|
KORAN
JAKARTA, 11 Juli 2013
Mungkin inilah punktuasi ironi gempa di dataran tinggi Gayo,
Aceh : Presiden SBY bersama rombongan hanya menghabiskan waktu 30 menit bersama
pengungsi, setelah melakukan perjalanan jauh dari Jakarta pada 9 Juli.
Rombongan presiden tidak bermalam di lokasi. Mereka memilih menginap
di Lhokseumawe, kompleks PT. Arun LNG, sebuah perusahaan migas terbesar Indonesia
(bekerjasama dengan Exxon Mobil Oil) yang mencapai puncaknya pada era 80-an. Setelah
seminggu gempa (2 Juli), presiden baru hadir di titik bencana. Bencana gempa Gayo
pun hanya diklasifikasi sebagai bencana daerah.
Bencana Setelah
Bencana
Awalnya sedikit orang, termasuk saya yang menganggap bahwa
gempa yang berefek getar 6,2 skala richter ini akan menyisakan kerusakan dan
nestapa yang sedemikian parah dan meluas. Menurut data Badan Metereologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) gempa yang berpusat di Kecamatan Timang
Gajah, Bener Meriah ini menyebabkan lebih 40 orang meninggal, beberapa orang
hilang karena tertimbun longsor, 2400 orang terluka, dan 22 ribu orang sebagai pengungsi. Adapun rumah yang rusak 15.919 unit dan 623 unit
fasilitas umum termasuk perkantoran, sekolah, dan rumah ibadah porak poranda.
Gempa ini merusak dua kabupaten: Bener Meriah dan Aceh Tengah.
Bahkan menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP), 52 ribu orang kini terdata sebagai
pengungsi karena banyak bangunan yang tidak lagi layak sebagai tempat hunian.
BNBP sendiri telah mempersiapkan Rp. 40 miliar dana tanggap darurat. Pemerintah
Aceh melalui Dinas Cipta Karya telah menganggarkan Rp. 21 miliar untuk pembangunan
hunian sementara.
Namun, seperti mengulang sejarah tanggap darurat bencana
tsunami Desember 2004, bantuan yang telah terkonsolidasikan tidak terdistribusi
dengan baik. Pusat bantuan ada di pusat pemerintahan (kantor bupati) dan
militer (kodim). Sayangnya di sentral bantuan ini tidak ada mekanisme
distribusi yang baik. Ketika masyarakat datang meminta bantuan diperlakukan
dengan sangat ketat. Adapun para relawan dari LSM dan kelompok masyarakat yang
berasal dari luar daerah Gayo yang tidak begitu mengenal titik-titik pengungsi
yang terpencil. Seperti juga media, titik-titik bantuan hanya terpusat di
“titik panas”, atau tempat pengungsian terbanyak seperti di Kecamatan Ketol
Aceh Tengah atau Kecamatan Timang Gajah Bener Meriah. Padahal seperti diriis,
sedikitnya 70 titik tempat pengungsian tersebar di dua kabupaten dan susah
mengakses bantuan.
Ini melahirkan ironi dan satir yang cukup kompleks. Muncul
adagium tikus mati di lumbung padi. Bantuan yang ada dan tidak didistribusikan
dengan cepat sehingga problem kekurangan sandang dan pangan (terutama makanan,
lauk-pauk, dan selimut karena daerah ini dikenal daerah dingin), semakin
berular dan memilukan, apalagi di bulan Ramadhan ini.
Belum lagi sikap lambat pemerintah Aceh. Sangat aneh ketika
bencana ini terjadi, gubernur malah melakukan koordinasi dengan Menko Kesra di
Jakarta. Wakil gubernur yang secara otomatis menjabat sebagai kepala Satkorlak juga
tidak terampil menjalankan fungsinya. Lebih terkesan seremonial dan pekerjaan
basi-basi dibandingkan melakukan kegiatan yang memungkinkan bencana
tertanggulangi dengan lekas.
Hal
ini mungkin terbaca dari politik alam bawah sadar politik lokal. Sebagai
representasi kekuatan mayoritas lokal (Partai Aceh), gubernur jelas memiliki
identitas politik yang berbeda dengan daerah Gayo dan sekitarnya yang merupakan
memiliki basis representasi politik nasional. Ini belum lagi “gempa politik”
yang ditimbulkan masyarakat Gayo beberapa waktu lalu yang menolak pemberlakuan
qanun Wali Nanggroe dan Bendara karena dianggap tidak merepresentasikan
kepentingan mereka sebagai kelompok minoritas di Aceh.
Seharusnya
perbedaan baju politik tidak melahirkan sikap lancung apalagi untuk masalah
penanganan bencana seperti ini. Seperti diamanatkan UU No. 24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, penanganan bencana harus didasarkan pada sikap
kemanusiaan, keadilan, kebersamaan, non-diskriminatif, dll. Itu belum lagi
pemahaman tanggap darurat yang belum dipraktikkan secara ideal.
Padahal seperti
definisi tanggap darurat dalam UU menyebutkan “serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian
bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
sarana.”
Ubah Haluan!
Sebelum
segalanya menjadi semakin berantakan, pemerintah nasional dan daerah Aceh harus
melakukan evaluasi atas proses tanggap darurat yang terkesan kacau ini.
Gubernur Aceh hanya menetapkan tenggat tanggap darurat hanya dari tanggal 3-16
Juli; sesuatu yang sangat absurd, karena penanganan minimal mendesak dan
prioritas masih sangat diperlukan.
Pemerintahan
SBY sendiri juga agar tidak sekedar pandai mendesentralisasi penanganan bencana
ini
kepada daerah tanpa melakukan evaluasi dan koordinasi lebih lanjut. Melihat
lambatnya penanganan tanggap darurat, dan bisa jadi akan berubah menjadi
masalah sosial yang parah, presiden bisa menginstruksikan kementerian terkait
untuk terus memonitor bencana di Gayo ini dan mengiventarisasi hal-hal yang
belum dilakukan.
Demikian
pula partai politik peserta pemilu 2014 yang sudah mulai memancang panji-panji
dan logo kepartaian di lokasi pengungsian, tidak hanya menjual citra, tapi
benar-benar menunjukkan darma baktinya kepada korban. Jangan eksploitasi rasa
sakit dan pedih masarakat untuk keuntungan elektoral. Imbangilah dengan
pekerjaan kemanusiaan yang setimpal. Mumpung kebaikan di bulan Ramadhan ini
akan diganjar berlipatganda.
Seharusnya
bencana di tanah Gayo ini menjadi pengalaman kesekian yang semakin mematangkan
model penanganan. Jangan seperti keledai yang terperosok lagi lubang yang telah
dilewatinya! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar