guru di masa depan harus
dimulai dari hulu yakni pre-service
education, yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(LPTK). LPTK dituntut untuk dapat mendidik calon guru yang memenuhi standar
tinggi dan melahirkan guru-guru berkualitas dengan kompetensi profesional
mumpuni. Untuk itu, seleksi penerimaan calon mahasiswa LPTK harus ketat. Selain
syarat kompetensi, untuk dapat menekuni profesi guru harus didasarkan pada
panggilan pengabdian, agar calon-calon guru berkomitmen dengan penuh totalitas
dalam mendidik dan mengajar murid-murid di sekolah.
Kedua, proses rekrutmen guru PNS harus dilakukan secara
ketat dengan mempertimbangkan academic merit setiap calon. Untuk itu,
pemerintah daerah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan guru dan pemilik
satuan pendidikan harus mendasarkan rekrutmen guru sepenuhnya pada prinsip
meritokrasi. Menjaga prinsip meritokrasi sangat penting agar hanya caloncalon
guru yang memenuhi kualifi kasi saja yang direkrut menjadi guru profesional.
Salah satu kritik pelaksanaan desentralisasi pendidikan
ialah pengelolaan guru yang rumit. Tidak hanya dalam hal mutasi antardaerah,
tetapi juga kendali mutu yang lemah dalam proses rekrutmen. Meskipun kuota guru
PNS ditetapkan oleh pemerintah pusat, kewenangan rekrutmen guru berikut
penempatan dan persebaran ada di tangan pemerintah daerah. Preferensi politik
penguasa daerah sering kali mendominasi pengelolaan guru dan mengabaikan academic merit dalam proses rekrutmen.
Politik lokal berkontribusi pada sulitnya mobilitas guru antarwilayah sehingga
menghambat upaya pemerataan sebaran guru terutama di daerah-daerah yang
kekurangan guru.
Ketiga, pada saat guru sudah bertugas mengajar, program
pendidikan dalam jabatan (inservice
education) juga harus diselenggarakan secara rutin agar para guru
berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan profesional secara berkelanjutan.
Pelatihan guru bidang mata pelajaran harus dirancang bukan saja untuk melakukan
pendalaman materi ajar bagi siswa, melainkan juga untuk meningkatkan
keterampilan mengajar.
Mengasah keahlian
Kualitas guru hanya bisa ditingkatkan melalui program continuous professional development sehingga
para guru tak pernah berhenti berinovasi dalam mengembangkan proses pengajaran
dan pembelajaran. Untuk itu, in-service
education jelas sangat penting agar guru-guru dapat meningkatkan penguasaan
ilmu dan memperoleh pengetahuan baru untuk bidang-bidang mata pelajaran yang
mereka ampu. Melalui in service education,
guru-guru dapat mengasah kembali teaching
skills dengan mengadopsi pendekatan baru dalam pembelajaran yang terus
berkembang.
Seluruh upaya perbaikan dalam rangka peningkatan kualitas
guru harus dilakukan secara sistematis dan konsisten sehingga kita dapat berharap
mutu pendidikan akan membaik di masa-masa mendatang. Guru adalah jantung bagi
pendidikan bermutu. Guru layak dihormati setara dengan penghormatan kepada
orangtua karena mereka membekali the art
of living well. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar